Tafsir Surat Al-Kahfi, ayat 82
{وَأَمَّا
الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ
كَنز لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا
أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ
عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (82)
}
Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua
orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi
mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh. Maka Tuhannya
menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukannya itu
menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang
kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Di dalam ayat ini terkandung suatu dalil yang menunjukkan bahwa kata
qaryah (kampung) dapat di artikan dengan madinah (kota), karena
dalam ayat yang sebelumnya disebutkan:
{حَتَّى
إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ}
hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu kampung.
(Al-Kahfi: 77)
Dan dalam ayat ini disebutkan:
{فَكَانَ
لِغُلامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ}
dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu.
(Al-Kahfi: 82)
Masalah ini sama dengan apa yang disebutkan di dalam kedua firmanNya berikut
ini:
وَكَأَيِّنْ
مِنْ قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً مِنْ قَرْيَتِكَ الَّتِي
أَخْرَجَتْكَ}
Dan berapa banyaknya negeri-negeri yang (penduduknya) lebih kuat daripada
(penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu.
(Muhammad: 13)
{وَقَالُوا
لَوْلا نزلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ
عَظِيمٍ}
Dan mereka berkata, "Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang
besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Taif) ini? " (Az-Zukhruf:
31)
Makna ayat, yaitu dinding rumah ini sengaja aku perbaiki karena ia merupakan
kepunyaan dua orang anak yatim penduduk kota ini, di bawah rumahnya ini terdapat
harta benda simpanan bagi keduanya.
Ikrimah, Qatadah, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa
di bawah rumah tersebut terdapat harta yang terpendam bagi kedua anak yatim itu.
Demikianlah menurut makna lahiriah dari ayat, dan pendapat inilah yang dipilih
oleh Ibnu Jarir.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa di bawah rumah itu terdapat
perbendaharaan ilmu yang terpendam. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id
ibnu Jubair. Mujahid mengatakan bahwa yang terpendam itu berupa
lembaran-lembaran yang bertuliskan ilmu pengetahuan. Di dalam sebuah hadis
berpredikat marfu' telah disebutkan hal yang menguatkan pendapat ini.
Al-Hafiz Abu Bakar Ahmad ibnu Amr ibnu Abdul Khaliq Al-Bazzar telah
mengatakan di dalam kitab musnadnya yang terkenal, bahwa telah menceritakan
kepada kami Ibrahim ibnu Sa'id Al-Jauhari, telah menceritakan kepada kami Bisyr
ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Abdullah Al-Yahsubi,
dari Iyasy ibnu Abbas Al-Gassani, dari Abu Hujairah, dari Abu Zar yang
me-rafa '-kannya:
"إِنَّ
الْكَنْزَ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ: لَوْحٌ مِنْ ذَهَبٍ مُصْمَتٍ
مَكْتُوبٍ فِيهِ: عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالْقَدْرِ لِمَ نَصِبَ ؟ وَعَجِبْتُ
لِمَنْ ذَكَرَ النَّارَ لِمَ ضَحِك ؟ وَعَجِبَتْ لِمَنْ ذَكَرَ الْمَوْتَ لِمَ
غَفَلَ؟ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ"
bahwa sesungguhnya harta terpendam yang disebutkan oleh Allah Swt. di dalam
Kitab-Nya adalah berupa lempengan-lempengan emas yang padanya tertulis kalimat
berikut: Aku merasa heran terhadap orang yang mengakui dirinya beriman kepada
takdir, mengapa dia bersusah payah. Dan aku heran terhadap orang yang ingat akan
neraka, mengapa dia tertawa. Dan aku merasa heran kepada orang yang ingat akan
mati, mengapa ia lalai. Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan
Allah.
Bisyr ibnul Munzir yang disebutkan dalam sanad ini adalah seorang kadi di
Al-Masisah. Menurut Al-Hafiz Abu Ja'far Al-Uqaili, hadis yang diriwayatkannya
mengandung kelemahan.
