Tafsir Surat An-Nur, ayat 32-34
{وَأَنْكِحُوا
الأيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا
فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (32)
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ
مِنْ فَضْلِهِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ
الَّذِي آتَاكُمْ وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ
تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ
اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ (33) وَلَقَدْ أَنزلْنَا
إِلَيْكُمْ آيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ وَمَثَلا مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ
وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ (34) }
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendiri di
antara kalian, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan
hamba-hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui. Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah
menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.
Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah
kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada
mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepada kalian. Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita
kalian untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan
kesucian, karena kalian hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang
memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). Dan
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian ayat-ayat yang memberi
penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kalian dan
pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
Ayat-ayat yang mulia lagi menjelaskan ini mengandung sejumlah hukum yang
muhkam dan perintah-perintah yang pasti.
Firman Allah Swt.:
{وَأَنْكِحُوا
الأيَامَى مِنْكُمْ}
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian. (An-Nur:
32), sampai akhir ayat.
Hal ini merupakan perintah untuk kawin. Segolongan ulama berpendapat bahwa
setiap orang yang mampu kawin diwajibkan melakukanya. Mereka berpegang kepada
makna lahiriah hadis Nabi Saw. yang berbunyi:
"يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ،
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ"
Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menanggung biaya
perkawinan, maka hendaklah ia kawin. Karena sesungguhnya kawin itu lebih
menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang
tidak mampu, hendaknyalah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat
dijadikan peredam (berahi) baginya.
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya
masing-masing melalui hadis Ibnu Mas'ud.
Di dalam kitab sunan telah disebutkan hadis berikut melalui berbagai jalur,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"تَزَوَّجوا،
تَوَالَدُوا، تَنَاسَلُوا، فَإِنِّي مُبَاهٍ بِكُمُ الْأُمَمَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ" وَفِي رِوَايَةٍ: "حَتَّى بِالسِّقْطِ".
Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang subur peranakannya, niscaya
kalian mempunyai keturunan; karena sesungguhnya aku merasa bangga dengan
(banyaknya) kalian terhadap umat-umat lain kelak di hari kiamat.
Menurut riwayat lain disebutkan, "Sekalipun dengan bayi yang
keguguran."
Al-Ayama adalah bentuk jamak dari ayyimun. Kata ini dapat
ditujukan kepada pria dan wanita yang tidak punya pasangan hidup, baik ia pernah
kawin ataupun belum. Demikianlah menurut pendapat Al-Jauhari yang ia nukil dari
ahli lugah (bahasa). Dikatakan rajulun ayyimun dan imra-tun
ayyimun, artinya pria yang tidak beristri dan wanita yang tidak
bersuami.
Firman Allah Swt.:
{إِنْ
يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ}
Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.
(An-Nur: 32), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ayat ini
mengandung anjuran kepada mereka untuk kawin. Allah memerintahkan orang-orang
yang merdeka dan budak-budak untuk kawin, dan Dia menjanjikan kepada mereka
untuk memberikan kecukupan. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Jika mereka
miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. (An-Nur: 32)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Khalid Al-Azraq, telah menceritakan kepada
kami Umar ibnu Abdul Wahid, dari Sa’id ibnu Abdul Aziz yang mengatakan bahwa
telah sampai suatu berita kepadanya bahwa Abu Bakar As-Siddiq r.a. pernah
mengatakan, "Bertakwalah kalian kepada Allah dalam menjalankan apa yang Dia
perintahkan kepada kalian dalam hal nikah, niscaya Dia akan memenuhi bagi kalian
apa yang telah Dia janjikan kepada kalian, yaitu kecukupan." Allah Swt. telah
berfirman: Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan
karunia-Nya. (An-Nur: 32)
Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan, "Carilah
kecukupan dalam nikah, karena Allah Swt. telah berfirman: 'Jika mereka
miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya' (An-Nur: 32)."
Ibnu Jarir telah meriwayatkannya, dan Al-Bagawi telah meriwayatkan hal yang
semisal melalui Umar.
Telah diriwayatkan dari Al-Lais, dari Muhammad ibnu Ajian, dari Sa'id
Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang berkata bahwa Rasulullah saw. pernah
bersabda:
"ثَلَاثَةٌ
حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنهم: النَّاكِحُ يُرِيدُ الْعَفَافَ، والمكاتَب يُرِيدُ
الْأَدَاءَ، وَالْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ"
Ada tiga macam orang yang berhak memperoleh pertolongan dari Allah,
yaitu orang yang nikah karena menghendaki kesucian, budak mukatab yang bertekad
melunasinya, dan orang yang berperang di jalan Allah.
