Tafsir Surat An-Nur, ayat 61
{لَيْسَ
عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
وَلا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ
أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ
أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ
أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ
صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ
اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ
لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (61) }
Tidak
ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak
(pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri,
makan (bersama-sama mereka) di rumah kalian sendiri, atau di rumah
bapak-bapak kalian, di rumah ibu-ibu kalian, di rumah saudara-saudara kalian
yang laki-laki, di rumah saudara-saudara kalian yang perempuan, di rumah saudara
bapak kalian yang laki-laki, di rumah saudara bapak kalian yang perempuan, di
rumah saudara ibu kalian yang laki-laki, di rumah saudara ibu kalian yang
perempuan, di rumah yang kalian miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawan
kalian. Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian.
Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini),
hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi
salam) kepada diri kalian sendiri, sebenar-benarnya salam yang dari sisi
Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat
bagi kalian agar kalian memahaminya.
Ulama tafsir berbeda pendapat tentang makna yang menjadi penyebab bagi
terhapusnya dosa dari orang yang buta, orang yang pincang, dan orang yang sakit
dalam ayat ini.
Ata Al-Khurrasani dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayat
ini diturunkan berkenaan dengan masalah jihad. Mereka mengkategorikan ayat ini
sama dengan apa yang terdapat di dalam surat Al-Fath yang menerangkan dengan
jelas masalah jihad. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa tiada dosa atas
mereka dalam meninggalkan kewajiban berjihad karena kondisi mereka yang lemah
dan tidak mampu. Semakna pula dengan apa yang disebutkan di dalam surat
At-Taubah melalui firman-Nya:
{لَيْسَ
عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا
يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَلا عَلَى الَّذِينَ إِذَا مَا أَتَوْكَ
لِتَحْمِلَهُمْ قُلْتَ لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ}
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang
lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh
apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tiada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat
baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan tiada (pula dosa)
atas orang-orang yang apabila datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka
kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa
kalian!" (At-Taubah: 91-92)
sampai dengan firman-Nya:
أَلا
يَجِدُوا مَا يُنْفِقُونَ
lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.
(At-Taubah: 92)
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dalam ayat ini ialah pada
mulanya mereka merasa keberatan bila makan bersama orang yang buta. Karena orang
buta tidak dapat melihat makanan dan lauk-pauk yang ada dalam hidangan, dan
barangkali orang lain (yang tidak buta) mendahuluinya dalam menyantap hidangan
yang disuguhkan. Tidak pula bersama orang yang pincang, sebab orang yang pincang
tidak dapat duduk dengan baik sehingga teman-teman sekedudukannya menjauh
darinya. Tidak pula orang yang sedang sakit, sebab orang yang sedang sakit tidak
dapat menyantap hidangan dengan sempurna sebagaimana yang lainnya. Maka dari itu
mereka tidak mau makan bersama orang-orang tersebut, agar mereka tidak berbuat
aniaya terhadap orang-orang itu. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat ini sebagai
kemurahan dari-Nya dalam masalah ini. Demikianlah menurut pendapat yang
dikemukakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Miqsam.
Ad-Dahhak mengatakan bahwa dahulu sebelum Nabi Saw. diutus, mereka merasa
keberatan bila makan bersama-sama orang-orang itu karena merasa jijik dan enggan
serta menghindari agar orang-orang itu tidak tersinggung. Lalu Allah menurunkan
ayat ini (sesudah Islam datang).
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Abu
Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Tiada halangan bagi
orang buta. (An-Nur: 61), hingga akhir ayat. Dahulu seseorang pergi membawa
seorang yang tuna netra, atau seorang yang pincang atau seorang yang sakit, ke
rumah ayahnya atau rumah saudara laki-lakinya atau rumah saudara perempuannya
atau rumah saudara perempuan ayahnya atau rumah saudara perempuan ibunya.
Sedangkan orang-orang yang sakit merasa keberatan dengan hal tersebut. Mereka
mengatakan bahwa sesungguhnya orang-orang mengajak mereka ke rumah keluarga
mereka sendiri (yakni mau mengajak hanya ke rumah keluarganya sendiri), lalu
turunlah ayat ini sebagai rukhsah buat mereka.
As-Saddi mengatakan bahwa seseorang masuk ke dalam rumah ayahnya atau saudara
lelakinya atau anak lelakinya, lalu istri pemilik rumah menyuguhkan makanan
kepadanya, tetapi ia tidak mau makan karena pemilik rumah tidak ada di tempat.
