Tafsir Surat An-Nur, ayat 35
{اللَّهُ
نُورُ السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ
الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ
مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ
زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ
لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ (35) }
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu
seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan
dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak di sebelah barat
(nya), (yang minyaknya saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing
kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan
bumi. (An-Nur: 35) Yakni Pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa Mujahid dan Ibnu Abbas telah meriwayatkan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya
(kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yaitu Yang mengatur urusan
yang ada pada keduanya, bintang-bintangnya, mataharinya, dan bulannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Umar ibnu
Khalid Ar-Ruqi, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Rasyid, dari Furqud,
dari Anas ibnu Malik yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berfirman,
"Cahaya-Ku adalah petunjuk." Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul
Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya
Allah. (An-Nur: 35) Bahwa yang dimaksud adalah orang mukmin yang Allah telah
menjadikan iman dan Al-Qur'an tertanam di dadanya. Maka Allah membuat
perumpamaannya melalui firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada)
langit dan bumi. (An-Nur: 35) Allah memulainya dengan menyebut cahaya-Nya
sendiri, kemudian menyebut cahaya orang mukmin. Untuk itu Allah berfirman,
"Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya." Perawi mengatakan bahwa Ubay
ibnu Ka'b membaca ayat ini dengan bacaan berikut, "Perumpamaan cahaya orang yang
beriman kepada-Nya," dia adalah orang mukmin tertanam di dadanya iman dan
Al-Qur'an. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Jubair dan Qais ibnu
Sa'd, dari Ibnu Abbas, bahwa dia membacanya dengan bacaan ini, yaitu:
"Perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada Allah."
Sebagian ulama ada yang membacanya, "Allah Pemberi cahaya langit dan bumi."
Diriwayatkan dari Ad-Dahhak sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35); Juga
dari As-Saddi sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah (Pemberi)
cahaya (kepada) langit dan bumi. (An-Nur: 35) Yakni dengan
cahaya-Nya, maka teranglah langit dan bumi.
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq di dalam
kitab As-Sirah disebutkan bahwa Rasulullah Saw. ketika disakiti oleh
penduduk Taif mengucapkan dalam doanya:
"أُعُوذُ
بِنُورِ وَجْهِكَ الَّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظُّلُمَاتُ، وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، أَنْ يَحِلَّ بِيَ غَضبك أَوْ يَنْزِلَ بِي سَخَطُك، لَكَ
الْعُتْبَى حَتَّى تَرْضَى، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِكَ"
Aku berlindung kepada cahaya Zat-Mu yang menyinari semua kegelapan, dan
membuat baik urusan dunia dan akhirat, janganlah Engkau timpakan kepadaku
murka-Mu, hanya kepada Engkaulah kami mengadrt hingga Engkau rida. Dan tiada
daya upaya serta tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Ibnu Abbas r.a., bahwa
Rasulullah Saw. apabila bangun mengerjakan salatul lail-nya, beliau
mengucapkan doa berikut:
"اللَّهُمَّ
لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ قَيّم السموات وَالْأَرْضِ وَمِنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ
الْحَمْدُ، أَنْتَ نُورُ السموات وَالْأَرْضِ وَمِنْ فِيهِنَّ"
Ya Allah, Engkaulah segala puji, Engkau adalah Cahaya langit dan
bumi serta semua makhluk yang ada pada keduanya. Dan hanya bagi Engkaulah segala
puji; Engkau adalah Yang Maha Mengatur langit dan bumi serta semua makhluk yang
ada padanya.
Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas'ud, bahwa ia pernah mengatakan,
"Sesungguhnya di sisi Tuhan kalian tidak ada malam dan tidak pula siang, cahaya
'Arasy adalah berasal dari cahaya Zat-Nya."
*******************
Firman Allah Swt.:
{مَثَلُ
نُورِهِ}
Perumpamaan cahaya Allah. (An-Nur: 35)
Mengenai rujukan damir ini ada dua pendapat. Pendapat pertama
mengatakan bahwa damir Nurihi kembali kepada Allah Swt. sebagai tamsil
yang menggambarkan hidayah Allah di dalam kalbu orang mukmin adalah seperti
sebuah lubang yang tak tembus. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat kedua, damir itu kembali kepada orang mukmin karena
tersimpulkan dari konteks ayat. Bentuk lengkapnya ialah, "Perumpamaan cahaya
orang mukmin yang ada di dalam kalbunya adalah seperti sebuah lubang yang tak
tembus." Maka kalbu orang mukmin yang telah tertanam di dalamnya keimanan dan
Al-Qur'an yang diterimanya sesuai dengan fitrah dalam dirinya, seperti yang
diungkapkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{أَفَمَنْ
كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِنْهُ}
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada
mempunyai bukti nyata (Al-Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh
seorang saksi (Muhammad) dari Allah. (Hud: 17)
diserupakan dalam hal kejernihannya dengan lentera yang terbuat dari kaca
yang tembus pandang lagi berkilauan. Sedangkan hidayah yang diterimanya dari
Al-Qur'an dan syariat agama diserupakan dengan minyaknya yang baik, jernih,
bercahaya, dan sesuai; tiada kekeruhan padanya, tiada pula penyimpangan.