Hadis riwayat imam Ahmad, Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah.
Nabi Saw. pernah mengawinkan lelaki yang tidak mempunyai apa-apa selain
sehelai kain sarung yang dikenakannya dan tidak mampu membayar maskawin cincin
dari besi sekalipun. Tetapi walaupun demikian, beliau Saw. mengawinkannya dengan
seorang wanita dan menjadikan maskawinnya bahwa dia harus mengajari istrinya
Al-Qur'an yang telah dihafalnya. Kebiasaannya, berkat kemurahan dari Allah Swt.
dan belas kasih-Nya, pada akhirnya Allah memberinya rezeki yang dapat mencukupi
kehidupan dia dan istrinya.
Adapun tentang apa yang dikemukakan oleh kebanyakan orang, bahwa hal berikut
merupakan sebuah hadis, yaitu:
"تَزَوَّجُوا
فُقَرَاءَ يُغْنِكُمُ اللَّهُ"
Kawinilah orang-orang yang fakir, niscaya Allah akan memberikan kecukupan
kepada kalian.
Maka hadis ini tidak ada pokok pegangannya, dan menurut hemat saya sanadnya
tidak kuat, juga tidak lemah; sampai sekarang saya masih belum mengetahuinya.
Apa yang ada di dalam Al-Qur'an merupakan suatu kecukupan yang tidak
memerlukannya; begitu pula hadis-hadis di atas yang telah kami kemukakan, sudah
cukup sebagai dalilnya.
*******************
Firman Allah swt.:
{وَلْيَسْتَعْفِفِ
الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ
فَضْلِهِ}
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.
(An-Nur: 33)
Ini adalah perintah dari Allah Swt.,ditujukan kepada lelaki yang tidak mampu
kawin; hendaknyalah mereka memelihara dirinya dari hal yang diharamkan, seperti
yang disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw:
"يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ،
فَإِنَّهُ أغَضُّ لِلْبَصَرِ، وأحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاء".
Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan
untuk kawin, kawinlah kalian; karena sesungguhnya kawin itu lebih menundukkan
pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu,
hendaklah ia mengerjakan puasa; karena sesungguhnya puasa merupakan peredam
baginya.
Ayat ini mengandung makna yang mutlak, sedangkan ayat yang terdapat di dalam
surat An-Nisa lebih khusus maknanya, yaitu firman Allah Swt.:
{وَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ}
Dan barang siapa di antara kalian (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka. (An-Nisa: 25)
sampai dengan firman-Nya:
وَأَنْ
تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ}
dan kesabaran itu lebih baik bagi kalian. (An-Nisa: 25)
Artinya, kesabaran kalian untuk tidak mengawini budak perempuan lebih baik
bagi kalian, karena anaknya kelak akan menjadi budak pula.
{وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ}
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang. (An-Nisa: 25)
Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan
orang-orang yang tidak mampu kawin, hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya. (An-Nur: 33) Yakni berkenaan dengan seorang lelaki yang
melihat wanita lain hingga ia bernafsu kepadanya. Maka jika ia mempunyai istri,
hendaklah ia pulang kepada istrinya dan tunaikanlah hajatnya itu kepadanya. Jika
ia tidak beristri, hendaklah mengalihkan pandangannya kepada kerajaan langit dan
bumi hingga Allah memberikan kecukupan kepadanya.