Sehubungan dengan hal ini telah diriwayatkan oleh banyak asar bersumber dari
ulama Salaf, antara lain Ibnu Jarir yang mengatakan di dalam kitab tafsirnya
bahwa telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami
Al-Hasan ibnu Habib ibnun Nudbah, telah menceritakan kepada kami Salamah, dari
Na'im Al-Anbari, salah seorang murid Al-Hasan; ia mengatakan bahwa ia pernah
mendengar Al-Hasan Al-Basri menafsirkan makna firman-Nya: dan di bawahnya ada
harta benda simpanan bagi mereka berdua. (Al-Kahfi: 82) Simpanan itu berupa
lempengan emas yang padanya termaktub kalimat berikut: Dengan nama Allah Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Aku merasa heran kepada orang yang beriman
kepada takdir, mengapa dia bersedih hati. Dan aku merasa heran kepada orang yang
beriman kepada kematian, mengapa dia bersenang hati. Dan aku heran kepada orang
yang mengenal dunia serta silih bergantinya dengan para ahlinya, mengapa dia
merasa tenang kepadanya. Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan
Allah.
Dan telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, dari Umar maula (bekas
budak) Gafrah yang mengatakan bahwa sesungguhnya harta terpendam yang disebutkan
oleh Allah di dalam surat yang padanya diceritakan tentang para pemuda penghuni
gua (Al-Kahfi), yaitu firman-Nya: dan di bawahnya ada harta simpanan bagi
mereka berdua. (Al-Kahfi: 82) berupa sebuah lempengan emas yang padanya
tertulis kalimat berikut: Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang, mengherankan orang yang percaya dengan adanya neraka, lalu ia dapat
tertawa. Mengherankan orang yang percaya dengan takdir, lalu ia bersusah payah.
Mengherankan orang yang meyakini kematian, lalu ia merasa aman (darinya).
Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya.
Telah menceritakan pula kepadaku Ahmad ibnu Hazim Al-Gifari, telah
menceritakan kepada kami Hunadah binti Malik Asy-Syaibaniyyah yang mengatakan
bahwa ia pernah mendengar teman (suami)nya (yaitu Hammad ibnul Walid As-Saqafi)
mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ja'far ibnu Muhammad mengatakan sehubungan
dengan makna firmanNya: dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka
berdua. (Al-Kahfi: 82) Bahwa hal itu merupakan prasasti yang terdiri atas
dua baris setengah, baris yang ketiganya tidak lengkap. Padanya disebutkan:
Aku heran kepada orang yang beriman kepada (pembagian) rezeki, mengapa
bersusah payah. Dan aku heran kepada orang yang beriman dengan hari hisab
(perhitungan amal perbuatan), mengapa dia lalai (kepadanya). Dan
aku heran kepada orang yang percaya dengan kematian, mengapa bergembira.
Allah Swt. telah berfirman :
{وَإِنْ
كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا
حَاسِبِينَ}
Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami
mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat
perhitungan. (Al-Anbiya: 47)
Selanjutnya Hunadah mengatakan bahwa kedua anak itu dalam keadaan terpelihara
berkat kesalihan kedua orang tuanya, tetapi tidak ada yang menyebutkan bahwa
keduanya berlaku saleh.
Disebutkan pula bahwa jarak antara keduanya dengan ayahnya yang menyebabkan
keduanya terpelihara adalah tujuh turunan. Dan ayah mereka adalah seorang ahli
menulis.
