Tafsir Surat An-Nur, ayat 23-25
{إِنَّ
الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي
الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (23) يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ
أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (24)
يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ
هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ (25) }
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat,
dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika) lidah, tangan, dan
kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya,
dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala
sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).
Hal ini merupakan ancaman dari Allah Swt. kepada orang-orang yang menuduh
wanita yang baik-baik yang sedang dalam keadaan lengah berbuat zina, sedangkan
mereka adalah wanita-wanita yang beriman. Disebutkan secara mayoritas mu’minat,
maka Ummahatul Mu’minin termasuk ke dalam pengertian ini secara prioritas lebih
dari semua wanita yang baik-baik. Terlebih lagi wanita yang menjadi penyebab
turunnya ayat ini yaitu Siti Aisyah bintis Siddiq r.a.
Para ulama rahimahumullah telah sepakat secara bulat, bahwa orang yang
mencaci Siti Aisyah sesudah peristiwa turunnya ayat ini lalu menuduhnya berbuat
zina sesudah ada keterangan dari Al-Qur'an yang membersihkan kehormatan dirinya.
Maka orang tersebut adalah kafir karena menentang Al-Qur'an.
Tetapi sehubungan dengan Ummahatul Mu’minin lainnya, ada dua pendapat.
Menurut pendapat yang paling sahih, mereka pun sama dengan Siti Aisyah r.a.
Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
*******************
Firman Allah Swt.:
{لُعِنُوا
فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ}
mereka kena laknat di dunia dan akhirat. (An-Nur: 23), hingga akhir
ayat.
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui
firman-Nya:
{إِنَّ
الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ}
Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya.
(Al-Ahzab: 57), hingga akhir ayat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa hal ini hanyalah khusus bagi Siti Aisyah
r.a.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj,
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hirasy, dari Al-Awwam, dari Sa'id
ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini: Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina). (An-Nur: 23 ) Bahwa ayat ini secara khusus diturunkan
berkenaan dengan Siti Aisyah.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Muqatil ibnu Hayyan.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan hal ini melalui Siti Aisyah. Untuk itu ia
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdah Ad-Dabbi, telah
menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Umar ibnu Abu Salamah, dari ayahnya,
dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah dituduh berbuat zina, sedangkan
ia dalam keadaan lalai (tidak menyadarinya), lalu berita itu sampai kepadanya.
Ketika Rasulullah Saw. sedang duduk di rumah Siti Aisyah, tiba-tiba wahyu
diturunkan kepadanya.
Siti Aisyah mengatakan, "Apabila wahyu sedang diturunkan kepada Rasulullah
Saw. maka beliau mengalami suatu keadaan seperti orang yang sedang dalam keadaan
mengantuk. Ketika wahyu diturunkan kepadanya, beliau sedang duduk di dekatku,
kemudian beliau duduk tegak seraya mengusap wajahnya dan berkata, 'Hai Aisyah,
bergembiralah.' Aku menjawab, 'Saya memuji kepada Allah, bukan memuji kepadamu.'
Lalu Nabi Saw. membacakan firman-Nya: 'Sesungguhnya orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina).'
(An-Nur: 23) sampai dengan firman-Nya: 'Mereka (yang dituduh) itu
bersih dari apa yang dituduhkan oleh orang-orang yang menuduhnya. Bagi mereka
ampunan dan rezeki yang mulia (surga).' (An-Nur: 26)."
Demikianlah bunyi hadis yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir, di dalamnya tidak
terdapat suatu ketentuan yang menyatakan bahwa hal ini khusus menyangkut Siti
Aisyah. Bahkan yang disebutkan di dalamnya hanya menyatakan bahwa peristiwa Siti
Aisyah adalah yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, sedangkan mengenai
ketentuan hukumnya bersifat umum mencakup selainnya.
Barangkali pendapat tersebut yang mengatakan bahwa hal ini khusus bagi Siti
Aisyah hanyalah menurut pendapat Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang sependapat
dengan dia.