*******************
Firman Allah Saw.:
{وَالَّذِينَ
يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ
عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا}
Dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah
kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada
mereka. (An-Nur: 33)
Ini adalah perintah dari Allah ditujukan kepada para tuan, bila budak-budak
mereka menginginkan transaksi kitabah. Yaitu hendaknya mereka memenuhi
permintaan budak-budak mereka dengan mengikat perjanjian, bahwa budak yang
bersangkutan dipersilakan berusaha dan dari hasil usahanya itu si budak harus
melunasi sejumlah harta yang telah dituangkan dalam perjanjian mereka berdua,
sebagai imbalan dari kemerdekaan dirinya secara penuh.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa perintah dalam ayat ini merupakan perintah
arahan dan anjuran, bukan perintah harus atau wajib, bahkan si tuan
diperbolehkan memilih apa yang disukainya. Dengan kata lain, bila budaknya ada
yang menginginkan transaksi kitabah darinya, maka si tuan berhak memilih
setuju atau tidaknya. Jika ia setuju, tentu menandatangani transaksi kitabah
budaknya; dan jika tidak setuju, tentu ia akan menolaknya.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Asy-Sya'bi, bahwa jika si tuan
menghendakinya,ia boleh menandatangani transaksi kitabah yang diajukan
budaknya; dan jika tidak menghendakinya, ia boleh menolaknya. Hal yang sama
telah diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dari Isma'il ibnu Ayyasy, dari seorang lelaki,
dari Ata ibnu Abu Rabah. Disebutkan bahwa seorang tuan jika suka, boleh
menandatangani transaksi kitabah itu; dan jika tidak suka, boleh
menolaknya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan dan Al-Hasan
Al-Basri.
Ulama yang lain berpendapat bahwa seorang tuan jika budaknya mengajukan
transaksi kitabah, diwajibkan baginya memenuhi apa yang diminta oleh
budaknya. Pendapat mereka berdasarkan kepada makna lahiriah dari perintah yang
terkandung dalam ayat ini.
Imam Bukhari mengatakan bahwa Rauh telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, bahwa
ia pernah bertanya kepada Ata, "Apakah wajib atas diriku memenuhi permintaan
budakku yang mengajukan transaksi kitabah dengan sejumlah harta?" Ata
menjawab, "Menurut hemat saya tiada lain bagimu kecuali wajib memenuhi
permintaannya."
Amr ibnu Dinar mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata, "Apakah engkau
lebih mementingkan orang lain daripada dia (budak yang meminta kitabah)?" Ata
menjawab, "Tidak." Kemudian ia menceritakan kepadaku, Musa ibnu Anas pernah
menceritakan kepadanya bahwa Sirin pernah mengajukan transaksi kitabah
kepada Anas, sedangkan Sirin mempunyai harta yang banyak; tetapi Anas
menolak. Maka Sirin segera menghadap kepada Khalifah Umar untuk melaporkan
kasusnya. Khalifah Umar berkata (kepada Anas), "Penuhilah transaksi
kitabah-nya!" Anas menolak. Maka Khalifah Umar memukulnya dengan cambuk,
lalu membacakan kepadanya firman Allah Swt.: hendaklah kalian buat perjanjian
dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. (An-Nur: 33)
Akhirnya Anas mau membuat perjanjian kitabah dengan Sirin.
Hal yang sama telah disebutkan oleh Imam Bukhari secara ta'liq.
Abdur Razzaq meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij yang
mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ata, "Apakah wajib bagiku melakukan
transaksi kitabah dengannya (si budak) bila aku telah memberitahukan
kepadanya sejumlah harta (yang harus dibayarnya untuk kemerdekaannya)?" Maka Ata
menjawab, "Menurut hemat saya tiada lain kecuali wajib belaka."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar,
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakr, telah menceritakan kepada
kami Sa’id, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik, bahwa Sirin bermaksud membuat
perjanjian kitabah kepadanya, tetapi Anas menolak. Maka Khalifah Umar
berkata kepada Anas, "Kamu harus menerima perjanjian kitabah-nya." Sanad
asar ini sahih.
Sa'id ibnu Mansur telah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Hasyim
ibnu Juwaibir, dari Ad-Dahhak yang mengatakan bahwa perintah ini merupakan
'azimah (keharusan). Hal inilah yang dianut oleh Imam syafii dalam
qaul qadim-nya. Sedangkan dalam qaul Jadid ia mengatakan bahwa
perintah ini tidak wajib karena berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang
mengatakan:
لَا
يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيبٍ مِنْ نَفْسِهِ
Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan hati yang senang.
Ibnu Wahb mengatakan, Malik pernah mengatakan bahwa duduk perkara yang
sebenarnya menurut pendapat kami pemilik budak tidak diwajibkan memenuhi
permintaannya, jika si budak meminta pembuatan perjanjian kitabah. Dan
aku belum pernah mendengar seseorang pun dari kalangan para imam yang menekankan
terhadap seseorang untuk melakukan transaksi kitabah terhadap
budaknya.