Maka Allah Swt. berfirman: Tidak ada halangan bagi orang buta. (An-Nur:
61), hingga akhir ayat.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ}
dan tidak pula bagi diri kalian sendiri, makan (bersama-sama mereka)
di rumah kalian sendiri. (An-Nur: 61)
Sesungguhnya makan di rumah sendiri disebutkan dalam ayat ini tiada lain agar
di- 'ataf-kan kepadanya lafaz lain yang disebutkan sesudahnya supaya
mempunyai hukum yang sama dengannya. Termasuk pula ke dalam pengertian rumah
sendiri ialah rumah anak, sekalipun tidak disebutkan dalam nas ayat ini
(tetapi pengertiannya tersirat di dalamnya). Karena itu, ada sebagian ulama yang
menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan bahwa harta milik anak sama
dengan harta milik ayahnya. Di dalam kitab musnad dan kitab sunan telah
disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Rasulullah
Saw., bahwa beliau Saw. pernah bersabda:
"أَنْتَ
وَمَالُكَ لِأَبِيكَ"
Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.
*******************
Firman Allah Swt.:
{أَوْ
بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ}
atau rumah bapak-bapak kalian, atau rumah ibu-ibu kalian. (An-Nur:
61)
sampai dengan firman-Nya:
{أَوْ
مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ}
atau di rumah yang kalian miliki kuncinya. (An-Nur: 61)
Makna ayat ini sudah jelas, dan ada sebagian ulama yang mewajibkan memberi
nafkah kepada kaum kerabat, sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain.
Seperti yang ada pada mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal
menurut pendapat yang terkenal dari keduanya.
Mengenai makna firman-Nya:
{أَوْ
مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ}
atau di rumah yang kalian miliki kuncinya. (An-Nur: 61)
Menurut Sa'id ibnu Jubair dan As-Saddi, yang dimaksud adalah pelayan
seseorang. Diperbolehkan baginya memakan sebagian dari makanan yang disimpan
oleh tuannya dengan cara yang makruf.
Az-Zuhri telah meriwayatkan dari Urwah, dari Aisyah r.a. yang telah
mengatakan bahwa dahulu kaum muslim berangkat berjihad bersama Rasulullah Saw.
Maka mereka menyerahkan kunci-kunci rumah mereka kepada orang-orang
kepercayaannya masing-masing. Dan mereka mengatakan, "Kami halalkan bagi kalian
memakan apa yang kalian perlukan." Sedangkan orang-orang kepercayaan mereka
mengatakan, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami memakan makanan mereka, karena
sesungguhnya mereka memberikan izinnya kepada kami tidak berdasarkan keikhlasan
hati, dan sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang dipercaya untuk memegang
amanat." Maka Allah menurunkan firman-Nya: atau di rumah-rumah yang kalian
miliki kuncinya. (An-Nur. 61)
*******************
Adapun firman Allah Swt.:
{أَوْ
صَدِيقِكُمْ}
atau di rumah kawan-kawan kalian. (An-Nur: 61)
Yakni rumah teman-teman kalian dan rumah sahabat-sahabat kalian, maka tiada
dosa bagi kalian bila makan dari apa yang ada padanya, jika kalian mengetahui
bahwa hal tersebut tidak memberatkan pemilik rumah dan para pemilik rumah
merelakannya.
Qatadah mengatakan, "Apabila kamu memasuki rumah temanmu, maka tidak ada
halangan bagimu bila makan di dalamnya tanpa seizin temanmu."
Firman Allah Swt.:
{لَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا}
Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau sendirian.
(An-Nur: 61)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna ayat ini, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama
kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29)
Maka kaum muslim berkata, "Sesungguhnya Allah telah melarang kita saling
memakan harta sesama kita dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah harta
yang paling utama. Karena itu, tidak halal bagi seseorang di antara kita makan
di rumah orang lain." Maka orang-orang menahan dirinya dari hal tersebut, lalu
Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak ada halangan bagi orang buta.
