Tafsir Surat Al-Muzzammil, ayat 1-9
يَا
أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ
انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3) أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
(4) إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا (5) إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ
هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا (6) إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا
طَوِيلًا (7) وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا (8) رَبُّ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا (9)
Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah
(untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau
kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah
Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu
perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat
(untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada
siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu, dan
beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan
magrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia
sebagai Pelindung.
Allah Swt. memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk meninggalkan selimut yang
menutupi dirinya di malam hari, lalu bangun untuk menunaikan ibadah kepada
Tuhannya dengan melakukan qiyamul lail, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat
lain melalui firman-Nya:
تَتَجافى
جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً وَمِمَّا
رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada
Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (As-Sajdah: 16)
Dan demikianlah Nabi Saw., beliau selalu mengerjakan apa yang diperintahkan
oleh Allah Swt. kepadanya seperti qiyamul lail. Hal itu hukumnya wajib
khusus bagi Nabi Saw. seorang, seperti yang disebutkan di dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
وَمِنَ
اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نافِلَةً لَكَ عَسى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقاماً
مَحْمُوداً
Dan pada sebagian malam hari bersalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah
tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang
terpuji. (Al-Isra: 79)
Dan dalam surat ini dijelaskan kadar waktu yang ia harus jalani untuk
melakukan qiyamul lail (salat sunat malam hari).
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{يَا
أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلا}
Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah
(untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya). (Al-Muzzammil: 1 -2)
Ibnu Abbas, Ad-Dahhak, dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Hai orang yang berselimut. (Al-Muzzammil: 1) Yakni hai orang
yang sedang tidur; menurut Qatadah, orang yang berselimut dengan pakaiannya.
Ibrahim An-Nakha'i mengatakan bahwa ayat ini diturunkan saat Nabi Saw. sedang
menyelimuti dirinya dengan jubahnya.
Syabib ibnu Bisyr telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: Hai orang yang berselimut. (Al-Muzzammil: 1)
Allah Swt. berfirman, "Hai Muhammad, engkau selimuti Al-Qur'an."
*******************
Firman Allah Swt.:
{نِصْفَهُ}
(yaitu) seperduanya. (Al-Muzzammil: 3)
Merupakan badal atau kata ganti dari al-lail (malam hari), yakni di
tengah malamnya.
{أَوِ
انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ}
atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua.
(Al-Muzzammil: 3-4)
Yaitu Kami perintahkan kamu untuk melakukan salat di tengah malam, lebih
sedikit atau kurang sedikit tidak mengapa bagimu dalam hal tersebut.
Firman Allah Swt.:
{وَرَتِّلِ
الْقُرْآنَ تَرْتِيلا}
Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. (Al-Muzzammil:
4)
Maksudnya, bacalah Al-Qur'an dengan tartil (perlahan-lahan) karena
sesungguhnya bacaan seperti ini membantu untuk memahami dan merenungkan makna
yang dibaca, dan memang demikianlah bacaan yang dilakukan oleh Nabi Saw.
Sehingga Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa Nabi Saw. bila membaca Al-Qur'an
yaitu perlahan-lahan sehingga bacaan beliau terasa paling Iama dibandingkan
dengan orang Lain.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan melalui sahabat Anas r.a., bahwa ia
pernah ditanya tentang bacaan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Maka ia
menjawab, bahwa bacaan Al-Qur'an yang dilakukan oleh beliau panjang. Bila beliau
membaca: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
(Al-Fatihah: 1) Maka beliau memanjangkan bismillah, dan memanjangkan
Ar-Rahman dan juga memanjangkan bacaan Ar-Rahim.