Ad-Dahhak, Abul Jauza, dan Salamah ibnu Nabit mengatakan yang dimaksud oleh
ayat ini ialah istri-istri Nabi Saw. secara khusus, bukan wanita lainnya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini,
yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina). (An-Nur: 23), hingga
akhir ayat. Yakni istri-istri Nabi Saw. yang dituduh berbuat zina oleh
orang-orang munafik, maka Allah melaknat dan murka terhadap mereka, serta mereka
akan kembali dengan membawa murka dari Allah Swt. Hal ini hanya berlaku
berkenaan dengan istri-istri Nabi Saw. Kemudian diturunkan sesudahnya firman
Allah Swt. yang menyebutkan: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi.
(An-Nur: 4) sampai dengan firman-Nya: maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nur: 5) Allah menurunkan ayat yang
menyangkut masalah hukuman had dan tobatnya. Tobat diterima, tetapi
kesaksian yang bersangkutan tidak diterima.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah
menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah
menceritakan kepada kami Al-Awwam ibnu Hausyab, dari seorang Syekh dari kalangan
Bani Asad, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia menafsirkan surat An-Nur,
dan ketika sampai pada firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina).
(An-Nur: 23), hingga akhir ayat. Maka Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal ini
berkenaan dengan Aisyah dan istri-istri Nabi Saw. yang lainnya. Di dalam ayat
ini tidak jelas disebutkan ketentuan hukumnya, dan tidak disebutkan bahwa tobat
mereka diterima. Kemudian Ibnu Abbas melanjutkan tafsirannya sampai pada firman
Allah Swt.: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi.
(An-Nur: 4) sampai dengan firman-Nya: kecuali orang-orang yang bertobat
sesudah itu dan memperbaiki (dirinya). (An-Nur: 5). hingga akhir ayat. Maka
Allah Swt. menjadikan bagi mereka jalan untuk tobat, dan tidak menjadikan bagi
mereka yang menuduh istri-istri Nabi Saw. jalan untuk tobat.
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa lalu sebagian dari para hadirin di majelis
itu berniat bangkit menuju kepada Ibnu Abbas dengan maksud akan mencium
kepalanya karena tafsir yang ia kemukakan tentang surat An-Nur ini sangat baik,
sebagai ungkapan rasa terima kasihnya.
Perkataan Ibnu Abbas Mubhamah mengandung pengertian umum tentang
pengharaman menuduh berzina setiap wanita yang baik-baik, dan bahwa pelakunya
mendapat laknat di dunia dan akhirat.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa
hal ini berkenaan dengan Siti Aisyah dan orang-orang yang melakukan perbuatan
serupa terhadap kaum muslimat di masa sekarang. Maka bagi mereka ancaman yang
telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya. Akan tetapi, Siti Aisyah saat
itu dijadikan sebagai teladan dan contoh dalam masalah ini.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini mengandung
pengertian yang umum, dan pendapat inilah yang benar menurutnya.
Pendapat yang mengatakan bermakna umum diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abu Hatim. Ia mengatakan:
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ -ابْنُ أَخِي ابْنِ وَهْبٍ -حَدَّثَنَا عَمِّي،
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي الغَيث
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: "اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا
هُنَّ؟ قَالَ: "الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ،
وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ".
telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdur Rahman (anak lelaki saudara
Wahb), telah menceritakan kepadaku pamanku, telah menceritakan kepada kami
Sulaiman ibnu Bilal, dari Saur ibnu Zaid, dari Abul Gais, dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: "Jauhilah tujuh macam dosa yang
membinasakan.” Ketika ditanyakan, "Apa sajakah itu, wahai Rasulullah?
