Tafsir Surat Al-Furqan, ayat 72-74
وَالَّذِينَ
لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (72)
وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا
وَعُمْيَانًا (73) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
(74)
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang
tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka
mereka "tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. Dan
orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri
kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah
kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Apa yang telah disebutkan di atas merupakan sebagian dan sifat-sifat
hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah, yaitu bahwa mereka tidak pernah memberikan
kesaksian palsu. Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud adalah tidak pernah
berbuat kemusyrikan dan tidak pernah menyembah berhala. Menurut pendapat yang
lainnya lagi ialah tidak pernah berdusta, tidak pernah berbuat fasik, tidak
pernah berbuat kekafiran, tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak ada
faedahnya, dan tidak pernah berbuat kebatilan. Menurut Muhammad ibnul Hanafiyah,
makna yang dimaksud ialah perbuatan yang tidak ada faedahnya dan bernyanyi. Abul
'Aliyah, Tawus, Ibnu Sirin, Ad-Dahhak, dan Ar-Rabi' ibnu Anas serta lain-lainnya
mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah tidak pernah menghadiri hari-hari
raya kaum musyrik. Menurut Umar ibnu Qais, maknanya ialah tidak pernah
menghadiri majelis yang di dalamnya dilakukan kejahatan dan kefasikan.
Malik telah meriwayatkan dari Az-Zuhri, bahwa makna yang dimaksud ialah tidak
pernah minum khamr dan tidak pernah menghadiri tempatnya serta tidak pernah
menyukainya, seperti yang disebutkan di dalam sebuah hadis:
"مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ
يُدَارُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ"
Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka janganlah
ia duduk di suatu hidangan yang digilirkan padanya minuman khamr.
Menurut pendapat yang lain, makna firman Allah Swt.: yang tidak memberikan
persaksian palsu. (Al-Furqan: 72) Yakni kesaksian palsu alias sengaja
berdusta untuk mencelakakan orang lain, seperti pengertian yang disebutkan di
dalam kitab Sahihain, melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Bakrah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَلَا
أُنَبِّئُكُمْ بأكْبر الْكَبَائِرِ" ثَلَاثًا، قُلْنَا: بَلَى، يَا رَسُولَ
اللَّهِ، قَالَ: "الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ". وَكَانَ
مُتَّكِئًا فَجَلَسَ، فَقَالَ: "أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ، أَلَا وَشَهَادَةُ
الزُّورِ [أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ] . فَمَا زَالَ
يُكَرِّرُهَا، حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ
"Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang dosa yang paling besar?”,
sebanyak tiga kali. Maka kami menjawab, "Wahai Rasulullah, kami mau.” Rasulullah
Saw. bersabda, "Mempersekutukan Allah dan menyakiti kedua orang tua.”
Pada mulanya beliau bersandar, lalu duduk tegak dan bersabda, "Ingatlah,
ucapan dusta, ingatlah kesaksian palsu!" Rasulullah Saw. mengulang-ulang
sabda terakhirnya ini, sehingga kami berkata (dalam hati) bahwa seandainya
beliau diam.
Akan tetapi, menurut makna lahiriah nas ayat ini menunjukkan bahwa makna yang
dimaksud ialah tidak menghadiri hal-hal yang berdosa. Karena itulah disebutkan
dalam firman selanjutnya:
{وَإِذَا
مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا}
dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan
menjaga kehormatan dirinya. (Al-Furqan: 72)
Yakni mereka tidak mau menghadiri perbuatan yang tidak berfaedah itu, dan
apabila secara kebetulan mereka bersua dengan orang-orang yang sedang
melakukannya, maka mereka lewati saja dan tidak mau mengotori dirinya dengan
sesuatu pun dari perbuatan yang berdosa itu. Karena itulah disebutkan oleh
firman-Nya:
{مَرُّوا
كِرَامًا}
mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
(Al-Furqan: 72)
قَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الأشَجّ، حَدَّثَنَا أَبُو
الْحُسَيْنِ الْعِجْلِيُّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ، أَخْبَرَنِي إِبْرَاهِيمُ
بْنُ مَيْسَرة، أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ مَرَّ بِلَهْوٍ مُعْرِضًا فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَقَدْ أَصْبَحَ ابْنُ مَسْعُودٍ، وَأَمْسَى
كَرِيمًا"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj,
telah menceritakan kepada kami Abul Hasan Al-Ajali, dari Muhammad ibnu Muslim,
bahwa Ibrahim ibnu Maisarah telah menceritakan kepadaku bahwa Ibnu Mas'ud pernah
bersua dengan orang-orang yang sedang melakukan perbuatan yang tidak berfaedah,
maka dia tidak berhenti. Lalu Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Ibnu
Mas’ud di pagi hari dan petang harinya menjadi orang yang menjaga kehormatan
dirinya.
