Bila Hari Raya Ied Bertepatan Dengan Hari Jum'at
Muqaddimah
Segala puji bagi Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Kami memuja-Nya, memohon
bantuan-Nya dan mengharapkan ampunan-Nya dari kejelekan diri dan keburukan
tingkah laku kami. Orang-orang yang dibimbing-Nya tidak kehilangan jejak dan orang yang disesatkan tidak akan mendapatkan petunjuk.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada qudwah dan panutan kita
Muhammad bin Abdillah, segenap keluarganya, para shahabatnya dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh kepada jalan dan jejak beliau sampai akhir zaman. Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan para Ulama’ tentang permasalahan
jika Hari Raya bertepatan dengan Hari Jum’at, di mana shalat Hari Raya jatuh pada
hari yang sama dengan shalat Jum’at. Hal ini akan membawa implikasi apakah dengan
Shalat Ied tersebut dapat menggugurkan shalat Juma’at atau tidak..??, lalu jika Shalat
Jum’at gugur, apakah secara langsung dapat menggugurkan shalat Zhuhur atau
tidak..?? Dua permasalahan yang hingga sekarang diperselisihkan di kalangan para
Ulama’ bahkan terkesan seperti permasalahan yang tidak akan pernah tuntas dan kunjung berakhir.
Namun terlepas dari fenomena yang terjadi, dengan tetap menghargai pendapat
yang saling berselisih dan tidak mengingkari pendapat-pendapat tertentu, kami
sengaja mengangkat tema dan topic ini yang sedang hangat ini dengan harapan para
pembaca dan pengunjung situs kami mendapatkan gambaran yang jelas dan gamblang tentang permasalahan tersebut, berdasarkan dalil-dalil yang kuat yang bersumber dari Rasulullah Shallallaaahu ‘alaihi wa salam dan perbuatan para Shahabat serta penjelasan para Ulama.
Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk dan taufiq kepada kita semua. Amin
Ya Rabbal ‘Alamin. Wallaahu a’lamu bish shawab.
Antara Ied dan Jum’at
Sungguh Allah Subhanahu Wata’ala telah memberi keutamaan kepada sebagian
makhluqNya di atas makhluqNya yang lain. Sebagian nabi dan rasulNya lebih utama
dari nabi dan rasulNya yang lain, Sebagian tempat lebih baik dari tempat yang lain
dan begitulah seterusnya.
Begitu juga Allah telah memberi keutamaan kepada sebagian hari dari hari-hari
yang lain. Di antara hari yang diberi keutamaan oleh Allah dari hari-hari yang lain
adalah Hari ‘Ied, baik ‘Iedul Adha ataupun ‘Iedul Fithri dan Hari Jum’at. Dua hari
tersebut masing-masing punya banyak keutamaan. Di antara keutamaan dua hari
besar tersebut adalah sebagai berikut :
Kedudukan dan Keutamaan Hari Jum’at :
1. Hari Jum’at adalah hari yang paling mulia
Ini berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam :
“ Sebaik- sebaik hari yang disinari oleh matahari adalah hari Jum’at ” ( HR. Muslim
no.854)
2. Allah telah menjadikan peristiwa-peristiwa besar pada hari jum’at.
Sebagaimana lanjutan hadits Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam :
“Pada hari itu, Allah menciptakan Adam, pada hari itu Allah memasukkannya ke dalam
surga, dan pada hari itu pula Allah mengeluarkan Adam darinya. Dan tidaklah hari Kiamat terjadi, kecuali pada hari jum’at ”. ( HR. Muslim no.854)
Dan juga peristiwa-peristiwa besar lainnya yang banyak disebutkan oleh hadits-
hadits Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam.
3. Hari Jum’at adalah hari raya bagi umat Islam.
Dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah bersabda :
“ Sesungguhnya hari ini (jum’at) adalah hari raya yang Allah jadikan untuk kaum
muslimin” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)
4. Hari Jum’at memiliki banyak amalan khusus yang dilakukan pada hari tesebut.
Dan masih banyak keutamaan-keutamaan besar lainnya.
Kedudukan Hari Ied
Adapun hari raya ‘Ied, baik ‘Iedul Adha ataupun ‘Iedul Fithri maka dia adalah hari
terbesar bagi kaum muslimin, dimana tidak ada hari besar lagi yang dirayakan pada
tiap tahunnya kecuali dua hari raya tersebut. Di dua hari tersebut, kaum muslimin
bergembira, berbahagia,berkumpul dan berada dalam satu rasa.