(An-Nur: 61) sampai dengan firman-Nya: atau di rumah kawan-kawan
kalian.(An-Nur: 61)
Dahulu mereka merasa enggan dan berdosa bila makan sendirian, melainkan bila
ditemani oleh orang lain, kemudian Allah memberikan kemurahan (dispensasi) bagi
mereka dalam hal tersebut melalui firman-Nya: Tidak ada halangan bagi kalian
makan bersama-sama atau sendirian. (An-Nur: 61)
Qatadah mengatakan bahwa sebagian orang dari Bani Kinanah sejak masa Jahiliah
menganggap sebagai suatu perbuatan yang hina bila seseorang dari mereka makan
sendirian, sehingga seseorang dari mereka terpaksa masih terus menggiring unta
gembalaannya dalam keadaan lapar hingga bersua dengan seseorang yang mau makan
dan minum bersamanya. Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya (sesudah masa
Islam), yaitu: Tidak ada halangan bagi kalian makan bersama-sama mereka atau
sendirian. (An-Nur: 61)
Ini merupakan suatu kemurahan dari Allah Swt. yang mengizinkan seseorang
makan sendirian atau secara berjamaah, sekalipun makan dengan berjamaah lebih
berkah dan lebih utama. Seperti yang telah disebutkan di dalam riwayat Imam
Ahmad:
حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ وَحْشيّ
بْنِ حَرْب، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ؛ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّا نأكلُ وَلَا نشبَع. قَالَ: "فَلَعَلَّكُمْ
تَأْكُلُونَ مُتَفَرِّقِينَ، اجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ، وَاذْكُرُوا اسْمَ
اللَّهِ يُبَاركْ لَكُمْ فِيهِ".
telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdu Rabbih, telah menceritakan
kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Wahsyi ibnu Harb, dari ayahnya, dari
kakeknya, bahwa pernah ada seorang lelaki berkata kepada Nabi Saw.,
"Sesungguhnya kami makan, tetapi tidak pernah merasa kenyang." Maka Nabi Saw.
bersabda: Barangkali kalian makan sendiri-sendiri, makanlah dengan berjamaah
dan sebutlah nama Allah (sebelumnya), niscaya kalian akan diberkati dalam
makanan kalian.
Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadis Al-Walid ibnu Muslim
dengan sanad yang sama.
Ibnu Majah telah meriwayatkan pula melalui hadis Amr ibnu Dinar-Al-Qahramani,
dari Salim, dari ayahnya, dari Umar, dari Rasulullah Saw. yang telah
bersabda:
"كُلُوا
جَمِيعًا وَلَا تَفَرّقُوا؛ فَإِنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ
الْجَمَاعَةِ".
Makanlah bersama-sama, janganlah kalian makan sendiri-sendiri, karena
sesungguhnya keberkatan itu ada bersama jamaah.
*******************
Firman Allah Swt.:
{فَإِذَا
دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ}
Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah
(ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang
berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri. (An-Nur: 61)
Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, dan Az-Zuhri telah mengatakan,
hendaklah sebagian dari kalian memberi salam kepada sebagian yang lain. Ibnu
Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abuz Zubair yang pernah mendengar
Jabir ibnu Abdullah berkata, "Apabila kamu masuk ke dalam rumah keluargamu,
ucapkanlah salam kepada mereka dengan ucapan salam penghormatan yang diberkati
lagi baik di sisi Allah." Abuz Zubair mengatakan, "Menurut hemat saya, maksud
Jabir tiada lain mewajibkan hal tersebut."
Ibnu Juraij mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ziyad, dari Ibnu Tawus
yang mengatakan, "Apabila seseorang diantar", kalian memasuki rumahnya,
hendaklah ia mengucapkan salam." Ibnu Juraij mengatakan bahwa ia pernah bertanya
kepada Ata, "Apakah wajib bagiku bila keluar dari rumah, lalu memasukinya lagi,
mengucapkan salam kepada mereka?" Ata menjawab, "Saya tidak mengharuskannya
kepada seseorang, tetapi hal itu lebih aku sukai dan saya tidak pernah
mengabaikannya terkecuali bila saya lupa."
Mujahid mengatakan, "Apabila kamu memasuki masjid, ucapkanlah salam kepada
Rasulullah; dan apabila kamu masuk ke rumah keluargamu, ucapkanlah salam kepada
mereka; dan apabila kamu masuk ke dalam suatu rumah yang tidak ada penghuninya,
ucapkanlah salam berikut, 'Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dan
juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh'."
As-Sauri telah meriwayatkan dari Abdul Karim Al-Jazari, dari Mujahid,
"Apabila kamu masuk ke dalam suatu rumah yang tidak ada orang di dalamnya, maka
ucapkanlah salam berikut, 'Dengan menyebut nama Allah, dan segala puji bagi
Allah. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kita dari Tuhan kita, semoga
kesejahteraan terlimpah-kan kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang
saleh'.'"