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ummu Salamah
r.a., bahwa ia pernah ditanya tentang qiraat Rasulullah Saw. Maka Ummu Salamah
menjawab bahwa beliau membaca Al-Qur'an ayat demi ayat yang setiap ayatnya
berhenti:
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ الرَّحْمنِ
الرَّحِيمِ مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segalapuji bagi
Allah Tuhan semesta alam, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai
hari pembalasan. (Al-Fatihah: 1-4)
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud serta Imam
Turmuzi.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ
عَاصِمٍ، عَنْ زِرٍّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ: اقْرَأْ وارْقَ،
ورَتِّل كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا، فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ
آيَةٍ تَقْرَؤُهَا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari
Sufyan, dari Asim, dari Zar, dari Abdullah ibnu Amr, dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: Dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an, "Bacalah dengan suara indah dan
perlahan-lahan sebagaimana engkan membacanya dengan tartil sewaktu di dunia,
karena sesungguhnya kedudukanmu berada di akhir ayat yang kamu baca!"
Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis
Sufyan As-Sauri dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
kalau tidak hasan, sahih.
Dalam pembahasan yang terdahulu pada permulaan tafsir telah disebutkan
hadis-hadis yang menunjukkan anjuran membaca Al-Qur'an dengan bacaan tartil dan
suara yang indah, seperti hadis berikut:
"زَيِّنوا
الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ"
Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian!
"لَيْسَ
مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ"
Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan bacaan
Al-Qur’an.
Dan Rasulullah Saw. pernah bersabda setelah mendengar suara Abu Musa
Al-Asy'ari membaca Al-Qur'an:
"لَقَدْ
أُوتِيَ هذا مزمار مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ"
Sesungguhnya orang ini telah dianugerahi suara yang indah seperti suara
seruling keluarga Daud.
Maka Abu Musa menjawab, "Seandainya aku mengetahui bahwa engkau mendengarkan
bacaanku, tentulah aku akan melagukannya dengan lagu yang terindah untukmu."
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia telah mengatakan, "Janganlah kamu
membacanya dengan bacaan seperti menabur pasir, jangan pula membacanya dengan
bacaan tergesa-gesa seperti membaca puisi (syair). Berhentilah pada hal-hal yang
mengagumkan, dan gerakkanlah hati untuk meresapinya, dan janganlah tujuan
seseorang dari kamu hanyalah akhir surat saja." Diriwayatkan oleh Al-Bagawi.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah
menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu
Murrah; ia pernah mendengar Abu Wa-il mengatakan, bahwa seseorang datang kepada
Ibnu Mas'ud, lalu berkata, "Tadi malam aku telah membaca surat Al-Mufassal
(surat-surat yang pendek) dalam satu rakaat." Maka Ibnu Mas'ud menjawab,
"Berarti bacaanmu seperti bacaan terhadap syair (tergesa-gesa). Sesungguhnya aku
telah mengetahui surat-surat yang bacaannya digandengkan oleh Rasulullah Saw. di
antara surat-surat Al-Mufassal itu." Lalu Ibnu Mas'ud menyebutkan dua puluh
surat dari surat Al-Mufassal, dua surat tiap rakaatnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنَّا
سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلا ثَقِيلا}
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.
(Al-Muzzammil: 5)
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah berat
pengamalannya. Menurut pendapat yang lain, berat saat diturunkannya karena
keagungannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid ibnu Sabit-r.a., bahwa pernah
diturunkan wahyu kepada Rasulullah Saw., sedangkan paha Ibnu Mas'ud berada di
bawah paha Rasulullah Saw. Maka terasa tulang pahanya patah karena tertindih
oleh Rasul Saw. saking beratnya wahyu yang sedang turun kepadanya.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ
يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْوَلِيدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ تُحِسُّ بِالْوَحْيِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أسمعُ صَلاصيل، ثُمَّ أسكتُ عِنْدَ ذَلِكَ،