*******************
Firman Allah Swt.:
{كَمِشْكَاةٍ}
seperti sebuah lubang yang tak tembus. (An-Nur: 35)
Ibnu Abbas, Mujahid, Muhammad ibnu Ka'b, dan lain-lainnya yang bukan hanya
seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misykat ialah tempat
lentera; ini menurut pendapat yang terkenal. Karena itu, disebutkan
sesudahnya:
{فِيهَا
مِصْبَاحٌ}
yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35)
Yakni pelita yang menyala.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di
dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35) Ketika orang-orang Yahudi berkata
kepada Nabi Muhammad Saw.; "Bagaimanakah cahaya Allah dapat menembus dari balik
langit?" Maka Allah membuat perumpamaan bagi cahaya-Nya itu melalui firman-Nya:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus. (An-Nur: 35) Yang
dimaksud dengan misykat ialah lubang yang ada di tembok rumah (tetapi
tidak tembus, digunakan untuk tempat lentera). Ibnu Abbas mengatakan bahwa ini
merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan ketaatan
kepada-Nya. Allah menamakan ketaatan kepada-Nya sebagai cahaya, kemudian
memisalkannya pula dengan jenis-jenis yang lain.
Ibnu Abu Nujaih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa misykat adalah
lubang (menurut bahasa Habsyah). Sebagian dari mereka menambahkan bahwa
misykat adalah lubang yang tak tembus.
Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa misykat ialah besi gantungan lampu
besar.
Tetapi pendapat yang pertamalah yang paling utama, yaitu yang mengatakan
bahwa misykat adalah tempat lampu. Karena itulah disebutkan sesudahnya:
yang di dalamnya ada pelita besar. (An-Nur: 35) Yakni cahaya yang ada
dalam lampu itu.
Ubay ibnu Ka'b mengatakan bahwa yang dimaksud dengan misbah ialah
cahaya, ini merupakan perumpamaan bagi Al-Qur'an dan iman yang ada di dalam dada
orang mukmin.
As-Saddi mengatakan, yang dimaksud dengan misbah ialah lentera.
*******************
{الْمِصْبَاحُ
فِي زُجَاجَةٍ}
Pelita itu di dalam kaca. (An-Nur: 35)
Yakni cahaya itu terpancarkan dari balik kaca yang jernih.
Ubay ibnu Ka'b dan lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ini
merupakan perumpamaan bagi kalbu orang mukmin.
{الزُّجَاجَةُ
كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ}
(dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya). (An-Nur: 35)
Sebagian ulama membacanya durrin tanpa memakai hamzah; berasal
dari ad-durr, yakni seakan-akan kaca itu adalah bintang permata yang
bercahaya. Sedangkan ulama lainnya membacanya dir'an atau dur'un,
berasal dari dur'un yang artinya terdorong. Demikian itu karena
bintang bila terlemparkan, maka cahayanya sangat terang melebihi saat diamnya.
Dan orang-orang Arab menamakan bintang yang tidak dikenal dengan sebutan
darari.
Ubay ibnu Ka'b mengatakan, makna yang dimaksud ialah bintang yang bercahaya
terang.
Sedangkan menurut Qatadah, makna yang dimaksud ialah bintang yang terang
jelas lagi besar.
{يُوقَدُ
مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ}
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya.
(An-Nur: 35)
Yakni bahan bakarnya dari minyak zaitun, yang merupakan pohon yang banyak
berkahnya.
{زَيْتُونَةٍ لَا
شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ}
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak
(pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35)
Lafaz zaitunah berkedudukan sebagai badal atau 'ataf bayan.