حَدَّثَنَا
الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَمَةَ النَّحْوِيُّ، حَدَّثَنَا حِبَّانُ، أنا
عَبْدُ اللَّهِ، أنا مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمٍ، أَخْبَرَنِي ابْنُ مَيْسَرَةَ قَالَ:
بَلَغَنِي أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ مَرَّ بِلَهْوٍ مُعْرِضًا فَلَمْ يَقِفْ، فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَقَدْ أَصْبَحَ ابْنُ
مَسْعُودٍ وَأَمْسَى كَرِيمًا". ثُمَّ تَلَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرَةَ:
{وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا}
Telah menceritakan pula kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Salamah
An-Nahwi, telah menceritakan kepada kami Hibban, telah menceritakan kepada kami
Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim, telah
menceritakan kepadaku Maisarah; telah sampai suatu berita kepadanya bahwa Ibnu
Mas'ud pernah bersua derigan orang-orang yang sedang melakukan perbuatan yang
tidak berfaedah, tetapi dia tidak berhenti. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
Sesungguhnya Ibnu Mas’ud di pagi hari dan petang harinya menjadi orang yang
menjaga kehormatan dirinya. Kemudian Ibrahim ibnu Maisarah membaca
firman-Nya: dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya. (Al-Furqan: 72)
******
Adapun firman Allah Swt.:
{وَالَّذِينَ
إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا
وَعُمْيَانًا}
Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan
mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.
(Al-Furqan: 73)
Hal ini pun merupakan salah satu dari sifat dan ciri khas orang-orang mukmin,
seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{الَّذِينَ
إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ
زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ}
mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka; dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka
(karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (Al-Anfal: 2)
Berbeda dengan orang kafir; karena sesungguhnya apabila dia mendengar
kalamullah, tiada pengaruh dalam dirinya dan tiada perubahan dari apa
yang sebelumnya dia lakukan, bahkan dia tetap pada kekafiran, kesesatan,
kejahilan, dan kelewat batasnya. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya dalam
ayat yang lain:
{وَإِذَا
مَا أُنزلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ
إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ
يَسْتَبْشِرُونَ. وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا
إِلَى رِجْسِهِمْ}
Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang
munafik) ada yang berkata, "Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya
dengan (turunnya) surat ini?”Adapun orang-orang yang beriman, maka surat
ini menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang
yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah
kekafiran mereka di samping kekafirannya (yang telah ada).
(At-Taubah:124-125)
*****
Adapun firman Allah Swt.:
{لَمْ
يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا}
mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.
(Al-Furqan: 73)
Yaitu berbeda dengan orang kafir yang apabila mendengar ayat-ayat Allah, maka
dirinya tidak terpengaruh, bahkan tetap dalam keadaannya yang kafir, seakan-akan
tidak mendengarnya bagaikan orang yang tuli dan buta.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: mereka tidak
menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (Al-Furqan: 73)
Maksudnya, mereka tidak mendengarkannya, tidak mau melihatnya, dan tidak mau
mengerti akan sesuatu pun darinya. Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa betapa
banyaknya lelaki yang membaca ayat-ayat Allah, sedangkan mereka menghadapinya
seperti orang-orang yang tuli dan bisu.
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan
orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka
tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (Al-Furqan:
73) Yakni mereka tidak tuli terhadap perkara yang hak dan tidak buta
terhadapnya; mereka—demi Allah— adalah kaum yang memikirkan perkara hak dan
beroleh manfaat dari apa yang mereka dengar dari Kitab-Nya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Usaid ibnu Asim,
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Hamran, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Aun yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Asy-Sya'bi tentang
seorang lelaki yang melihat suatu kaum sedang melakukan sujud, tetapi dia tidak
mendengar ayat yang menyebabkan mereka melakukan sujud. Bolehkah ia ikut sujud
bersama mereka? Asy-Sya'bi membacakan ayat ini kepadanya. Dengan kata lain, yang
dimaksudkan oleh Asy-Sya'bi ialah lelaki itu tidak boleh ikut sujud bersama
mereka karena dia tidak mendengar apa yang menyebabkan mereka sujud. Tidaklah
layak bagi seorang mukmin menjadi seorang yang membebek, bahkan dia harus
mengetahui apa yang dilakukannya dan melakukan perbuatannya dengan penuh
keyakinan dan keterangan (alasan) yang jelas.
****
Firman Allah Swt.:
{وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ
أَعْيُنٍ}
Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).
(Al-Furqan: 74)
Mereka adalah orang-orang yang memohon kepada Allah agar dikeluarkan dari
sulbi mereka keturunan yang taat kepada Allah dan menyembahNya semata, tanpa
mempersekutukan-Nya.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka ingin memperoleh keturunan yang selalu
mengerjakan ketaatan kepada Allah sehingga hati mereka menjadi sejuk melihat
keturunannya dalam keadaan demikian, baik di dunia maupun di akhirat.