Qatadah mengatakan,"Apabila kamu masuk ke dalam rumah keluargamu, maka
ucapkanlah salam kepada mereka. Dan apabila kamu memasuki suatu rumah yang tidak
ada orang di dalamnya, maka ucapkanlah, 'Semoga kesejahteraan terlimpahkan
kepada kita dan juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh,' karena sesungguhnya
dia diperintahkan untuk mengucapkan salam tersebut." Dan telah menceritakan
kepada kami Qatadah, bahwa para malaikat menjawab salamnya itu.
وَقَالَ
الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى،
حَدَّثَنَا عَوْبَدُ بْنُ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَنَسٍ
قَالَ: أَوْصَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِخَمْسِ خِصَالٍ،
قَالَ: "يَا أَنَسُ، أَسْبِغِ الْوُضُوءَ يُزَد فِي عُمْرِكَ، وسَلّم عَلَى مَنْ
لَقِيَكَ مِنْ أُمَّتِي تكْثُر حَسَنَاتُكَ، وَإِذَا دَخَلْتَ -يَعْنِي: بَيْتَكَ
-فَسَلِّمْ عَلَى أَهْلِ بَيْتِكَ، يَكْثُرْ خَيْرُ بَيْتِكَ، وَصَلِّ صَلَاةَ
الضُّحى فَإِنَّهَا صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ قَبْلَكَ. يَا أَنَسُ، ارْحَمِ
الصَّغِيرَ، ووقِّر الْكَبِيرَ، تَكُنْ مِنْ رُفَقَائِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ".
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Uwaid ibnu Abu Imran
Al-Juni, dari ayahnya, dari Anas yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah
berwasiat kepadanya (yakni memerintahkan kepadanya untuk mengamalkan) lima
pekerti. Beliau bersabda: Hai Anas, kerjakanlah wudu dengan sempurna, niscaya
umurmu akan bertambah; dan ucapkanlah salam kepada orang yang engkau jumpai dari
kalangan umatku, niscaya bertambah banyaklah kebaikan-kebaikanmu; dan apabila
engkau memasuki rumahmu, ucapkanlah salam kepada keluargamu, niscaya menjadi
banyaklah kebaikan rumahmu; dan kerjakanlah salat duha, karena sesungguhnya
salat duha adalah salatnya orang-orang yang suka bertobat di masa sebelummu. Hai
Anas, kasihanilah anak kecil dan hormatilah orang dewasa, niscaya engkau
termasuk teman-temanku kelak di hari kiamat.
*******************
Firman Allah Swt.:
{تَحِيَّةً
مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً}
sebenar-benarnya salam yang dari sisi Allah yang diberkati lagi baik.
(An-Nur: 61)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Daud ibnul
Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan, "Tiada lain
tasyahhud itu diambil dari Kitabullah. Saya telah mendengar Allah
berfirman: Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah
(ini), hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang
berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, sebenar-benarnya salam
yang dari sisi Allah yang diberi berkat lagi baik' (An-Nur: 61)." Bacaan
tasyahhud dalam salat ialah;
التَّحِيَّاتُ
الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، السَّلَامُ
عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ
عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ.
"Semua salam penghormatan dan semua salawat adalah milik Allah. Aku bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba
dan utusan-Nya. Semoga salam terlimpahkan kepadamu, wahai Nabi; begitu pula
rahmat Allah dan semua berkah-Nya. Semoga salam terlimpahkan kepada kita dan
juga kepada hamba-hamba Allah yang saleh,"
kemudian hendaklah ia berdoa untuk dirinya sendiri, selanjutnya salam.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadis Ibnu
Ishaq. Tetapi menurut apa yang terdapat di dalam kitab Sahih Muslim dari
Ibnu Abbas, dari Rasulullah Saw. berbeda dengan riwayat ini, hanya Allah-lah
Yang Maha Mengetahui.
*******************
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ}
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kalian, agar kalian
memahaminya. (An-Nur: 61)
Setelah menyebutkan semua yang terkandung di dalam surat ini berupa
hukum-hukum yang muhkam dan syariat-syariat yang kokoh dan pasti, lalu
Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya, bahwa Dia menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya
ayat-ayat yang terang lagi gamblang agar mereka merenungkan dan memikirkannya,
mudah-mudahan mereka dapat memahaminya.