فَمَا مِنْ مَرَّةٍ يُوحَى إِلَيَّ إِلَّا ظَنَنْتُ أَنَّ نَفْسِي
تَفِيضُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Amr ibnul
Walid, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada
Nabi Saw., "Wahai Rasulullah, apakah yang engkau rasakan saat wahyu diturunkan
kepadamu?" Rasulullah Saw. menjawab: Saya mendengar suara gemerincingnya
lonceng, kemudian aku diam saat itu. Dan tidak sekali-kali diturunkan wahyu
kepadaku melainkan aku mengira bahwa nyawaku sedang dicabut.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
Dan dalam permulaan kitab Sahih Bukhari disebutkan:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يُوسُفَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ
عَائِشَةَ: أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كيف يَأْتِيكَ الْوَحْيُ؟ فَقَالَ: "أَحْيَانًا يَأْتِينِي فِي
مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ، وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيّ، فَيَفْصِمُ عَنِّي وَقَدْ
وَعَيت عَنْهُ مَا قَالَ، وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِيَ الْمَلَكُ رَجُلًا
فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ". قَالَتْ عَائِشَةُ: وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ
يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْيَوْمِ
الشَّدِيدِ الْبَرْدِ، فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ
عَرَقًا
dari Abdullah ibnu Yusuf, dari Malik, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah
r.a., bahwa Al-Haris ibnu Hisyam pernah bertanya kepada Rasulullah Saw.,
"Bagaimanakah caranya wahyu datang kepadamu?" Rasulullah Saw. menjawab:
Terkadang datang seperti bunyi gemerincingnya lonceng, dan itu adalah wahyu
yang paling berat bagiku; setelah wahyu selesai dariku, aku telah hafal semua
apa yang disampaikannya. Dan adakalanya Malaikat (Jibril) merupakan diri sebagai
seorang laki-laki kepadaku, lalu berbicara kepadaku dan aku hafal semua apa yang
disampaikannya. Siti Aisyah r.a. mengatakan, sesungguhnya ia menyaksikan
wahyu sedang diturunkan kepada Nabi Saw. di hari yang sangat dingin; setelah
wahyu selesai darinya, kening Nabi Saw. benar-benar bercucuran keringat.
Demikianlah menurut lafaz Imam Bukhari.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud,
telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Hisyam ibnu Urwah, dari
ayahnya, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya wahyu benar-benar
diturunkan kepada Rasulullah Saw. saat beliau berada di atas unta kendaraannya,
maka unta kendaraan beliau mendekam dengan meletakkan bagian dalam lehernya ke
tanah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A'la, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Saur, dari Ma'mar, dari Hisyam ibnu Urwah, dari
ayahnya, bahwa Nabi Saw. apabila sedang menerima wahyu dan berada di atas unta
kendaraannya, maka unta kendaraannya berhenti dan mendekam, ia tidak dapat
bergerak hingga wahyu selesai diturunkan. Hadis ini berpredikat mursal. yang
dimaksud dengan jiran ialah bagian dalam leher unta, artinya unta
kendaraannya mendekam dan tidak dapat bergerak karena beratnya wahyu yang sedang
diturunkan kepada beliau Saw.
Tetapi Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa wahyu itu berat dari
kedua sisinya, yakni sisi pengamalan dan saat menerimanya. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa wahyu itu terasa berat
saat di dunia, sebagaimana terasa berat pula kelak di hari kiamat dalam
timbangan amalnya.
*******************
Firman Allah Swt:
{إِنَّ
نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا}
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan
bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al-Muzzammil: 6)
Abu Ishaq telah meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa
nasya-a artinya berdiri menurut bahasa Habsyah, yakni bangun tidur. Umar,
Ibnu Abbas, dan Ibnuz Zubair mengatakan bahwa malam hari seluruhnya dinamakan
nasyi-ah. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya
yang bukan hanya seorang. Dikatakan nasya-a apabila orang yang
bersangkutan bangun di waktu sebagian malam hari. Menurut riwayat yang bersumber
dari Mujahid, disebutkan sesudah waktu isya. Hal yang sama telah dikatakan oleh
Abu Mijlaz, Qatadah, Salim, Abu Hazim, dan Muhammad ibnul Munkadir.