Rasulullah Saw. bersabda, "Mempersekutukan Allah, melakukan sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan
riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina
wanita-wanita yang baik-baik, yang lalai lagi beriman."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya
masing-masing melalui hadis Sulaiman ibnu Bilal dengan sanad yang sama.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرو
بْنِ خَالِدٍ الحَذَّاء الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنِي أَبِي، (ح) وَحَدَّثَنَا أَبُو
شُعَيب الْحَرَّانَيُّ، حَدَّثَنَا جَدِّي أَحْمَدُ بْنُ أَبِي شُعَيب، حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ أَعْيَنَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ صِلَة بْنِ زُفَر،
عَنْ حُذَيْفَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"قَذْفُ
الْمُحْصَنَةِ يَهْدِمُ عَمَلَ مِائَةِ سَنَةٍ"
Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Umar Abu Khalid At-Ta-i Al-Mahrami, telah menceritakan kepadaku
Abi Tabrani mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Syu'aib
Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami kakekku (yaitu Ahmad ibnu Abu
Syu'aib), telah menceritakan kepadaku Musa ibnu A'yun, dari Lais, dari Abu
Ishaq, dari Silah ibnu Zufar, dari Huzaifah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
Menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina dapat menggugurkan amal (baik)
seratus tahun.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يَوْمَ
تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ}
Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi
atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (An-Nur: 24)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj,
telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Ar-Razi, dari Amr ibnu Abu Qais, dari
Mutarrif, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa sesungguhnya mereka adalah orang-orang musyrik. Manakala mereka
merasakan bahwa tiada yang dapat masuk surga kecuali ahli salat, mereka berkata,
"Marilah kita mengingkari perbuatan-perbuatan kita dahulu (semasa di dunia)."
Maka ketika mereka hendak mengingkari perbuatannya, dikuncilah mulut mereka, dan
bersaksilah kedua tangan dan kedua kaki mereka (menyatakan perbuatan mereka yang
sesungguhnya) sehingga mereka tidak dapat menyembunyikan kepada Allah suatu amal
perbuatan pun.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir mengatakan:
حَدَّثَنَا
يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَمْرُو
بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ دَرَّاج، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ
رسول الله صلى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، عُرف
الْكَافِرُ بِعَمَلِهِ، فَيَجْحَدُ وَيُخَاصِمُ، فَيُقَالُ لَهُ: هَؤُلَاءِ
جِيرَانُكَ يَشْهَدُونَ عَلَيْكَ. فَيَقُولُ: كَذَبُوا. فَيَقُولُ: أَهْلُكَ
وَعَشِيرَتُكَ. فَيَقُولُ: كَذَبُوا، فَيَقُولُ: احْلِفُوا. فَيَحْلِفُونَ، ثُمَّ
يُصمِتهم اللَّهُ، فَتَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَيْدِيهِمْ وَأَلْسِنَتُهُمْ، ثُمَّ
يُدْخِلُهُمُ النَّارَ"
telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Darij
dari Abu Haisam, dari Abu Sa'id, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Apabila
hari kiamat telah terjadi, maka diperkenalkanlah kepada orang kafir amal
perbuatannya, lalu ia mengingkarinya dan berkilah. Maka dikatakan kepadanya,
"Itulah mereka para tetanggamu yang mempersaksikan kamu.” Dia berkata, "Mereka
dusta.” Kemudian dikatakan pula, "Itulah mereka keluarga dan kaum kerabatmu.” Ia
menjawab, "Mereka dusta.” Lalu dikatakan, "Bersumpahlah kamu!" Maka mereka
berani bersumpah, setelah itu Allah membuat mereka bisu (tidak dapat
bicara), maka bersaksilah terhadap mereka kedua tangan dan lisan mereka, lalu
Allah memasukkan mereka ke dalam neraka.
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ أَيْضًا: حَدَّثَنَا أَبُو شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ بن أبي شيبة الكوفي، حدثنا مِنْجَاب
بْنُ الْحَارِثِ التَّمِيمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الأسَدِيَ، حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ عُبَيْدٍ المُكْتب، عَنْ فُضَيل بْنِ عَمْرٍو الفُقَيمي، عَنِ
الشَّعْبِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجذُه، ثُمَّ قَالَ:
"أَتُدْرُونَ مِمَّ أَضْحَكُ؟ " قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ:
"مِنْ مُجَادَلَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ: يَا رَبِّ،
أَلَمْ تُجِرْني مِنَ الظُّلْمِ؟ فَيَقُولُ: بَلَى. فَيَقُولُ: لَا أُجِيزُ عليَّ
شَاهِدًا إِلَّا مِنْ نَفْسِي. فَيَقُولُ: كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ
شَهِيدًا، وَبِالْكِرَامِ عَلَيْكَ شُهُودًا فَيُخْتَمُ عَلَى فِيهِ، وَيُقَالُ
لِأَرْكَانِهِ: انْطِقِي فَتَنْطِقُ بِعَمَلِهِ، ثُمَّ يُخَلِّي بَيْنَهُ وَبَيْنَ
الْكَلَامِ، فَيَقُولُ: بُعدًا لَكُنّ وسُحْقًا، فعنكُنَّ كنتُ
أُنَاضِلُ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Syaibah
Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Abu Syaibah Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami
Minjab ibnul Haris At-Tamimi, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Asadi,
telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Ubaidul Maktab, dari Fudail ibnu Amr
Al-Faqimi, dari Asy-Sya'bi dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa ketika
kami berada di rumah Nabi Saw, tiba-tiba beliau tertawa sehingga gigi serinya
kelihatan, kemudian beliau bersabda: "Tahukah kalian mengapa aku tertawa?”
