Tafsir Surat Shad, ayat 1-3
{ص
وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْرِ (1) بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ (2)
كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ قَرْنٍ فَنَادَوْا وَلاتَ حِينَ مَنَاصٍ (3)
}
Shad, demi Al-Qur’an yang mempunyai
keagungan. Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit.
Betapa banyaknya umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, lalu mereka
meminta tolong, padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan
diri.
Penjelasan mengenai huruf-huruf hijaiah ini telah disebutkan di dalam
permulaan tafsir surat Al-Baqarah dengan keterangan yang sudah cukup hingga
tidak perlu diulangi lagi di sini.
Firman Allah Swt.:
{وَالْقُرْآنِ
ذِي الذِّكْرِ}
demi Al-Qur'an yang mempunyai keagungan. (Shad: l)
Yakni Al-Qur'an yang mengandung peringatan bagi hamba-hamba-Nya dan manfaat
bagi kehidupan mereka di dunia dan di hari kemudian nanti.
Ad-Dahhak telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Ziz zikr"
bahwa makna yang dimaksud sama dengan apa yang disebutkan oleh ayat lain
melalui firman-Nya:
{لَقَدْ
أَنزلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ}
Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya
terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. (Al-Anbiya: 10)
Yaitu peringatan bagi kalian.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah dan dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Abbas r.a., Sa'id ibnu Jubair, Ismail ibnu Abu Khalid, Ibnu Uyaynah, Abu
Husain, Abu Saleh, dan As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya, "Ziz zikr" bahwa makna yang dimaksud ialah yang mempunyai
keagungan, kemuliaan, dan kehormatan.
Tidak ada pertentangan di antara kedua pendapat tersebut, karena memang
sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah Kitab yang mulia yang di dalamnya terkandung
peringatan, alasan, dan pelajaran.
Para ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan jawab dari
qasam-nya; sebagian di antara mereka mengatakan bahwa jawab qasam-nya
adalah firman Allah Swt.:
{إِنْ
كُلٌّ إِلا كَذَّبَ الرُّسُلَ فَحَقَّ عِقَابِ}
Semua mereka itu tidak lain hanyalah mendustakan rasul-rasul, maka
pastilah (bagi mereka) azab-Ku. (Shad: 14)
Menurut pendapat lain, jawab qasam-nya adalah firman Allah Swt.:
{إِنَّ
ذَلِكَ لَحَقٌّ تَخَاصُمُ أَهْلِ النَّارِ}
Sesungguhnya yang demikian itu pasti terjadi, (yaitu) pertengkaran
penghuni neraka. (Shad: 64)
Kedua pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan pendapat yang kedua ini
jauh dari kebenaran, dan dinilai da’if oIeh Ibnu jarir.
Qatadah mengatakan bahwa jawab qasam-nya ialah:
{بَلِ
الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ}
Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan
permusuhan yang sengit. (Shad: 2)
Ibnu Jarir memillih pendapat ini.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari sebagian ahli bahasa yang telah
mengatakan sehubungan dengan jawab qasam ini, bahwa jawab-nya
adalah Shad yang artinya benar lagi hak.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, jawab-nya adalah apa yang
terkandung di dalam surat ini secara keseluruhan; hanya Allah-lah Yang Maha
Mengetahui.
**********
Firman Allah Swt.:
{بَلِ
الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ}
Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan
permusuhan yang sengit. (Shad: 2)
Yakni sesungguhnya Al-Our'an ini benar-benar merupakan peringatan bagi orang
yang mau menerima peringatan dan menjadi pelajaran bagi orang yang mau
menjadikannya sebagai pelajaran; dan sesungguhnya yang tidak mau mengambil
manfaat dari Al-Qur'an itu hanyalah orang-orang kafir, karena sesungguhnya
mereka selalu berada di dalam kesombongan, yakni sombong tidak mau menerimanya;
dan lagi mereka berada dalam permusuhan yang sengit, yakni sangat menentang,
mengingkari dan memusuhinya.
Kemudian Allah Swt. mempertakuti mereka dengan apa yang telah Dia lakukan
terhadap umat-umat terdahulu sebelum mereka yang mendustakan rasul-rasul-Nya.
Allah telah membinasakan mereka disebabkan mereka menentang para rasul dan
mendustakan kitab-kitab yang diturunkan dari langit. Untuk itu Allah Swt.
berfirman:
{كَمْ
أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ قَرْنٍ}
Betapa banyaknya umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan (Shad:
3)
Maksudnya, umat-umat yang mendustakan rasul-rasulnya.
