Tafsir Surat At-Taubah, ayat 118-119
{وَعَلَى
الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأرْضُ بِمَا
رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ
اللَّهِ إِلا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ
التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (118) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (119) }
dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan
(penerimaan tobat) mereka, hingga
apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa
mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah
mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan
kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam
tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian
bersama orang-orang yang benar.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim,
telah menceritakan kepada kami keponakan Az-Zuhri (yaitu Muhammad ibnu
Abdullah), dari pamannya (Muhammad ibnu Muslim Az-Zuhri), telah menceritakan
kepadaku Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik, bahwa Ubaidillah ibnu
Ka'b ibnu Malik yang menjadi juru penuntun Ka'b ibnu Munabbih setelah matanya
buta mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ka'b ibnu Malik menceritakan hadis
tentang dirinya ketika ia tidak ikut berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam
Perang Tabuk. Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Aku tidak pernah absen dari
Rasulullah Saw. dalam suatu peperangan pun yang dilakukannya, kecuali dalam
Perang Tabuk. Hanya dalam Perang Badar aku tidak ikut, dan tidak ada seorang pun
yang ditegur karena tidak mengikutinya. Karena sesungguhnya saat itu Rasulullah
Saw. berangkat hanya bertujuan untuk menghadang kafilah orang-orang Ouraisy,
tetapi pada akhirnya Allah mempertemukan mereka dengan musuh mereka tanpa ada
perjanjian sebelumnya. Sesungguhnya aku ikut bersama Rasulullah Saw. dalam malam
'Aqabah ketika kami mengucapkan janji setia kami kepada Islam, dan aku tidak
suka bila malam itu diganti dengan Perang Badar, sekalipun Perang Badar lebih
dikenal oleh orang daripadanya. Termasuk berita yang menyangkut diriku ketika
aku tidak ikut berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam Perang Tabuk ialah bahwa
pada saat itu keadaanku cukup kuat dan cukup mudah, yaitu ketika aku absen dari
Rasulullah Saw. dalam peperangan tersebut. Demi Allah, aku belum pernah
mengumpulkan dua rahilah (unta kendaraan lengkap dengan perbekalannya)
melainkan aku mampu mengumpulkannya buat perang itu. Rasulullah Saw. apabila
hendak berangkat menuju suatu medan perang jarang sekali menyebutkan tujuannya,
melainkan menyembunyikannya di balik tujuan yang lain. Ketika tiba saat perang
itu, maka Rasulullah Saw. berangkat menuju medannya dalam musim yang panas
sekali dan perjalanan yang sangat jauh serta padang sahara yang luas, juga akan
menghadapi musuh yang sangat banyak. Maka Rasulullah Saw. memberikan kesempatan
kepada kaum muslim untuk membuat persiapan sesuai dengan musuh yang akan mereka
hadapi, dan beliau Saw. memberitahukan kepada mereka tujuan yang akan
ditempuhnya. Saat itu jumlah kaum muslim yang bersama Rasulullah Saw. sangat
banyak sehingga sulit untuk dicatat jumlahnya."
Ka'b melanjutkan kisahnya, "Jarang sekali seorang lelaki yang berkeinginan
untuk absen melainkan ia menduga bahwa dirinya pasti tidak diketahui, selagi
tidak turun wahyu kepada Nabi Saw. dari Allah Swt. yang memberitahukannya.