Apa yang disebutkan oleh para imam dan apa yang disebutkan oleh hadis di atas
pada hakikatnya tidaklah bertentangan dengan pendapat Ikrimah. Ikrimah
menyebutkan, sesungguhnya yang terpendam itu adalah harta. Dikatakan demikian
karena mereka menyebutkan bahwa harta peninggalan yang terpendam itu berupa
lempengan emas yang disertai dengan harta yang cukup berlimpah. Terlebih lagi
padanya tertuliskan ilmu yang berupa kata-kata bijaksana dan nasihat-nasihat
yang baik. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Firman Allah Swt.:
{وَكَانَ
أَبُوهُمَا صَالِحًا}
sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh. (Al-Kahfi: 82)
Dari pengertian ayat ini tersimpulkan bahwa seorang lelaki yang saleh dapat
menyebabkan keturunannya terpelihara, dan berkah ibadah yang dilakukannya
menaungi mereka di dunia dan akhirat. Yaitu dengan memperoleh syafaat darinya,
dan derajat mereka ditinggikan ke tingkat yang tertinggi di dalam surga berkat
orang tua mereka, agar orang tua mereka senang dengan kebersamaan mereka di
dalam surga. Hal ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an, juga di dalam
sunnah.
Sa’id ibnu Jubair telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kedua anak itu
terpelihara berkat kesalehan kedua orang tuanya, tetapi tidak ada kisah yang
menyebutkan bahwa keduanya berlaku saleh. Dalam keterangan terdahulu disebutkan
bahwa orang tua tersebut adalah kakek ketujuhnya. Hanya Allah-lah yang
mengetahui kebenarannya.
Firman Allah Swt.:
{فَأَرَادَ
رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزهُمَا}
maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya
dan mengeluarkan simpanannya. (Al-Kahfi:82)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa iradah atau kehendak dinisbatkan
kepada Allah Swt. karena usia balig keduanya tidaklah mampu berbuat apa pun
terhadap harta terpendam itu, kecuali dengan pertolongan Allah. Hal yang sama
disebutkan dalam kisah anak muda yang dibunuh, yaitu firman-Nya:
{فَأَرَدْنَا
أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ}
Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak
lain yang lebih baik kesuciannya daripada anaknya itu. (Al-Kahfi: 81)
Dan dalam kisah bahtera disebutkan oleh firman-Nya:
{فَأَرَدْتُ
أَنْ أَعِيبَهَا}
dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu. (Al-Kahfi: 79)
Adapun firman Allah Swt.:
{رَحْمَةً
مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي}
sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukannya itu menuruti
kemauanku sendiri. (Al-Kahfi: 82)
Artinya apa yang aku lakukan dalam ketiga peristiwa tadi tiada lain merupakan
rahmat Allah kepada para pemilik bahtera, orang tua si anak, dan kedua anak
lelaki yang saleh. Aku melakukannya bukanlah atas kemauanku sendiri, melainkan
aku diperintahkan untuk melakukannya dan aku mengerjakannya sesuai dengan apa
yang diperintahkan. Berangkat dari pengertian ayat inilah maka ada orang-orang
yang berpendapat bahwa Khidir adalah seorang nabi. Dalil lainnya ialah firman
Allah Swt. yang lalu, yaitu:
{فَوَجَدَا
عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ
لَدُنَّا عِلْمًا}
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba
Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah
Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (Al-Kahfi: 65).
Ulama lainnya mengatakan bahwa Khidir adalah seorang rasul. Bahkan pendapat
yang lainnya lagi mengatakan bahwa Khidir adalah malaikat, menurut apa yang
dinukil oleh Al-Mawardi di dalam kitab tafsirnya. Tetapi kebanyakan ulama
mengatakan bahwa Khidir bukanlah seorang nabi, melainkan seorang wali. Hanya
Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Ibnu Qutaibah mengatakan di dalam kitab Al-Ma'arif, bahwa nama Khidir adalah
Balya ibnu Mulkan ibnu Faligh ibnu Abir ibnu Syalikh ibnu Arfukhsyad ibnu Sam
ibnu Nuh a.s. Mereka mengatakan bahwa nama julukannya adalah Abul Abbas,
sedangkan nama panggilannya adalah Khidir; dia adalah anak seorang raja.
Demikianlah menurut keterangan yang disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab
Tahzibul Asma-nya.