Kesimpulan, nasyi-atul lail artinya bagian-bagian waktu dari malam
hari, yang keseluruhannya dinamakan nasyi-ah, juga indentik dengan pengertian
saat-saatnya. Makna yang dimaksud ialah bahwa melakukan qiyamul lail atau salat
sunat di malam hari lebih khusyuk dan juga melakukan bacaan Al-Qur'an padanya
lebih meresap di hati. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya:
{هِيَ
أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلا}
adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih
berkesan. (Al-Muzzammil: 6)
Yakni lebih berkesan dalam hati dalam menunaikan bacaan Al-Qur'an di saat itu
dan lebih meresap dalam hati dalam memahami makna bacaannya ketimbang dalam
salat sunat siang hari. Karena siang hari merupakan waktu beraktivitas bagi
manusia, banyak suara gaduh dan kesibukan dalam mencari rezeki penghidupan.
Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ibrahim ibnu Sa'id Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah
menceritakan kepada kami Al-A'masy, bahwa Anas ibnu Malik r.a. membaca ayat ini
dengan bacaan berikut, "wa aswabu qila." Maka berkatalah seseorang Ielaki
kepadanya, "Sesungguhnya kami biasa membacanya dengan wa aqwamu qila."
Maka Anas menjawabnya, bahwa sesungguhnya aswabu, aqwamu, dan
ahya-u serta lafaz-lafaz lainnya yang semakna artinya sama. Karena itulah
maka disebutkan dalam firman berikutnya:
{إِنَّ
لَكَ فِي اَلنَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلا}
Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang
(banyak). (Al-Muzzammil: 7)
Ibnu Abbas, Ikrimah, dan Ata ibnu Abu Muslim mengatakan bahwa makna yang
dimaksud ialah waktu luang dan tidur. Abul Aliyah, Mujahid, Abu Malik,
Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Sufyan As-Sauri mengatakan
bahwa makna yang dimaksud dengan sabhan tawilan ialah waktu luang yang
panjang. Qatadah mengatakan, artinya waktu luang dan waktu mencari rezeki dan
bepergian.
As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: mempunyai urusan
yang panjang (banyak). (Al-Muzzammil: 7) Maksudnya, sunnah yang banyak.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang
panjang (banyak). (Al-Muzzammil: 7) Yakni bagi keperluan-keperluanmu, maka
gunakanlah malam hari untuk agamamu. Ia mengatakan bahwa hal ini dikemukakan di
saat salat malam hari difardukan. Kemudian Allah Swt. memberikan anugerah kepada
hamba-hamba-Nya, lalu Dia memberikan keringanan dengan menghapuskan sebagian
besarnya. Lalu ia membaca firman-Nya: bangunlah (untuk salat) di malam hari,
kecuali sedikit (darinya). (Al-Muzzammil: 2) Lalu membaca pula firman-Nya:
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa kamu berdiri (salat) kurang dari dua
pertiga malam, atau seperdua malam. (Al-Muzzammil: 20) sampai dengan
firman-Nya: karena itu bacalah apa yangmudah (bagimu) dari Al-Qur’an.
(Al-Muzzammil: 20) Dan firman Allah Swt.: Dan pada sebagian malam hari salat
tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu
mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Al-Isra: 79)
Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu
Aslam.
Dalil yang menguatkan pendapat Ibnu Zaid ialah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya, ia mengatakan bahwa telah menceritakan
kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Sa'id alias Ibnu Abu Arubah,
dari Qatadah, dari Zurarah ibnu Aufa, dari Sa'id ibnu Hisyam, bahwa ia
menceraikan istrinya, kemudian berangkat ke Madinah untuk menjual propertinya
yang ada di Madinah, lalu menggunakannya untuk keperluan jihad dengan membeli
perlengkapan dan senjata untuknya, kemudian ia berjihad melawan orang-orang
Romawi hingga akhir hayatnya. Kemudian ia bersua dengan sejumlah orang dari
kaumnya yang menceritakan kepadanya bahwa pernah ada enam orang dari kalangan
kaumnya mempunyai keinginan untuk melakukan hal tersebut di masa Rasulullah Saw.
Maka Rasulullah Saw. bersabda: Bukankah pada diriku terdapat suri teladan
yang baik bagi kalian?