Imam Malik mengatakan bahwa sesungguhnya hal itu semata-mata sebagai anjuran
dari Allah Swt. dan perizinan dari-Nya bagi manusia, akan tetapi tidak wajib.
Hal yang sama telah dikatakan oleh As-Sauri, Abu Hanifah, dan Abdur Rahman ibnu
Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya. Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat
yang mengatakan wajib karena berdasarkan makna lahiriah ayat.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ
عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا}
jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka. (An-Nur: 33)
Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan kebaikan dalam ayat ini ialah
dapat dipercaya. Menurut sebagian ulama lainnya adalah kejujuran. Sebagian ulama
yang lain mengatakan harta, dan sebagian lagi mengatakan keahlian dan
profesi.
Abu Daud telah meriwayatkan di dalam himpunan hadis mursal-nya melalui
Yahya ibnul Abu Kasir, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda sehubungan dengan
makna firman-Nya: hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka, jika kalian
mengetahui ada kebaikan pada mereka. (An-Nur: 33) Rasulullah Saw.
bersabda:
"إِنْ
عَلِمْتُمْ فِيهِمْ حِرْفَةً، وَلَا تُرْسِلُوهُمْ كَلا عَلَى
النَّاسِ".
Jika kalian mengetahui bahwa mereka mempunyai profesi (keahlian),
dan janganlah kalian melepaskan mereka menjadi beban bagi orang lain.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَآتُوهُمْ
مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ}
dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepada kalian. (An-Nur: 33)
Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan makna ayat ini. Sebagian dari
mereka mengatakan bahwa makna ayat ialah bebaskanlah dari mereka sebagian utang
kitabah mereka. Sebagian lainnya mengatakan seperempatnya, ada yang mengatakan
sepertiganya, ada yang mengatakan separonya, ada pula yang mengatakan
sebagiannya tanpa batas.
Ulama lainnya mengatakan bahkan makna yang dimaksud dari firman Allah Swt.:
dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan
kepada kalian. (An-Nur: 33) Yaitu bagian yang telah ditetapkan oleh Allah
bagi mereka dari harta zakat.
Pendapat yang terakhir ini merupakan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Hasan
dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, serta ayahnya dan Muqatil ibnu Hayyan,
lalu dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ibrahim An-Nakha'i telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan
kepada kalian. (An-Nur: 33) Anjuran ini ditujukan kepada semua orang dan
tuan budak yang bersangkutan serta orang lainnya. Hal yang sama telah dikatakan
oleh Buraidah ibnul Hasib Al-Aslami dan Qatadah.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada kaum mukmin agar
menolong budak-budak (untuk memerdekakan dirinya).
Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan sebuah hadis dari Nabi Saw. yang
mengatakan bahwa ada tiga macam orang yang pasti mendapat pertolongan dari
Allah, antara lain ialah budak mukatab yang bertekad melunasi utangnya. Pendapat
pertama merupakan pendapat yang terkenal.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Isma'il, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Ibnu Syabib, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas, dari Umar, bahwa ia menulis perjanjian kitabah terhadap
seorang budak yang memintanya; budak tersebut dikenal dengan sebutan Abu
Umayyah. Ketika ia datang dengan membawa cicilannya yang telah jatuh tempo, Umar
berkata, "Hai Abu Umayyah," pergilah dan jadikanlah itu modalmu untuk membayar
transaksi kitabah-mu" Abu Umayyah menjawab, "Wahai Amirul Mu’minin,
sudikah kiranya engkau meringankan beban cicilanku hingga akhir cicilan?"
Khalifah Umar menjawab, "Aku merasa khawatir bila tidak dapat meraih hal itu
(yang dianjurkan oleh ayat)." Lalu Umar membaca firman-Nya: hendaklah kalian
buat perjanjian dengan mereka, jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka,
dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepada
kalian. (An-Nur: 33)
Ikrimah mengatakan bahwa hal tersebut merupakan permulaan cicilan yang
ditunaikan dalam Islam.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah
menceritakan kepada kami Harun ibnul Mugirah, dari Anbasah, dari Salim Al-Aftas,
dari Sa'id Ibnu Jubair yang mengatakan bahwa dahulu Khalifah Umar bila hendak
membuat perjanjian kitabah terhadap seorang budak, maka ia tidak
membebaskan sesuatu pun dari budak itu dalam cicilan pertamanya karena khawatir
bila si budak yang bersangkutan tidak mampu yang pada akhirnya sedekah yang
diberikannya itu akan kembali lagi kepada dirinya. Tetapi bila telah jatuh tempo
cicilan terakhirnya, maka ia membebaskan dari budak itu sejumlah apa yang
disukainya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan kepada kalian. (An-Nur: 33) Ibnu Abbas mengatakan, "Bebaskanlah
mereka dari sebagian tanggungannya."