Dia—juga yang lainnya—telah meriwayatkan bahwa Khidir masih tetap hidup
sampai sekarang, sampai hari kiamat nanti; ada dua pendapat mengenainya. Tetapi
An-Nawawi dan Ibnu Salah cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa Khidir
masih tetap hidup sampai sekarang. Mereka yang mengatakan bahwa dia masih hidup
menyebutkan berbagai kisah dan asar dari ulama salaf dan lain-lainnya. Dan
Khidir pernah disebutkan pula dalam beberapa hadis, tetapi tidak ada satu pun di
antaranya yang sahih. Yang paling terkenal ialah hadis mengenai
ta'ziyah atau ucapan belasungkawanya saat Nabi Saw. wafat, tetapi
sanadnya daif.
Ulama lainnya dari kalangan ahli hadis dan lain-lainnya menguatkan pendapat
yang bertentangan dengan pendapat di atas. Mereka berpegang kepada firman Allah
Swt. yang menyebutkan:
{وَمَا
جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ}
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu.
(Al-Anbiya: 34)
Dan sabda Nabi Saw. dalam doanya saat menjelang Perang Badar:
"اللَّهُمَّ
إِنَّ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ"
Ya Allah, jika golongan (kaum muslim) ini binasa, Engkau tidak akan
disembah lagi di bumi ini.
Tidak ada suatu riwayat pun yang menukil bahwa Khidir datang menghadap kepada
Rasulullah Saw., tidak menemuinya, serta tidak pula berperang bersamanya.
Seandainya Khidir benar masih hidup, tentulah dia termasuk pengikut Nabi
Muhammad Saw. dan sebagai salah seorang sahabatnya; karena Nabi Saw. diutus
kepada semua makhluk, baik manusia maupun jin. Dan Nabi Saw. pernah
bersabda:
"لَوْ
كَانَ مُوسَى وَعِيسَى حَيَّيْن مَا وَسِعَهُمَا إِلَّا اتِّبَاعِي"
Seandainya Musa dan Isa masih hidup, tentulah keduanya
mengikutiku.
[Barangkali hal ini merupakan salah satu dari kekeliruan yang dilakukan oleh
Penulis, atau ditambahkan oleh seorang zindiq ke dalam tafsirnya. Karena
sesungguhnya pendapat ini bertentangan dengan hadis mutawatir yang
menyatakan, bahwa Isa kelak di akhir zaman akan turun. Untuk lebih jelasnya,
silakan merujuk ke kitab aslinya (Tafsir Ibnu Kasir), mengenai penjelasan ayat
80-81 surat Ali-Imran]
Sebelum Nabi Saw. meninggal dunia beliau pernah bersabda bahwa tidak akan ada
lagi seorangpun yang bersamanya di malam itu hidup di muka bumi setelah lewat
seratus tahun. Dan masih banyak dalil-dalil lainnya yang semakna.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، حَدَّثَنَا ابْنِ
الْمُبَارَكِ، عَنْ مَعْمَر، عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّه، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [فِي
الخَضر قَالَ] إِنَّمَا سُمِّيَ "خَضِرًا"؛ لِأَنَّهُ جَلَسَ عَلَى فَرْوَةٍ
بَيْضَاءَ، فَإِذَا هِيَ تَحْتَهُ [تَهْتَزُّ] خَضْرَاءَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah
menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih,
dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw. sehubungan dengan Khidir. Nabi Saw.
bersabda : Sesungguhnya dia diberi nama Khidir karena bila ia duduk di atas
rumput yang kering, maka rumput yang ada di bawahnya berubah warnanya menjadi
hijau (segar kembali).
Hal yang sama telah diriwayatkannya pula melalui Abdur Razzaq.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan melalui Hammam, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِنَّمَا
سُمِّي الخضِر؛ لِأَنَّهُ جَلَسَ عَلَى فَرْوَة، فَإِذَا هِيَ تَهْتَزُّ [مِنْ
خَلْفِهِ] خَضْرَاءَ"
Sesungguhnya dia dinamakan Khidir karena bila duduk di atas rumput kering,
maka dengan serta merta rumput yang didudukinya itu berubah menjadi
hijau.