Kami menjawab, "Allah da Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau Saw.
bersabda, "Karena perdebatan seorang hamba kepada Tuhannya, ia berkata,
'Wahai Tuhanku, bukankah Engkau melindungi diriku dari kezaliman?' Allah
berfirman, 'Aku tidak memperkenankan seorang saksi pun kecuali dari pihak-Ku.
'Allah berfirman, "Cukuplah hari ini engkau sebagai saksi terhadap dirimu dan
juga para malaikat yang mulia-mulia.” Maka dikuncilah mulutnya, lalu dikatakan
kepada seluruh anggota tubuh si hamba itu, 'Berbicaralah kamu. ' Maka seluruh
anggota tubuh si hamba itu membicarakan tentang amal perbuatannya. Kemudian
Allah membiarkannya berbicara kembali, maka si hamba itu berkata (kepada
seluruh anggota tubuhnya), 'Celakalah kalian dan binasalah kalian, padahal
aku berjuang untuk kalian'.”
Imam Muslim dan Imam Nasai telah meriwayatkannya pula melalui Abu Bakar ibnu
AbuNadr, dari ayahnya, dari Abdullah Al-Asyja'i, dari Sufyan As-Sauri dengan
sanad yang sama. Kemudian Imam Nasai berkata, bahwa ia tidak mengetahui
seseorang meriwayatkan hadis ini dari Sufyan selain Al-Asyja'i. Dengan demikian,
hadis ini berpredikat garib. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Demikianlah menurut komentar Imam Nasai.
Qatadah mengatakan, "Hai anak Adam, demi Allah, sesungguhnya pada dirimu
terdapat saksi-saksi yang tidak diragukan lagi dari badanmu sendiri. Maka
waspadalah terhadap kesaksian mereka dan bertakwalah kepada Allah dalam rahasia
dan terang-terangan kamu, karena sesungguhnya bagi Allah tiada sesuatu pun yang
tersembunyi. Kegelapan bagi Allah adalah sinar, dan rahasia bagi Allah adalah
hal yang terang. Maka barang siapa yang mampu mati dalam keadaan berbaik
prasangka kepada Allah, lakukanlah, dan tidak ada kekuatan (untuk mengerjakan
amal ketaatan) kecuali dengan pertolongan Allah."
{يَوْمَئِذٍ
يُوَفِّيهِمُ اللَّهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ}
Di hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut
semestinya. (An-Nur: 25)
Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan dinahum ialah hisab
(perhitungan amal) mereka, dan semua lafaz dinahum yang terdapat di dalam
Al-Qur'an artinya hisab mereka. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh selain
Ibnu Abbas.
Menurut qiraat jumhur ulama, bacaan nasab lafaz al-haq karena
berkedudukan sebagai sifat dari dinahum.
Sedangkan Mujahid membacanya rafa' karena menjadi sifat bagi lafaz
Allah. Sebagian ulama Salaf membacanya demikian di dalam mushaf
Ubay ibnu Ka'b, yakni dengan bacaan rafa'.
Firman Allah Swt.:
{وَيَعْلَمُونَ
أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ}
dan tahulah mereka bahwa Allah-lah Yang Benar lagi Yang Menjelaskan.
(An-Nur: 25)
Yakni janji, ancaman, dan hisabnya. Dia adalah Mahaadil yang tidak pernah
curang dalam hisab-Nya.