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Qasim ibnu Abu Buzzah,
Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dan As-Saddi. Muhammad ibnu Sirin mengatakan
sehubungan dengan makna ayat, bahwa ia suka bila seseorang membebaskan budak
mukatab-nya dari sebagian tanggungannya.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ شَاذَانَ الْمُقْرِئُ،
أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ، عَنِ
ابْنِ جُرَيْج، أَخْبَرَنِي عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
جُنْدَبٍ أَخْبَرَهُ، عَنْ عَلِيٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "رُبْعُ الْكِتَابَةِ"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Syazan
Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan
kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ata
ibnus Sa-ib, bahwa Abdullah ibnu Jundub pernah menceritakan kepadanya dari Ali
r.a., dari Nabi Saw. yang telah bersabda, "Seperempat dari perjanjian
kitabah."
Tetapi hadis ini garib, predikat marfu '-nya tidak dapat
diterima; yang lebih mendekati kebenaran predikatnya adalah mauqufnya
sampai kepada Ali r.a., seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Abdur
Rahman As-Sulami rahimahulah bersumber dari dia.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلا
تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ}
Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan perzinaan.
(An-Nur: 33), hingga akhir ayat.
Dahulu di masa Jahiliah bila seseorang dari mereka mempunyai budak perempuan,
ia melepaskannya untuk berbuat zina dan menetapkan atas dirinya pajak yang ia
pungut di setiap waktu. Setelah Islam datang, maka Allah melarang orang-orang
mukmin melakukan hal tersebut.
Latar belakang turunnya ayat yang mulia ini menurut apa yang telah disebutkan
oleh sejumlah ulama tafsir—baik dari kalangan ulama Salaf maupun Khalaf—
berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul. Dia mempunyai banyak budak
perempuan yang sering ia paksa untuk melakukan pelacuran karena mengejar pajak
dari mereka, menginginkan anak dari mereka, dan beroleh kepemimpinan dari
perbuatannya itu menurut dugaannya.
Beberapa asar yang membicarakan hal
ini:
Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Amr ibnu Abdul Khaliq Al-Bazzar rahimahullah
telah mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami
Ahmad ibnu Daud Al-Wasit, telah menceritakan kepada kami Abu Amr Al-Lakhami
(yakni Muhammad ibnul Hajjaj), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ishaq, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa dahulu Abdullah ibnu Ubay ibnu
Salul mempunyai seorang budak perempuan yang dikenal dengan nama Mu'azah, dia
memaksanya untuk melacur. Setelah Islam datang, maka turunlah ayat ini, yaitu
firman-Nya: dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan
perzinaan. (An-Nur: 33), hingga akhir ayat.
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abu Sufyan, dari Jabir sehubungan dengan
makna ayat ini, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan budak perempuan
Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul yang dikenal dengan nama Masikah. Abdullah ibnu
Ubay memaksanya untuk melacur, sedangkan Masikah cukup cantik rupanya, tetapi
Masikah menolak. Maka Allah menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan
janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan perzinaan.
(An-Nur: 33) sampai dengan firman-Nya: Dan barang siapa yang memaksa
mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur: 33)
Imam Nasai telah meriwayatkan hal yang semisal melalui hadis Ibnu Juraij,
dari Abuz Zubair, dari Jabir.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sa'id, telah menceritakan
kepada kami Al-A'masy, telah menceritakan kepadaku Abu Sufyan dari Jabir yang
telah mengatakan bahwa dahulu seorang budak wanita milik Abdullah ibnu Ubay ibnu
Salul yang dikenal dengan nama Masikah sering dipaksa oleh tuannya melacur. Maka
Allah menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita
kalian melakukan perzinahan. (An-Nur: 33). sampai dengan firman-Nya: Dan
barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).