Yakni pohon zaitun tersebut tumbuh bukan di belahan timurnya yang akibatnya
sinar mentari pagi tidak dapat sampai kepadanya, tidak pula tumbuh di belahan
baratnya yang akibatnya ada bagian darinya yang tidak terkena sinar mentari di
saat matahari condong ke arah barat. Akan tetapi, ia tumbuh di daerah
pertengahan yang selalu terkena sinar mentari sejak pagi hari sampai petang
hari, sehingga minyak yang dihasilkannya jernih, baik dan berkilauan.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ammar yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdullah
ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Sammak ibnu
Harb, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula)
di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu pohon zaitun yang ada di padang
sahara dalam keadaan tidak tertutupi oleh naungan pohon lainnya, tidak tertutupi
oleh gunung, tidak pula berada di dalam gua. Pendek kata, pohon itu tidak
tertutupi oleh sesuatu pun. Maka pohon sejenis ini menghasilkan minyak yang
paling baik.
Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan telah meriwayatkan dari Imran ibnu Jarir, dari
Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di sebelah
timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35)
Yakni pohon zaitun yang tumbuh di padang sahara. Pohon seperti ini menghasilkan
minyak yang jernih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami AbuNa'im, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu
Farukh, dari Habib ibnuz Zubair, dari Ikrimah, bahwa ia pernah ditanya oleh
seseorang tentang makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di
sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya).
(An-Nur: 35) Ikrimah menjawab bahwa pohon tersebut adalah pohon zaitun yang
ada di padang sahara; apabila mentari terbit, sinarnya langsung menerpanya; dan
apabila tenggelam, terkena pula sinarnya sebelum tenggelam. Maka pohon zaitun
ini menghasilkan minyak yang paling jernih.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon
zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di
sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Maksudnya, tidak terletak di sebelah timur
yang akibatnya tidak terkena sinar mentari di saat tenggelamnya, tidak pula
terletak di sebelah barat yang akibatnya tidak terkena sinar mentari di saat
terbitnya. Tetapi pohon ini terletak di antara arah timur dan arah barat,
karenanya ia selalu terkena sinar mentari, baik di pagi hari maupun di petang
hari saat matahari akan tenggelam.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula)
di sebelah barat (nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi.
(An-Nur: 35) Yakni minyak yang terbaik. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa
apabila mentari terbit, maka sinarnya langsung mengenai pohon itu dari arah
timur; dan apabila mentari akan tenggelam, maka sinarnya mengenainya pula. Sinar
mentari selalu mengenainya, baik di pagi hari maupun di petang hari. Yang
demikian itu berarti pohon ini terletak bukan di sebelah timur, bukan pula di
sebelah barat.
As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula)
di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Yaitu bukan terletak di sebelah timur
sekali, bukan pula terletak di sebelah barat sekali, tetapi ia terletak di
puncak bukit atau di tengah padang sahara yang selalu terkena sinar mentari
sepanjang harinya.
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud oleh firman-Nya: (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula)
di sebelah barat(nya). (An-Nur: 35) Bahwa pohon itu berada di
tengah-tengah pepohonan lainnya sehingga ia tidak tampak dari sebelah timur,
tidak pula dari sebelah barat.
Abu Ja'far Ar-Razi telah meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Abul
Aliyah, dari Ubay ibnu Ka'b sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon
zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di
sebelah barat (nya). (An-Nur: 35) Pohon tersebut hijau lagi lembut karena
tidak terkena sinar mentari sama sekali, baik di saat mentari terbit maupun di
saat tenggelam. Demikian pula keadaan orang mukmin yang sesungguhnya, ia
terlindungi dari fitnah apa pun, dan adakalanya ia diuji oleh fitnah, tetapi
Allah meneguhkan hatinya sehingga tidak tergoda. Dia adalah seorang mukmin yang
memiliki empat perangai, yaitu; Apabila bicara, benar. Apabila memutuskan hukum,
adil. Apabila dicoba, sabar. Dan apabila diberi, bersyukur. Perihal dia di
antara umat manusia lainnya sama dengan seorang lelaki hidup yang berjalan di
antara orang-orang yang mati.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain,
telah menceritakan kepada kami Musaddad yang mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id Ibnu Jubair
sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak
di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya).
(An-Nur: 35) Bahwa pohon ini tidak terkena sinar mentari, baik dari arah
timur maupun dari arah barat, karena ia terletak di tengah-tengah pepohonan
lainnya.
Atiyyah Al-Aufi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang
tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah
barat(nya). (An-Nur: 35) Yakni pohon zaitun yang berada di suatu tempat,
yang bayangan buahnya terlihat pada dedaunannya. Jenis pohon ini tidak terkena
sinar mentari di saat terbit dan tenggelamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ammar, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman Ad-Dusytuki, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Ata, dari Sa'id ibnu Jubair,
dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: yang tumbuh tidak di
sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah barat(nya).