Rasulullah Saw. melarang mereka melakukan perceraian itu, maka Sa'id ibnu
Hisyam menjadikan mereka (sebagian dari kaumnya yang ia jumpai) sebagai saksi
saat ia merujuk kembali kepada istrinya. Setelah itu ia kembali kepada kami dan
menceritakan kepada kami bahwa ia pernah datang kepada Ibnu Abbas r.a. untuk
menanyakan kepadanya tentang salat witir Rasulullah Saw. Maka Ibnu Abbas
berkata, "Maukah aku beritahukan kepadamu tentang penduduk bumi yang paling
mengetahui tentang salat witir yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.?" Sa'id ibnu
Hisyam menjawab, "Ya." Ibnu Abbas berkata, "Datanglah kepada Aisyah, dan
tanyakanlah kepadanya tentang hal itu, lalu kembalilah kepadaku dan ceritakanlah
kepadaku tentang jawabannya kepadamu!"
Sa'id ibnu Hisyam melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menemui Hakim ibnu
Aflah dan membawanya pergi ikut menghadap kepada Siti Aisyah. Tetapi Hakim ibnu
Aflah berkata, "Aku segan menghadapnya, karena sesungguhnya aku pernah
melarangnya memberikan tanggapan terhadap kedua golongan itu dengan suatu
tanggapan yang memihak, tetapi ia menolak dan tetap memberikan tanggapan dan
reaksinya." Maka aku mendesaknya dengan kata-kata yang mengandung sumpah,
akhirnya dia mau berangkat bersamaku. Dan kami masuk menemui Siti Aisyah, lalu
ia berkata, "Engkau Hakim?" Ternyata dia mengenalnya dan Hakim menjawab, "Ya."
Aisyah bertanya, "Siapakah orang yang bersamamu?" Hakim menjawab.”Sa'id ibnu
Hisyam." Aisyah bertanya, "Ibnu Hisyam yang mana?" Hakim menjawab, "Ibnu Amir."
Lalu Siti Aisyah mendoakan rahmat buatnya dan berkata, "Sebaik-baik orang
adalah Amir." Aku bertanya, "Wahai Ummul Mu’minin, ceritakanlah kepadaku tentang
akhlak Rasulullah Saw." Aisyah r.a. baiik bertanya, "Bukankah kamu telah membaca
Al-Qur'an?" Aku menjawab, "Benar." Maka Aisyah berkata bahwa akhlak Rasulullah
Saw. ialah Al-Qur'an. Kemudian aku hampir saja bangkit untuk minta pamit
darinya, tetapi tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk menanyakan kepadanya
tentang qiyam (salat malam hari) yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Maka aku
bertanya, "Wahai Ummul Mu’minin, ceritakanlah kepadaku tentang qiyam yang
dilakukan oleh Rasulullah Saw." Siti Aisyah balik bertanya, bahwa bukankah
engkau telah membaca firman-Nya: Hai orang yang berselimut (Muhammad).
(Al-Muzzammil: 1)
Aku menjawab, "Benar, aku telah membacanya." Siti Aisyah mengatakan, bahwa
sesungguhnya Allah telah memfardukan qiyamul lail melalui permulaan surat
ini. Maka Rasulullah Saw. dan para sahabatnya melakukan qiyamul lail selama
setahun penuh hingga telapak kaki mereka membengkak karena banyak mengerjakan
salat. Dan Allah menahan penutup surat itu di langit selama dua belas bulan,
kemudian setelah itu Allah menurunkannya sebagai keringanan buat mereka,
sehingga jadilah qiyamul lail sebagai amal yang sunat yang sebelumnya
difardukan.