Sholat Jumat dan Sholat Ied
Hukum shalat Jumat adalah fardhu ain bagi setiap muslim, baligh, berakal,yang
mukim dan tidak mempunyai udzur. Dan telah kaum muslimin telah sepakat
mewajibkan shalat jumat.
Adapun hukum shalat ‘Ied, kaum muslimin juga telah sepakat bahwa shalat ‘Ied
adalah disyari’atkan. Namun para ulama berbeda pendapat tentang apakah ia fardhu
‘ain ataukah fardhu kifayah ataukah sunnah. Pendapat yang menyatakan bahwa shalat
‘ied adalah fardhu ‘ain adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimah dan muridnya, Ibnu
Qoyyim dan Syaikh Utsaimin dan yang lainnya rahimahumullah.
Hari Raya ‘Ied Bertepatan Dengan Hari Jum’at
Telah diisyaratkan di atas bahwa baik hari jum’at ataupun hari ‘ied, keduanya
adalah hari raya. Di mana keduanya adalah hari berkumpulnya kaum muslimin, untuk
melaksanakan shalat dengan berjamaah dan mendengar khutbah dan amalan-amalan
yang lain.
Bagaimana bila dua hari raya terkumpul dalam satu hari? Wajibkah kaum muslimin
untuk melaksanakan shalat ‘ied dan jumat di hari yang sama tersebut?
Para fuqaha telah menjawab dan menjelaskan masalah yang urgen ini, di mana
masalah ini sering ditanyakan oleh kaum muslimin.
Pendapat Para Ulama Bila Hari Raya Bertepatan Dengan Jum’at
Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban shalat jum’at bagi orang yang
telah melaksanakan shalat ‘ied. Apakah dia masih berkewajiban untuk shalat jum’at
atau dia mendapat keringanan untuk meninggalkan shalat jum’at dan hanya shalat
Zhuhur.
Pendapat dari Madzhab Hanafiyyah
Yang terlihat dari madzhab Hanafiyyah adalah bahwa apabila hari ‘ied bertepatan
dengan hari jumat, maka kewajiban shalat jumat tidak gugur, dan berpendapat
wajibnya shalat jumat bagi setiap mukallaf yaitu laki-laki yang merdeka yang tidak
bepergian.
Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya berkata : “ Adapun madzhab kami ( Hanafiyah)
maka keharusan keduanya ( shalat ‘ied dan jum’at)”
Dalam kitab Alhidayah disebutkan : “Bila dua hari raya ( ‘ied dan jum’at) bertepatan
di satu hari, maka yang awal adalah sunnah dan yang kedua adalah fardhu, dan tidak
boleh ditinggalkan salah satunya”
Dalam kitab Bada’i Asshona’i disebutkan bahwa shalat ied adalah sunnah dan
shalat jumat adalah fardhu, jadi shalat jum’at tidaklah gugur, (karena dia adalah
fardhu-red)
Dengan ini telah jelas dari perkataan dari sebagian ulama Hanafiyah bahwa
kewajiban shalat jumat tidak gugur pada hari ‘iedul fithri atau ‘iedul adha, itu
dikarenakan shalat ‘ied adalah sunnah sedangkan shalat jum’at adalah fardhu yang
wajib dilaksanakan, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari
Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” (Al-
Jumu’ah : 9)
Maka perintah untuk bersegera untuk melaksanakan shalat jum’at bagi setiap yang
mendengar panggilan adalah kewajiban, maka dia tidak gugur kewajibannya pada
hari ‘ied sama dengan hari-hari lainnya.
Pendapat dari Madzhab Malikiyyah
Terlihat dari madzhab Malikiyyah bahwa mereka berpendapat tidak gugurnya
kewajiban shalat jum’at bagi penduduk kota dan sekitarnya bila mereka telah shalat
‘ied, walaupun telah diberi izin (keringanan) oleh imam, dimana Imam malik kurang
sepakat dengan perbuatan Utsman radiyallahu ‘anhu yang memberi keringanan bagi
orang-orang yang tinggal di perbukitan.
Begitulah yang telah dihikayatkan oleh pensyarah kitab Mukhtashor Khalil bahwa
mengikuti shalat ‘ied tidak membolehkan untuk meninggalkan shalat jum’at baik bagi
yang tinggal di pemukiman atau yang tinggal di luarnya, dan bahwa izin keringanan
dari imam tidak menjadikan bolehnya meninggalkan shalat jum’at. Adapun rukhshah
(keringanan) yang diambil dari beberapa hadits untuk bolehnya meninggalkan
shalat jum’at setelah ikut shalat ‘ied adalah khusus untuk orang-orang yang jauh dari
pemukiman (yaitu orang-orang baduy) dan bagi orang-orang yang tidak wajib jum’at
bagi mereka yang tingggal jauh dari keramaian, itulah yang dipaparkan oleh al-Hafidz
Ibnu Abdil Barr rahimahullah.