(An-Nur: 33)
Al-A'masy menjelaskan bahwa dia telah mendengarnya dari Abu Sufyan ibnu
Talhah ibnu Nafi'. Hal ini menunjukkan kebatilan pendapat orang yang mengatakan
bahwa Al-A'masy tidak mendengar asar ini dari Abu Sufyan. Sesungguhnya pendapat
ini merupakan suatu kekeliruan, menurut apa yang diriwayatkan oleh
Al-Bazzar.
Abu Daud At-Tayalisi telah meriwayatkan dari Sulaiman ibnu
Mu'az, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa seorang budak perempuan
milik Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul melacur di masa Jahiliah hingga ia
melahirkan banyak anak dari perbuatan lacurnya. Pada suatu hari Abdullah ibnu
Ubay menegurnya, "Mengapa kamu tidak melacur lagi? Si budak wanita menjawab,
"Demi Allah, aku tidak akan melacur lagi." Maka Abdullah ibnu Ubay memukulinya.
Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian paksa budak-budak
wanita kalian melakukan perzinaan. (An-Nur: 33)
Al-Bazzar telah meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu
Daud Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Abu Amr Al-Lakhami (yakni
Muhammad ibnul Hajjaj), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari
Az-Zuhri, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa dahulu seorang budak wanita milik
Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul yang dikenal dengan nama Mu'azah sering dipaksa
oleh tuannya melacur. Setelah Islam datang, turunlah ayat berikut, yaitu
firman-Nya: Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan
perzinaan, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. (An-Nur: 33)
sampai dengan firman-Nya: Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)
sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur: 33)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari
Az-Zuhri, bahwa seorang lelaki dari kalangan Quraisy menjadi tawanan perang
sejak Perang Badar. Dia menjadi tawanan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, sedangkan
Abdullah ibnu Ubay mempunyai seorang budak wanita yang dikenal dengan nama
Mu'azah. Tawanan Quraisy itu menginginkan budak wanitanya, sedangkan budak
wanita itu adalah seorang yang telah masuk Islam. Maka budak wanita itu menolak
karena ia sudah masuk Islam. Sementara itu Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul memaksa
budaknya untuk melakukan pelacuran dengan lelaki Quraisy tersebut, bahkan
memukulinya agar ia mau. Tujuan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul ialah agar budak
wanitanya itu dapat mengandung dari lelaki Quraisy itu, yang pada akhirnya ia
akan menuntut tebusan anaknya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan
janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian melakukan pelacuran,
sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. (An-Nur: 33)
As-Saddi mengatakan bahwa ayat yang mulia ini diturunkan berkenaan dengan
Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, pemimpin kaum munafik. Dia memiliki seorang budak
wanita bernama Mu'azah. Apabila dia kedatangan tamu, maka ia mengirimkan budak
wanitanya kepada tamu itu agar si tamu berbuat zina dengannya. Tujuannya ialah
agar ia beroleh imbalan dari tamunya, juga kehormatan. Maka budak wanita itu
lari menemui Abu Bakar r.a. dan mengadukan perlakuan tuannya. Kemudian Abu Bakar
menceritakan hal tersebut kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada
Abu Bakar agar membelinya dari tangan tuannya. Abdullah ibnu Ubay merasa
terkejut, lalu berkata, "Siapakah yang akan membelaku dari perlakuan Muhamad?
Dia dapat mengalahkan kami dalam urusan budak kami." Maka Allah menurunkan
firman-Nya ini berkenaan dengan mereka.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, telah sampai kepadaku —hanya Allah Yang Maha
Mengetahui— bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang laki-laki yang
memaksa dua orang budak wanita miliknya (untuk melacur); nama salah seorang
budak wanita itu ialah Masikah yang menjadi milik orang Ansar, sedangkan yang
lainnya adalah ibunya bernama Umaimah, dan Mu'azah serta Arwa mengalami nasib
yang sama. Lalu Masikah dan ibunya datang menghadap kepada Nabi Saw. dan
menceritakan tentang peristiwa yang dialaminya. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya sehubungan dengan peristiwa itu: Dan janganlah kalian paksa
budak-budak wanita kalian melakukan pelacuran. (An-Nur: 33). Yakni
perzinaan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{إِنْ
أَرَدْنَ تَحَصُّنًا}
sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian. (An-Nur: 33)
Makna firman ini menggambarkan tentang pengecualian dari mayoritas, maka
tidak mengandung arti yang berhubungan dengan sebelumnya.