Dan aku hampir saja bangkit meminta pamit, kemudian terlintas lagi dalam
pikiranku untuk menanyakan kepadanya tentang salat witir yang dikerjakan oleh
Rasulullah Saw. Maka aku bertanya, "Wahai Ummul Mu’minin, ceritakanlah kepadaku
tentang salat witir Rasulullah Saw." Siti Aisyah r.a. menjawab, "Kami
(istri-istri beliau Saw.) selalu menyediakan untuk beliau siwak dan air wudunya,
dan Allah membangunkannya di waktu yang dikehendaki-Nya dari tengah malam, lalu
beliau bersiwak dan mengambil air wudunya. Setelah itu beliau mengerjakan salat
delapan rakaat, tanpa melakukan duduk kecuali pada rakaat yang kedelapannya. Dan
di rakaat yang kedelapan beliau duduk berzikir kepada Allah dan berdoa
kepada-Nya, lalu bangkit lagi tanpa salam, dan langsung mengerjakan rakaat yang
kesembilannya. Setelah rakaat yang kesembilan, barulah beliau duduk dan berzikir
kepada Allah semata serta berdoa kepada-Nya, lalu melakukan salam dengan suara
yang dapat didengar oleh kami. Sesudah itu beliau salat dua rakaat lagi sambil
duduk sesudah salamnya itu. Maka itulah sebelas rakaat yang dikerjakan oleh
beliau Saw., hai Anakku.
Tetapi setelah usia Rasulullah Saw. bertambah tua dan tubuhnya mulai gemuk,
maka beliau mengerjakan witirnya tujuh rakaat, kemudian salat dua rakaat lagi
sambil duduk setelah salamnya. Maka itulah sembilan rakaat yang dikerjakannya,
hai Anakku.
Dan Rasulullah Saw. apabila mengerjakan suatu salat, beliau suka
mengerjakannya dengan tetap. Apabila beliau disibukkan karena tertidur atau
sedang sakit hingga salat malam hari tidak dikerjakannya di malam hari, maka
beliau mengerjakannya di siang hari sebanyak dua belas rakaat. Dan aku belum
pernah melihat Nabi Saw. mengkhatamkan Al-Qur'an seluruhnya dalam semalam hingga
pagi harinya, dan tidak pula puasa sebulan penuh selain dalam bulan
Ramadan."
Lalu aku kembali kepada Ibnu Abbas dan kuceritakan kepadanya hadis yang
diceritakan oleh Aisyah. Maka Ibnu Abbas berkata, "Dia benar, ketahuilah
seandainya aku yang masuk menemuinya, tentulah aku akan menemuinya hingga dapat
berbicara berhadap-hadapan dengannya."
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara lengkap, dan
Imam Muslim di dalam kitab sahihnya telah mengetengahkan hadis ini melalui
Qatadah dengan lafaz yang semisal.
Jalur lain dari Aisyah r.a. yang semakna dengan hadis ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah
mencerita-kan kepada kami Zaid ibnul Habbab, dan telah menceritakan kepada kami
Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Mahran; keduanya meriwayatkan hadis
ini, tetapi lafaznya dari Ibnu Waki', dari Musa ibnu Ubaidah, telah menceritakan
kepadaku Muhammad ibnu Tahla, dari Abu Saiamah, dari Aisyah r.a. yang
menceritakan bahwa aku pernah mempersiapkan tikar hamparan untuk tempat salat
Rasulullah Saw. di malam hari. Orang-orang (para sahabat) mengintipnya dan
mereka berkerumun mendengarkannya. Maka Nabi Saw. Keluar seperti orang yang
sedang marah, padahal beliau sayang kepada mereka. Beliau merasa khawatir bila
qiyamul lail difardukan atas mereka, maka beliau bersabda:
«أَيُّهَا
النَّاسُ اكْلَفُوا مِنَ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ
مِنَ الثَّوَابِ حَتَّى تَمَلُّوا مِنَ الْعَمَلِ وَخَيْرُ الْأَعْمَالِ مَا دِيمَ
عَلَيْهِ»
Hai manusia, kerjakanlah dari amal-amal ibadah yang sesuai dengan
kamampuan kalian. Karena sesungguhnya Allah tidak pernah merasa bosan dalam
memberi pahala, hingga kalian sendirilah yang bosan dalam beramal. Dan
sebaik-baik amal ialah yang paling tetap pengamalannya.