(An-Nur: 35) Yakni bukan di sebelah timur yang dekat dengan sebelah barat,
bukan pula di sebelah barat yang dekat dengan sebelah timur, tetapi ia terletak
di antara keduanya.
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak (pula) di sebelah
barat(nya). (An-Nur: 35) Maksudnya, pohon yang tumbuh di daerah
pedalaman.
Zaid ibnu Aslam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang
tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di sebelah barat(nya).
(An-Nur: 35) Yakni tumbuh di negeri Syam.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa seandainya pohon ini ada di bumi, tentulah
ia terletak di sebelah timur atau di sebelah baratnya, tetapi hal ini merupakan
perumpamaan yang di buat oleh Allah untuk menggambarkan tentang cahaya-Nya.
Ad-Dahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya.
(An-Nur: 35) Yakni laki-laki yang saleh. (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh
tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak pula di sebelah barat(nya).
(An-Nur: 35) Yaitu bukan orang Yahudi, bukan pula orang Nasrani.
Pendapat yang paling utama di antara semua pendapat yang ada adalah pendapat
yang pertama. Yakni pendapat yang mengatakan bahwa pohon zaitun tersebut tumbuh
di tempat yang luas dan kelihatan menonjol, selalu terkena sinar mentari sejak
pagi sampai petang. Yang demikian itu akan menghasilkan minyak yang paling
jernih dan paling lembut, seperti yang dikatakan oleh banyak orang dari kalangan
orang-orang terdahulu. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya:
{يَكَادُ
زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ}
yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. (An-Nur: 35)
Menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, makna yang dimaksud ialah minyak
itu seakan-akan menyala karena jernih dan cemerlangnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{نُورٌ
عَلَى نُورٍ}
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35)
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah
menggambarkan tentang iman seorang hamba dan amalnya.
Mujahid mengatakan —demikian juga As-Saddi— bahwa makna yang dimaksud ialah
cahaya api dan cahaya minyak zaitun.
Ubay ibnu Ka'b telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya
di atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Orang mukmin bergelimang di
dalam lima nur (cahaya); ucapannya adalah cahaya, amal perbuatannya
adalah cahaya, tempat masuknya adalah cahaya, tempat keluarnya adalah cahaya,
dan tempat kembalinya ialah ke dalam surga kelak di hari kiamat dengan diterangi
oleh cahaya.
Syamr ibnu Atiyyah telah mengatakan bahwa Ibnu Abbas datang kepada Ka'bul
Ahbar, lalu berkata, "Ceritakanlah kepadaku tentang makna firman-Nya: 'Yang
minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.'
(An-Nur: 35)" Ka'bul Ahbar mengatakan bahwa hampir-hampir Muhammad Saw.
jelas di mata orang-orang, sekalipun dia tidak mengucapkan bahwa dirinya seorang
nabi, sebagaimana minyak itu hampir-hampir menerangi (sekalipun tidak disentuh
api).
As-Saddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Cahaya di
atas cahaya (berlapis-lapis). (An-Nur: 35) Yakni cahaya api dan cahaya
minyak, saat bertemu kedua-duanya menerangi, masing-masing tidak dapat menerangi
tanpa yang lainnya. Demikian pula cahaya Al-Qur'an dan cahaya iman; manakala
keduanya bertemu, maka masing-masing dari keduanya tidak akan ada kecuali dengan
keberadaan yang lainnya.
*******************
Firman Allah Swt.:
{يَهْدِي
اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ}
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. (An-Nur:
35)
Yakni Allah membimbing ke jalan petunjuk siapa yang Dia pilih, seperti yang
disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا
مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفَزَارِيُّ،
حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ [بْنِ] الدَّيْلَمِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ
خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ، ثُمَّ أَلْقَى عَلَيْهِمْ مِنْ نُورِهِ يَوْمَئِذٍ، فَمَنْ
أَصَابَ يَوْمَئِذٍ مِنْ نُورِهِ اهْتَدَى، وَمَنْ أَخْطَأَهُ ضَلَّ. فَلِذَلِكَ
أَقُولُ: جفَّ الْقَلَمُ عَلَى عِلْمِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ"
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Amr, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad Al-Fazzari, telah menceritakan
kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku Rabi'ah ibnu Yazid, dari
Abdullah Ad-Dailami, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar
Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. menciptakan makhluk-Nya
dalam kegelapan, kemudian melemparkan kepada mereka sebagian dari cahaya-Nya
pada hari itu. Maka barang siapa yang terkena sebagian dari cahaya-Nya, tentulah
ia mendapat petunjuk; dan barang siapa yang luput dari cahaya-Nya, sesatlah dia.