Pendapat dari Madzhab Syafi’iyyah
Adapun yang terlihat dari masalah ini menurut madzhab Syafi’iyyah adalah bahwa
mereka perpendapat shalat jum’at tidak gugur kewajibannya terhadap penduduk
sebuah kota atau desa, tapi berpendapat bahwa mereka tetap wajib melaksanakan shalat
jum’at. Keringanan untuk meninggalkan shalat jum’at setelah shalat ‘ied hanyalah bagi
mereka yang tinggal jauh di pedalaman ( Badui), dan walau begitu yang utama bagi
mereka adalah tetap menghadiri shalat jum’at.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan : “Imam Syafi’i dan sebagian Ashhab
(kawan) berkata : Kalau hari jumat berbarengan dengan hari ‘ied dan penduduk desa
(yang mana mereka berkewajiban shalat jum’at karena adzan sampai kepada mereka )
hadir lalu mereka shalat ‘ied, maka kewajiban shalat jum’at tidak gugur bagi penduduk
desa tanpa ada perbedaan pendapat. Adapun gugurnya bagi penduduk pedalaman
(badui) terdapat dua pendapat, dan yang benar yang ditegaskan oleh imam Syafi’i
pada kitab al-Umm dan pendapat Qodim (terdahulu) bahwa shalat jumat gugur… ”
Pendapat dari Madzhab Hanabilah
Adapun pendapat madzhab Hambali dalam masalah ini adalah bahwa orang yang
telah melaksanakan shalat ‘ied disunahkan baginya untuk hadir pada shalat jum’at,
namun bila mencukupkan diri dengan shalat ‘ied ( dan tidak mengikuti shalat jum’at)
kemudian dia shalat Zhuhur, maka itu tidak mengapa.
Abdullah ibn Ahmad rahimahullah pada kitab Masailnya berkata : “Saya bertanya
kepada ayah saya (Imam Ahmad) tentang dua ‘ied yang terkumpul dalam satu hari,
kemudian salah satu (shalatnya) ditinggalkan, beliau menjawab : Tidak mengapa. Saya
berharap itu mencukupinya ”
Ibnu Quddamah rahimahullah berkata : “Apabila hari ‘ied jatuh pada hari jum’at,
maka bila seseorang mecukupkan diri dengan shalat ‘ied dan dia shalat Zhuhur maka
itu boleh, kecuali bagi imam (yaitu wajib baginya untuk melaksanakan shalat jum’at
-red)”
Ringkasan Pendapat Para Ulama Madzhab
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa madzhab Hanafi adalah wajibnya
shalat jum’at bagi setiap orang yang terkena kewajiban jum’at pada hari biasa (selain
hari ‘ied). Begitu juga perkataan imam Malik dan yang mengikuti beliau tentang
tidak gugurnya shalat jum’at bagi orang yang telah mengikuti shalat ‘ied, kecuali
yang diisyaratkan bahwa keringanan untuk meninggalkan shalat jumat hanya bagi
penduduk pedalaman.
Adapun Imam Syafi’i berpendapat gugurnya shalat jum’at hanya untuk orang yang
jauh dari keramaian, adapun penduduk kota dan pedesaan maka wajib bagi mereka
untuk shalat jum’at.
Adapun madzhab Hambali telah jelas, bahwa mereka berpendapat tidak wajibnya
shalat jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied, namun itu sunnah. Dan dia
wajib untuk shalat Zhuhur.
Dari pemaparan di atas, kita bisa simpulkan bahwa kebanyakan ulama berpendapat
wajibnya shalat jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied, kecuali imam Ahmad
ibn Hambal yang tidak mewajibkannya. Hanya saja para ulama yang mewajibkan
jum’at sebagian mereka ada yang mewajibkan shalat jum’at secara mutlak, dan ada
yang memberikan keringanan bagi penduduk yang jauh dari pemukiman.
Dalil-Dalil Setiap Pendapat
1. Dalil Bagi Pendapat yang Mewajibkan Shalat Jum’at Secara Mutlaq
Adapun di antara dalil para ulama yang mewajibkan shalat jum’at secara mutlaq
adalah sebagai berikut :
1. Keumuman firman Allah Subhanahu Wata’ala :
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari
Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” ( Al-Jumu’ah : 9)
2. Semua dalil yang menunjukkan wajibnya shalat jum’at, seperti hadits :
ىلع لك حمتلم رواح اجلمعة و ىلع لك من راح اجلمعة الغسـل .