Dan turunlah firman Allah Swt.:
{يَا
أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلا قَلِيلا نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ
قَلِيلا أَوْ زِدْ عَلَيْهِ}
Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk salat) di malam
hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari
seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. (Al-Muzzammil: 1-4)
Hingga tersebutlah ada seseorang yang terpaksa mengikat dirinya dengan
tambang, lalu bergantung padanya (agar tetap dalam keadaan bangun). Mereka
jalani masa itu selama delapan bulan, maka Allah melihat keinginan mereka dalam
meraih rida-Nya. Akhirnya Allah mengasihani mereka dan mengembalikan mereka
kepada salat fardu saja serta tidak lagi mewajibkan qiyamul lail.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur Musa ibnu Ubaidah Ar-Rabzi,
tetapi dia orangnya daif. Hadis ini di dalam kitab sahih tidak menyebutkan
adanya penurunan surat Al-Muzzammil. Konteks hadis ini memberikan pengertian
bahwa surat ini seakan-akan diturunkan di Madinah, padahal kenyataannya tidaklah
demikian. Sesungguhnya surat ini tiada lain adalah surat Makkiyyah. Dan teks
hadis yang menyebutkan bahwa jarak antara turunnya permulaan surat ini dan
akhirnya memakan waktu delapan bulan. Ini berpredikat garib (aneh), karena
sesungguhnya menurut apa yang tertera di dalam hadis riwayat Imam Ahmad sebelum
ini telah disebutkan jarak tenggangnya adalah satu tahun.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj,
telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Mis'ar, dari Sammak Al-Hanafi,
bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan bahwa pada permulaan turunnya
awal surat Al-Muzzammil, para sahabat melakukan qiyamul lail yang lamanya sama
dengan qiyamul lail mereka dalam bulan Ramadan. Dan jarak tenggang waktu antara
awal surat Al-Muzzammil sampai dengan ayat terakhirnya memakan waktu kurang
lebih satu tahun. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Abu
Kuraib, dari Abu Usamah dengan sanad yang sama.
As-Sauri dan Muhammad ibnu Bisyr Al-Abdi telah meriwayatkan dari Mis'ar, dari
Sammak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa jarak antara keduanya (permulaan
surat dan akhirnya) adalah satu tahun. Ibnu Jarir telah meriwayatkan pula dari
Abu Kuraib, dari Waki', dari Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas
hal yang semisal.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah
menceritakan kepada kami Mahran, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari
Qa"is ibnu Wahb, dari Abu Abdur Rahman yang mengatakan bahwa ketika diturunkan
firman-Nya: Hai orang yang berselimut (Muhammad). (Al-Muzzammil: 1)
Mereka mengerjakan qiyamul lail selama satu tahun sehingga telapak kaki dan
betis mereka bengkak, hingga turunlah firman Allah Swt.: karena itu bacalah
apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. (Al-Muzzammil: 20) Maka orang-orang
pun (yakni para sahabat) merasa lega dengannya. Hal yang sama telah dikatakan
oleh Al-Hasan Al-Basri dan As-Saddi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, te!ah
menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan
kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari
Qatadah, dari Zurarah ibnu Aufa, dari Sa'id ibnu Hisyam yang mengatakan bahwa
lalu ia bertanya kepada Aisyah, "Ceritakanlah kepadaku tentang qiyamul lail
Rasulullah Saw." Siti Aisyah balik bertanya, "Bukankah engkau telah membaca
firman-Nya: Hai orang yang berselimut (Muhammad). (Al-Muzzammil: 1) Aku
menjawab, "Benar, aku telah membacanya." Siti Aisyah r.a. berkata, "Itulah
qiyamul lail yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya,
hingga telapak kaki mereka bengkak-bengkak (karena lamanya berdiri dalam salat),
sedangkan penutup surat ini ditahan di langit selama enam belas bulan, kemudian
baru diturunkan sesudahnya."
Ma'mar telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman Allah
Swt.: bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya).