Ikrimah mengatakan, mereka tidak bermaksud agar beroleh keturunan yang
tampan, tidak pula yang cantik, tetapi mereka menginginkan keturunan yang
taat.
Al-Hasan Al-Basri pernah ditanya tentang makna ayat ini. Ia menjawab, "Makna
yang dimaksud ialah bila Allah memperlihatkan kepada seorang hamba yang muslim
istri, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat kepada Allah. Demi Allah, tiada
sesuatu pun yang lebih menyejukkan hati seorang muslim daripada bila ia melihat
anak, cucu, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat kepada Allah Swt."
Ibnu Juraij telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami). (Al-Furqan: 74) Yakni orang-orang yang menyembah-Mu
dengan baik dan tidak menjerumuskan kami ke dalam perbuatan-perbuatan yang
dilarang.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa mereka memohon kepada
Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada istri-istri mereka dan keturunan
mereka untuk memeluk agama Islam.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar ibnu Basyir,
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada
kami Safwan ibnu Amr, telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Jubair ibnu
Nafir, dari ayahnya yang mengatakan, "Pada suatu hari kami duduk di majelis
Al-Miqdad ibnul Aswad. Kemudian lewatlah seorang lelaki yang mengatakan
kepadanya, 'Beruntunglah kedua matanya yang telah melihat Rasulullah Saw.
Seandainya saja kami dapat melihat seperti apa yang telah dilihat matanya dan
menyaksikan apa yang telah disaksikannya.' Maka Al-Miqdad marah sehingga membuat
diriku terheran-heran, sebab lelaki tersebut tidak mengucapkan kata-kata kecuali
yang baik-baik. Kemudian Al-Miqdad berpaling ke arah lelaki itu seraya berkata,
'Apakah gerangan yang membuat lelaki itu mengharapkan hal yang digaibkan oleh
Allah darinya? Dia tidak mengetahui seandainya ditakdirkan dia menyaksikan masa
itu (masa Nabi Saw.), apa yang bakal dilakukannya. Demi Allah, sesungguhnya
banyak kaum yang semasa dengan Rasulullah Saw., tetapi Allah menyeret mereka ke
dalam neraka Jahanam karena mereka tidak menyambut seruannya dan tidak pula
membenarkannya. Apakah kalian tidak memuji kepada Allah karena Dia telah
mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa pun
kecuali hanya Tuhan kalian seraya percaya kepada apa yang disampaikan kepada
kalian oleh nabi kalian; sesungguhnya kalian telah ditolong dari musibah oleh
selain kalian. Allah mengutusNabi-Nya di masa yang paling buruk yang pernah
dialami oleh seseorang nabi, yaitu di masa Jahiliah. Orang-orang di masa itu
tidak melihat adanya suatu agama yang lebih utama daripada agama yang
menganjurkan menyembah berhala. Lalu datanglah Nabi dengan membawa Al-Qur'an
yang membedakan antara perkara yang hak dan perkara yang batil, dan membedakan
(hak) antara orang tua dan anak. Seorang lelaki yang telah dibukakan hatinya
untuk beriman pasti akan yakin terhadap anaknya, orang tuanya, dan saudaranya
yang masih kafir, bahwa jika mati mereka pasti masuk neraka. Dan pasti tidak
akan senang hatinya bila mengetahui bahwa orang yang dikasihinya dimasukkan ke
dalam neraka." Hal inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah Swt.: Dan
orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri
kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami). (Al-Furqan: 74)
Sanad asar ini sahih, tetapi para ahli sunan tidak ada yang
mengetengahkannya.
*****
Firman Allah Swt.:
{وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan:
74)
Ibnu Abbas, Al-Hasan As-Saddi, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan
bahwa yang dimaksud ialah para pemimpin yang mengikuti kami dalam kebaikan.
Selain mereka mengatakan, yang dimaksud ialah para pemberi petunjuk yang
mendapat petunjuk dan para penyeru kebaikan; mereka menginginkan agar ibadah
mereka berhubungan dengan ibadah generasi penerus mereka, yaitu anak cucu
mereka. Mereka juga menginginkan agar hidayah yang telah mereka peroleh menurun
kepada selain mereka dengan membawa manfaat, yang demikian itu lebih banyak
pahalanya dan lebih baik akibatnya. Karena itulah disebutkan di dalam Sahih
Muslim melalui hadis Abu Hurairah r.a. yang telah mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا
مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ، أَوْ عَلَمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ مَنْ بَعْدَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ"
Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga
perkara, yaitu anak saleh yang mendoakan (orang tua)nya, atau ilmu
yang bermanfaat sesudah dia tiada, atau sedekah jariyah.