{فَنَادَوْا}
lalu mereka meminta tolong (Shad: 3)
Yaitu pada saat azab datang menimpa mereka, mereka meminta tolong dan menyeru
kepada Allah Swt. Tetapi hal itu tidak memberi faedah apa pun bagi mereka,
seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{فَلَمَّا
أَحَسُّوا بَأْسَنَا إِذَا هُمْ مِنْهَا يَرْكُضُونَ}
Maka tatkala mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka lari
tergesa-gesa darinya. (Al-Anbiya: 12)
Yakni melarikan diri dari azab itu.
{لَا
تَرْكُضُوا وَارْجِعُوا إِلَى مَا أُتْرِفْتُمْ فِيهِ وَمَسَاكِنِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تُسْأَلُونَ}
Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada nikmat yang telah
kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu (yang baik), supaya kamu
ditanya (Al-Anbiya: 13)
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari
Abu Ishaq, dari At-Tamimi yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu
Abbas r.a. tentang makna firman-Nya: lalu mereka meminta tolong, padahal
(waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri. (Shad: 3) Yakni
bukan saatnya berseru meminta tolong, bukan pula saatnya melarikan diri dari
azab.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., bahwa makna yang
dimaksud ialah bukan saatnya meminta tolong.
Syabib ibnu Bisyr telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa
mereka berseru meminta tolong di saat tiada gunanya lagi meminta tolong, lalu ia
mengutip ucapan penyair, "Laila ingat di saat tiada lagi gunanya mengingat."
Muhammad ibnu Ka'b telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Lalu mereka meminta tolong, padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk
lari melepaskan diri. (Shad: 3) Mereka menyerukan kalimah tauhid saat dunia
berpaling dari mereka dan bertekad untuk bertobat saat dunia berpaling dari
mereka.
Qatadah mengatakan bahwa ketika mereka menyaksikan datangnya azab,
tergeraklah mereka untuk bertobat, tetapi bukan pada saatnya untuk berseru
meminta pertolongan.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Lalu mereka meminta
tolong, padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri.
(Shad: 3) Yaitu bukan saatnya, untuk melarikan diri, bukan pula saatnya
tobat diperkenankan.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abu
Malik, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Al-Hasan, dan Qatadah.
Telah diriwayatkan pula dari Malik, dari Zaid ibnu Aslam tentang makna
firman-Nya: padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk melarikan diri.
(§ad:3) Yakni meminta pertolongan di saat bukan waktunya meminta tolong.
Lafaz lata ini terdiri dari la nafi, lalu ditambahkan huruf
ta, sebagaimana huruf ta, ditambahkan pada lafaz summa.
Mereka mengatakan summata, dan ditambahkan pula pada rubba
sehinggga menjadi rubbata: huruf ta ini bukan dari asalnya,
dan boleh dilakukan waqaf terhadapnya. Di antara mereka ada yang
meriwayatkan dari Mushaf Al-Imam (yakni Mushaf Usmani) menurut apa yang
diketengahkan oleh Ibnu Jarir, bahwa huruf ta ini bersatu dengan hina,
sehingga tulisannya menjadi seperti berikut:
وَلَا
تَحِينَ مَنَاصٍ
padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk melepaskan diri (Shad:
3)
Tetapi pendapat yang terkenal adalah yang pertama. Kemudian jumhur "ulama
membaca nasab pada lafaz hina, yang arti panjangnya adalah
"padahal saat itu bukanlah saat untuk melepaskan diri".
Di antara mereka ada yang membolehkan nasab berdasarkan dalil syair
yang mengatakan:
تَذَكَّر
حُب لَيْلَى لاتَ حِينَا ...
وأَضْحَى الشَّيْبُ قَدْ قَطَع القَرينا
Engkau teringat akan cinta Laila,
padahal bukan saatnya untuk bercinta, dan uban (usia tua) telah menjadi pemutus
hubungan.
Di antara mereka ada yang membolehkannya dibaca jar berdasarkan dalil
syair yang mengatakan:
طَلَبُوا
صُلْحَنَا ولاتَ أوانٍ ...
فأجَبْنَا أن ليس حينُ بقاءِ
Mereka meminta perdamaian dengan kami,
padahal sudah bukan masanya lagi perdamaian. Maka kami jawab, bahwa tiada waktu
lagi untuk melestarikan perdamaian.
Sebagian ulama mengatakan, "Padahal sudah bukan saatnya bagi penyesalan"
(nasi telah menjadi bubur); dengan men-jar-kan lafaz As sa'ah.
Ahli bahasa mengatakan An-Naus artinya terlambat, dan Al-bus
maju. Disebutkan oleh firman-Nya:
{وَلاتَ
حِينَ مَنَاصٍ}
padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri.
(Shad: 3)
Yakni waktu itu bukanlah lagi saatnya melarikan diri dari azab.