(Al-Muzzammil: 2) Mereka melakukan qiyamul lail selama kurang lebih satu atau
dua tahun hingga betis dan telapak kaki mereka bengkak-bengkak, lalu Allah
menurunkan ayat yang meringankannya sesudah itu di akhir surat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah
menceritakan kepada kami Ya'qub Al-Qummi, dari Ja'far, dari Sa'id ibnu Jubair
yang mengatakan bahwa ketika Allah Swt. menurunkan kepada Nabi-Nya firman
berikut: Hai orang yang berselimut (Muhammad). (Al-Muzzammil: 1) Bahwa
Nabi Saw. mengerjakan perintah ini selama sepuluh tahun, yaitu qiyamul lail
sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Swt. Dan tersebutlah bahwa segolongan
dari para sahabat ada yang ikut melakukan qiyamul lail bersamanya. Maka sesudah
masa sepuluh tahun Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Tuhanmu
mengetahui bahwasanya kamu berdiri (salat) kurang dari dua pertiga malam, atau
seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang
yang bersama kamu. (Al-Muzzammil: 20) sampai dengan firman-Nya: dan
dirikanlah salat. (Al-Muzzammil: 20) Maka melalui ayat ini Allah memberikan
keringanan kepada mereka setelah sepuluh tahun.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hadis ini dari ayahnya. dari Amr ibnu Rafi', dari
Ya'qub Al-Qummi dengan sanad yang sama. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: bangunlah (untuk salat)
di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah
dari seperdua itu sedikit. (Al-Muzzammil: 2-3) Maka hal ini memberatkan kaum
mukmin, kemudian Allah memberikan keringanan kepada mereka dan mengasihi mereka.
Untuk itu Allah menurunkan firman-Nya sesudah itu: Dia mengetahui bahwa akan
ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang lain, mereka
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah. (Al-Muzzammil: 20)
sampai dengan firman-Nya: maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari
Al-Qur'an. (Al-Muzzammil: 20) Maka melalui ayat ini Allah Swt. memberikan
keluasan bagi mereka —segala puji bagi Allah— dan Dia tidak mempersulit mereka.
****
Firman Allah Swt.:
{وَاذْكُرِ
اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلا}
Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh
ketekunan. (Al-Muzzammil: 8)
Yakhi perbanyaklah mengingat-Nya dan curahkanlah seluruh waktumu untuk
beribadah kepada-Nya bila kamu telah selesai dari kesibukanmu dan menyelesaikan
urusan duniawimu, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui
firman-Nya:
{فَإِذَا
فَرَغْتَ فَانْصَبْ}
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Al-Insyirah: 7)
Yaitu apabila kamu telah selesai dari kesibukanmu, maka curahkanlah dirimu
untuk mengerjakan ketaatan kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya, agar kamu
menjadi orang yang berlapang dada. Ibnu Zaid telah mengatakan hal yang semakna
atau mendekatinya.
Ibnu Abbas, Mujahid, AbuSaleh, Atiyyah, Ad-Dahhak, dan As-Saddi telah
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan beribadahlah kepada-Nya
dengan penuh ketekunan. (Al-Muzzammil: 8)
Artinya, ikhlaslah kamu dalam beribadah kepada-Nya. Al-Hasan mengatakan bahwa
bersungguh-sungguhlah kamu dan tekunkanlah dirimu dalam beribadah kepada-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, bahwa dikatakan kepada seorang ahli ibadah bahwa dia
adalah seorang yang mutabattil (tekun beribadah). Termasuk ke dalam pengertian
ini hadis yang melarang ber-taba'ttul, yakni menghabiskan seluruh usia
untuk beribadah dan tidak mau kawin.
*******************
Firman Allah Swt.:
{رَبُّ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ فَاتَّخِذْهُ
وَكِيلا}
(Dialah) Tulian masyriq dan magrib, tiada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai Pelindung. (Al-Muzzammil: 9)
Yakni Dialah Yang Memiliki, Yang Mengatur semua yang di Masyriq dan yang di
Magrib, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Maka sebagaimana engkau
esakan Dia dalam ibadah, esakanlah pula Dia dalam bertawakal, dan ambillah Dia
sebagai Pelindung. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui
firman-Nya:
فَاعْبُدْهُ
وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. (Hud: 123)
Dan firman Allah Swt.:
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan. (Al-Fatihah: 5)
Masih banyak ayat lain yang mengandung perintah mengesakan Allah dalam
beribadah dan bertaat, serta berserah diri hanya kepada-Nya.