“Wajib bagi setiap orang yang sudah bermimpi (baligh) untuk pergi shalat jum’at dan
bagi setiap yang pergi untuk jum’at maka dia mesti mandi” (hadits shahih riwayat An-
Nasa’i)
Dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan wajibnya shalat jum’at.
3. Karena keduanya merupakan shalat wajib ( tergantung dengan perbedaan pendapat
tentang wajibnya shalat ‘ied) dimana yang satu tidak bisa menggugurkan yang lain,
seperti shalat Zhuhur dengan shalat ied.
Dan dalil-dalil yang lainnya.
2. Dalil Bagi Pendapat yang Mewajibkan Shalat Jum’at Bagi Penduduk Kota dan Pemukiman dan Memberi Keringanan Untuk Penduduk Pedalaman Untuk Meninggalkannya Dalil mereka adalah sama dengan dalil pendapat sebelumnya tentang wajibnya shalat jum’at, kemudian ditambah dengan atsar dari Utsman radiyallahu ‘anhu berikut ini, yaitu dari Abu Ubaid, beliau berkata : “Aku pernah melaksanakan shalat shalat ‘ied bersama Utsman ibn Affan yang bertepatan dengan hari jum’at, lalu beliau shalat sebelum khutbah. Kemudian beliau berkhutbah : “Wahai manusia ini adalah hari
dimana dua hari raya berkumpul di dalamnya, maka barangsiapa yang datang dari
desa-desa ingin menunggu shalat jum’at, maka lakukanlah dan barangsiapa diantara
mereka yang ingin pulang, maka aku telah mengizinkannya” (HR. al-Bukhari)
3. Dalil Bagi Pendapat yang Tidak Mewajibkan Shalat Jum’at (Bagi Selain Imam Masjid) Namun Hanya Menyatakan Sunnah
1. Hadits Zaid ibn Arqam bahwa Muawiyyah bertanya kepadanya : “Apakah engkau
menyaksikan bersama Rasulullah dua hari raya yang yang berkumpul di satu
hari?” jawabnya : “Ya” Muawiyah bertanya : “Lalu apa yang beliau kerjakan?”
Dia menjawab : “Beliau mengerjakan shalat ‘ied kemudian beliau memberikan
keringanan dalam hal shalat jum’at seraya bersabda :
من شاء أن يصيل فليصل
“Barangsiapa yang ingin shalat, hendaklah dia shalat ” (HR. Abu Daud, dishahihkan
oleh Albani)
2. Hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda :
قد اجتمع يف يومكم هذا عيدان فمن شـاء أجزأه من اجلمعة وإنا جممعون
“Pada hari ini telah terkumpul dua hari raya, maka barangsiapa berkehendak, boleh untuk
tidak ikut shalat jum’at, sedangkan kami akan melaksanakan shalat jum’at ” (HR. Abu
Daud, dishahihkan oleh Albani)
3. Hadits Ibnu Umar, beliau bercerita : “Telah terkumpul dua hari raya dalam satu
hari pada masa Rasulullah Sallallahi ‘alaihi Wasallam, beliau shalat ‘ied bersama
orang-orang, kemudian bersabda :
من شـاء أن يأيت اجلمعة فليأتها و من شاء أن يتخلف فليتخلف
“Barangsiapa yang mau mendatangi shalat jum’at silahkan mendatanginya, dan
barangsiapa yang tidak mau mendatangi shalat jum’at silahkan tidak mendatanginya”
(HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Albani)
4. Atsar yang diriwayatkan Atho ibn Abi Rabah, beliau berkata :
“Ibnu Zubair pernah shalat mengimami kami pada hari raya yang bertepatan dengan hari
jum’at pada awal siang, lalu kami berangkat shalat jum’at, tapi beliau tidak keluar untuk
shalat jum’at, maka kami shalat jum’at sendiri. Waktu itu Ibnu Abbas berada di Thaif, lalu begitu beliau datang kami tanyakan hal itu, beliaupun menjawab : “Ia telah melaksanakan sesuai dengan sunah”(HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Albani)
Dan masih banyak dalil-dalil lain yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih. Pendapat
inilah yang dipilih oleh al-Lajnah ad-Daimah dalam fatwanya.
Pendapat ini jugalah yang dipilih oleh sebagian ahli ilmu pada zaman ini
diantaranya Syaikh Sa’id ibn ‘Ali al-Qahthani, Syaikh Husain al-Awaisyah, Abdul
‘Adzim al-Badawi, Abu Malik penulis kitab “Shahih Fiqh Sunnah” dan yang lainnya.