Firman Allah Swt.:
{لِتَبْتَغُوا
عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا}
karena kalian hendak mencari keuntungan duniawi. (An-Nur: 33)
Yaitu dari pajak mereka, hasil mahar mereka, dan anak-anak yang dilahirkan
dari mereka. Rasulullah Saw. telah melarang hasil usaha dari berbekam, maskawin
pelacur, dan upah tukang tenung. Menurut riwayat lain disebutkan:
"مَهْرُ
الْبَغِيِّ خَبِيثٌ، وَكَسْبُ الحجَّام خَبِيثٌ، وَثَمَنُ الْكَلْبِ
خَبِيثٌ"
Maskawin pelacur adalah kotor, hasil usaha berbekam adalah kotor, dan
hasil penjualan anjing adalah kotor.
Firman Allah Swt.:
{وَمَنْ
يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ
رَحِيمٌ}
Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa
(itu). (An-Nur: 33)
Hal ini sebagaimana telah dikemukakan dalam hadis melalui Jabir.
Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa apabila kalian
melakukan demikian, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
sedangkan dosa mereka ditimpakan atas orang orang yang memaksa mereka. Hal yang
sama dikatakan pula oleh Mujahid, Ata Al-Khurasani, Al-A'masy, dan Qatadah.
Abu Ubaid mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ishaq Al-Azraq, dari Auf,
dari Al-Hasan sehubungan dengan makna ayat berikut: maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka
dipaksa (itu). (An-Nur: 33) Artinya, Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang kepada mereka.
Diriwayatkan dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa Allah Maha Pengampun kepada
mereka sesudah mereka dipaksa berbuat itu.
Diriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang kepada wanita-wanita yang dipaksa berbuat demikian.
Semua pendapat di atas diriwayatkan oleh Ibnul Munzir dalam kitab tafsirnya
berikut sanad-sanadnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah, telah menceritakan kepadaku Ibnu
Lahi'ah, telah menceritakan kepadaku Ata, dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan
sehubungan dengan qiraat Abdullah ibnu Mas'ud: maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa
(itu). (An-Nur: 33) Sedangkan dosa mereka ditimpakan atas orang-orang yang
memaksa mereka.
Di dalam hadis marfu' dan Rasulullah Saw. disebutkan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
"رُفِع
عَنْ أمَّتي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا
عَلَيْهِ".
Dimaafkan dari umatku kekeliruan, lupa dan apa yang dipaksakan kepada
mereka.
*******************
Setelah menjelaskan hukum-hukum masalah ini dengan keterangan yang rinci,
Allah Swt. berfirman:
{وَلَقَدْ
أَنزلْنَا إِلَيْكُمْ آيَاتٍ مُبَيِّنَاتٍ}
Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian ayat-ayat yang
memberi penerangan. (An-Nur: 34)
Yaitu Al-Qur'an yang di dalamnya terdapat ayat-ayat yang jelas lagi
diterangkan.
{وَمَثَلا
مِنَ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ}
dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kalian.
(An-Nur: 34)
Yakni berita perihal umat-umat terdahulu dan azab yang menimpa mereka
disebabkan menentang perintah-perintah Allah Swt., seperti yang disebutkan di
dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{فَجَعَلْنَاهُمْ
سَلَفًا وَمَثَلا لِلآخِرِينَ}
dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang
kemudian. (Az-Zukhruf: 56)
Maksudnya, sebagai pelajaran agar jangan melakukan perbuatan-perbuatan dosa
dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan.
{وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ}
dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (An-Nur: 34)
Yakni bagi orang yang bertakwa kepada Allah dan takut kepada-Nya.
Ali ibnu Abu Talib r.a. mengatakan dalam gambarannya tentang Al-Qur'an, bahwa
di dalam Al-Qur'an terkandung hukum yang memutuskan di antara kalian, berita
yang terjadi sebelum kalian, dan kabar apa yang akan terjadi sesudah kalian.
Al-Qur'an adalah pemisah (antara yang hak dan yang batil), bukan lelucon. Barang
siapa yang meninggalkannya karena sikap angkuhnya, niscaya Allah akan
membinasakannya; dan barang siapa yang mencari petunjuk bukan darinya, niscaya
Allah akan menyesatkannya.