Yang dimaksud dengan farwah dalam hadis ini ialah rumput yang kering
dan semak-semak yang telah mati. Demikianlah menurut Abdur Razzaq. Menurut
pendapat yang lain, yang dimaksud adalah tanah yang didudukinya
*******************
Firman Allah Swt.:
{ذَلِكَ
تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا}
Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya. (Al-Kahfi: 82)
Yakni demikianlah takwil dari hal-hal yang kamu tidak mengerti dan tidak
dapat menahan diri terhadapnya sebelum kuceritakan kepadamu penjelasannya.
Setelah Khidir menjelaskan kepada Musa tujuan semua perbuatannya sehingga
lenyaplah kesulitan memahaminya dari Musa, ia berucap mamakai tasti’.
Sedangkan sebelumnya diungkapkan dengan kata tastati’ yang
menunjukkan bahwa kesulitan untuk memahami kuat dan berat, yaitu firman-Nya:
{سَأُنَبِّئُكَ
بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا}
Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya. (Al-Kahfi:78)
Maka hal yang berat diungkapkan dengan kata yang bernada berat, sedangkan hal
yang ringan diungkapkan dengan kata yang ringan pula. Perihalnya sama dengan
pengertian yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu:
{فَمَا
اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ}
Maka mereka tidak dapat mendakinya. (Al-Kahfi: 97)
Yang dimaksudkan dengan yazharuhu ialah naik ke puncaknya. Dan dalam
ayat selanjutnya disebutkan:
{وَمَا
اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا}
dan mereka tidak dapat (pula) melubanginya. (Al-Kahfi: 97)
Yakni terlebih berat lagi untuk melubanginya, maka diungkapkanlah
masing-masing dari kedua keadaan tersebut dengan bahasa yang sesuai, lafaz dan
maknanya. Hanya Allah yang mengetahui kebenarannya.
Apabila dikatakan mengapa murid Nabi Musa di awal kisah disebut-sebut,
kemudian dalam kisah selanjutnya tidak disebut-sebut? Sebagai jawabannya dapat
dikatakan bahwa tujuan dari konteks kisah ini hanya menyangkut Musa bersama
Khidir dan kejadian-kejadian yang dialami oleh keduanya, sedangkan murid Nabi
Musa selalu mengikut kepadanya. Dalam hadis-hadis yang telah disebutkan di
dalam kitab-kitab sahih dikatakan bahwa dia adalah Yusya' Ibnu Nun. Dialah yang
menggantikan Musa a.s. sebagai nabi kaum Bani Israil sesudah Musa tiada.
Hal tersebut menunjukkan kelemahan dari apa yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir
di dalam kitab tafsirnya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah, telah menceritakan kepadaku
Ibnu Ishaq, dari Al-Hasan ibnu Imarah, dari ayahnya, dari Ikrimah yang
mengatakan bahwa pernah dikatakan kepada Ibnu Abbas, '"Kami belum pernah
mendengar suatu keterangan pun dalam hadis yang menceritakan tentang murid Nabi
Musa, padahal dia bersamanya." Ibnu Abbas menjawab, antara lain disebutkan bahwa
si murid minum dari air telaga itu sehingga ia hidup kekal. Maka orang yang alim
itu (Khidir) menangkapnya dan memasukkannya ke dalam perahu yang ditangkubkan,
lalu perahunya dibuang ke tengah laut.Sesungguhnya perahu itu benar-benar masih
tetap berlayar hingga hari kiamat. Demikian itu karena seharusnya dia tidak
minum dari air itu, tetapi ternyata ia melanggar dan meminumnya.
Sanad asar ini daif (lemah), lagi pula perawinya yang bernama Al-Hasan
berpredikat matruk (tidak terpakai hadisnya), dan ayahnya tidak
dikenal.