Fatwa al-Lajnah ad-Daimah
Setelah al-Lajnah ad-Daimah menyebutkan dan mempelajari hadits-hadits dan
atsar-atsar tentang masalah ini, Lajnah menyimpulkan sebagai berikut:
“Berdasarkan dari hadits-hadits yang marfu’ (tersambung) kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan juga atsar-atsar dari sebagian shahabat ini dan juga berdasarkan
penetapan jumhur ahli ilmu dalam fiqih mereka, maka Lajnah menjelaskan hukum-
hukun berikut :
1. Barangsiapa yang telah hadir shalat ‘ied, maka dia diberi rukhshah (keringanan)
untuk tidak mengikuti shalat jum’at dan dia shalat Zhuhur pada waktunya. Namun
bila ia tidak mengambil keringanan dan shalat jum’at bersama orang-orang maka
itu adalah lebih utama.
2. Barangsiapa yang tidak hadir shalat ‘ied maka dia tidak mendapatkan rukhshah
(keringanan), maka wajib baginya untuk berangkat ke masjid untuk shalat jum’at.
Kalau tidak terdapat jumlah jamaah yang mencukupi untuk shalat jum’at, maka
dia shalat Zhuhur.
3. Imam masjid jami’ wajib mendirikan shalat jum’at pada hari itu agar orang-orang
yang ingin melaksanan shalat jum’at bisa melaksanakannya dan bagi orang yang
tidak ikut melaksanakan shalat ied, kalau jumlah jamaah mencukupi untuk shalat
jum’at (maka shalat jum’at-red) dan kalau tidak, maka shalat Zhuhur.
4. Barangsiapa yang telah hadir shalat ‘ied dan mendapatkan keringanan untuk tidak
hadir pada shalat jum’at, maka dia shalat Zhuhur setelah masuk waktunya.
5. Di waktu ini, disyariatkan adzan hanya bagi masjid-masjid yang mendirikan shalat
jum’at saja, maka tidak disyariatkan adzan untuk shalat Zhuhur di hari ini.
6. Pendapat yang mengatakan bahwa barangsiapa yang hadir shalat ‘ied maka
gugurlah baginya kewajiban shalat jum’at dan shalat Zhuhur adalah pendapat yang
tidak benar. Oleh karena itu para ulama tidak menganggapnya dan menghukumi
bahwa pedapat itu salah dan ghorib (nyleneh). Karena pendapat itu menyelisihi
sunnah dan menggugurkan salah satu fardhu dari Allah tanpa dalil. Kemungkinan
yang berpendapat seperti ini, dalam masalah ini belum sampai padanya sunan
(hadits-hadits) dan atsar-atsar yang memberi rukhshah (keringanan) bagi yang
telah melaksanakan shalat ‘ied untuk tidak hadir pada shalat jum’at, namun dia
berkewajiban untuk shalat Zhuhur.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Adapun Syaikh Abdullah ibn Jibrin rahimahullah setelah beliau mempelajari
pendapat para ulama, beliau lebih memilih pendapat Syafi’iyyah yang menyatakan
bahwa rukhshah meninggalkan shalat jum’at hanya bagi orang-orang yang tinggal
jauh dari pemukiman, seperti penduduk perbukitan dan semisalnya dan itu adalah
sebagai keringanan bagi mereka.
Beliau juga menguatkan pendapat beliau dengan menjelaskan berbedanya keadaan
manusia zaman dahulu dengan zaman sekarang, dimana zaman sekarang:
• Alat transportasi lebih mudah, dimana apabila zaman dahulu jarak yang jauh
ditempuh dengan lelah dan dengan berjam-jam, namun sekarang hanya dengan
hitungan detik dan nyaman
• Banyaknya masjid-masjid yang mendirikan shalat jum’at, dimana ini menambah
kemudahan untuk melaksanakan shalat jum’at.
Oleh karena itu beliau menjelaskan tidak bolehnya tasahhul (menganggap remeh)
dalam masalah Jum’at dan pemberian keringanan untuk meninggalkannya. Itu karena kesulitan sekarang menjadi lebih ringan. Wallahu Ta’ala A’lam.
[Sumber: Arra’yu as-Sadid Fima Idza Waafaqa Yaumul Jum’at Yaumal ‘Ied
oleh Syaikh Abdullah al-Jibrin, Shahih Fiqhus Sunnah oleh Kamal ibn Sayyid
Salim, Solatul Mukmin oleh Syaikh Sa’id al-Qahthani, www.saaid.net