Untuk itulah saya ucapkan, "Keringlah pena (dalam mencatat) ilmu Allah
Swt."
Menurut jalur lain yang bersumber dari Abdullah ibnu Amr, Al-Bazzar telah
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Suwaid, dari Yahya ibnu
Abu Amr Asy-Syaibani, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa ia pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"إِنَّ
اللَّهَ خَلَقَ خَلْقَهُ فِي ظُلْمَةٍ، فَأَلْقَى عَلَيْهِمْ نُورًا مِنْ نُورِهِ،
فَمَنْ أَصَابَهُ مِنْ ذَلِكَ النُّورِ اهْتَدَى، وَمَنْ أَخْطَأَهُ
ضَلَّ
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, lalu
melemparkan kepada mereka suatu cahaya dari cahaya-Nya. Maka barang siapa yang
terkena cahaya itu, ia mendapat petunjuk; dan barang siapa yang luput darinya,
maka sesatlah ia.
Al-Bazzar telah meriwayatkannya pula melalui Abdullah ibnu Amr, dari jalur
lain dengan lafaz dan teks yang sama.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَيَضْرِبُ
اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. (An-Nur: 35)
Setelah menuturkan hal tersebut sebagai perumpamaan bagi cahaya petunjuk-Nya
di dalam kalbu orang mukmin, maka Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya:
dan Allah memperbuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. (An-Nur: 35) Yakni Dia Maha Mengetahui tentang siapa yang
berhak mendapat petunjuk dan siapa yang berhak mendapat kesesatan.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ
-يَعْنِي شَيْبَانَ -، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّة، عَنْ أَبِي
البَخْتَري، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الْقُلُوبُ أَرْبَعَةٌ: قَلْبٌ أَجْرَدُ فِيهِ مِثْلُ
السِّرَاجِ يُزهرُ، وَقَلْبٌ أَغْلَفُ مَرْبُوطٌ عَلَى غِلَافِهِ، وَقَلْبٌ
مَنْكُوسٌ، وَقَلْبٌ مُصْفَح: فَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَجْرَدُ فَقَلْبُ
الْمُؤْمِنِ، سِرَاجُهُ فِيهِ نُورُهُ. وَأَمَّا الْقَلْبُ الْأَغْلَفُ فَقَلْبُ
الْكَافِرِ. وَأَمَّا الْقَلْبُ الْمَنْكُوسُ فَقَلْبُ [الْمُنَافِقِ] عَرَفَ ثُمَّ
أَنْكَرَ. وَأَمَّا الْقَلْبُ المُصْفَح فَقَلْبٌ فِيهِ إِيمَانٌ وَنِفَاقٌ،
وَمَثَلُ الْإِيمَانِ فِيهِ كَمَثَلِ الْبَقْلَةِ يَمُدّها الْمَاءُ الطَّيِّبُ،
وَمَثَلُ النِّفَاقِ فِيهِ كَمَثَلِ القُرحة يَمُدَّها الْقَيْحُ وَالدَّمُ،
فَأَيُّ الْمَدَّتَيْنِ غَلَبَتْ عَلَى الْأُخْرَى غَلَبَتْ
عَلَيْهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Syaiban,
dari Lais, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Abu Sa'id Al-Khudri
yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Kalbu itu ada empat
macam, yaitu kalbu yang bersih, di dalamnya terdapat sesuatu seperti pelita yang
berkilauan; kalbu yang terkunci, dalam keadaan tertutup rapat oleh pelapisnya;
kalbu yang terbalik, dan kalbu yang terlapisi. Adapun kalbu yang bersih ia
adalah kalbu orang mukmin yang di dalamnya terdapat lentera yang meneranginya.
Adapun kalbu yang terkunci, maka ia adalah kalbu orang kafir. Adapun kalbu yang
terbalik, ia adalah kalbu orang munafik; ia mengetahui (kebenaran),
kemudian mengingkarinya. Adapun kalbu yang terlapisi, maka ia adalah kalbu
yang mengandung iman dan kemunafikan. Perumpamaan iman di dalam kalbu sama
dengan sayuran yang disirami dengan air bersih, dan perumpamaan nifak (sifat
munafik) di dalam kalbu sama dengan luka yang disuplai oleh darah dan nanah;
maka mana pun di antara keduanya mengalahkan yang lain, berarti dialah yang
menang.
Sanad hadis berpredikat jayyid, tetapi mereka (ashabus sunan) tidak
mengetengahkannya.