Rasulullah Saw. berangkat ke medan Perang Tabuk di saat musim buah sedang masak
dan naungan yang rindang, sedangkan diriku (Ka'b) lebih cenderung kepada kedua
hal ini. Rasulullah Saw. melakukan persiapan untuk menghadapinya bersama-sama
kaum muslim, dan aku pun pergi dengan mereka untuk membuat persiapan, tetapi aku
kembali dalam keadaan masih belum dapat menyelesaikan sesuatu pun dari
persiapanku. Lalu aku berkata kepada diri sendiri, 'Aku mampu membuat persiapan
jika aku menghendakinya.' Hal tersebut berkepanjangan dalam diriku, sedangkan
orang lain terus membuat persiapannya dengan penuh kesungguhan. Hingga pada
suatu hari Rasulullah Saw. dan kaum muslim berangkat, sedangkan aku masih belum
menunaikan sesuatu pun dari persiapanku. Dan aku berkata kepada diriku sendiri,
'Aku akan membuat persiapanku dalam satu dua hari lagi, lalu aku akan berangkat
menyusul Rasulullah Saw.' Pada keesokan harinya setelah mereka semuanya pergi,
aku pergi untuk membuat persiapanku, tetapi akhirnya aku kembali dalam keadaan
masih belum mempersiapkan sesuatu pun dari urusanku itu. Lalu pada keesokan
harinya aku pergi lagi untuk membuat persiapan, tetapi aku kembali dalam keadaan
belum menunaikan apa-apa. Hal itu berkepanjangan atas diriku, hingga pasukan
kaum muslim telah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Kemudian aku berniat
berangkat dan menyusul mereka —sebenarnya alangkah baiknya bagiku bila niat
tersebut kulakukan—, tetapi aku tidak mampu melakukan hal itu. Sejak saat itu
apabila keluar menemui orang-orang sesudah keberangkatan Rasulullah Saw., aku
selalu dilanda kesedihan, karena aku memandang diriku sendiri tiada lain seperti
seseorang yang tenggelam dalam kemunafikannya, atau sebagai seorang lelaki yang
dimaafkan oleh Allah Swt. karena berhalangan. Rasulullah Saw. tidak menyebut
tentang diriku melainkan sesudah sampai di medan Tabuk. Ketika beliau sudah
sampai di Tabuk di saat beliau sedang duduk di tengah-tengah kaum muslim, beliau
Saw. bertanya, 'Apakah yang telah dilakukan Ka'b ibnu Malik?' Seorang lelaki
dari kalangan Bani Salamah menjawab, 'Wahai Rasulullah, dia tertahan oleh dua
lapis kain burdahnya dan memandang kepada kedua sisi pundaknya,' yakni cenderung
kepada duniawi. Maka perkataannya itu dibantah oleh Mu'az ibnu Jabal,
'Perkataanmu itu buruk sekali. Demi Allah, wahai Rasulullah, sepanjang
pengetahuan kami dia adalah orang yang baik.' Rasulullah Saw. diam."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Ketika sampai kepadaku berita yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. dalam perjalanan pulangnya dari medan Tabuk,
maka diriku dilanda kesedihan dan kesusahan, lalu aku mulai berpikir mencari
alasan dengan berdusta untuk menyelamatkan diriku dari murka Rasulullah Saw.
pada keesokan harinya. Untuk itu, aku bermusyawarah dengan orang-orang yang
pandai dari kalangan keluargaku. Tetapi ketika diberitakan bahwa Rasulullah Saw.
kini telah dekat, maka lenyaplah kebatilan dari diriku, dan kini aku sadar bahwa
diriku tidak akan selamat darinya dengan alasan apa pun. Maka akhirnya aku Pada
pagi harinya Rasulullah Saw. tiba. Kebiasaan Rasulullah Saw. apabila baru tiba
dari suatu perjalanan, beliau memasuki masjid terlebih dahulu, lalu salat dua
rakaat, setelah itu duduk menghadapi orang-orang. Ketika Rasulullah Saw. telah
melakukan hal itu, maka berdatanganlah kepadanya orang-orang yang tidak ikut
berperang, lalu mereka mengemukakan uzurnya dan bersumpah kepadanya untuk
menguatkan alasannya. Yang melakukan demikian ada delapan puluh orang lebih,
maka Rasulullah Saw. menerima lahiriah mereka dan memohonkan ampun kepada Allah
untuk mereka, sedangkan mengenai isi hati mereka beliau serahkan kepada Allah
Swt. Setelah itu aku tiba dan mengucapkan salam kepadanya, maka ia kelihatan
tersenyum sinis kepadaku, lalu bersabda, 'Kemarilah!' Aku berjalan ke
arahnya hingga duduk di hadapannya, lalu ia bersabda, 'Apakah yang
menyebabkan kamu tidak ikut perang? Bukankah kamu telah membeli kendaraan?'
Aku menjawab, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya jika aku duduk di hadapan
selain engkau dari kalangan penduduk dunia, niscaya aku dapat keluar dari
kemarahannya dengan berbagai alasan, sesungguhnya aku telah dianugerahi pandai
berbicara. Tetapi demi Allah, aku merasa yakin bahwa jika aku berbicara kepadamu
pada hari ini dengan pembicaraan yang dusta hingga aku dapat membuatmu rida,
niscaya Allah akan membuat engkau murka terhadap diriku dalam waktu yang dekat
(yakni melalui wahyu-Nya yang menerangkan hal sebenarnya). Dan sesungguhnya jika
aku mengatakan hal yang sebenarnya kepadamu, niscaya engkau akan murka terhadap
diriku karenanya; hanya saja aku benar-benar berharap semoga Allah memberikan
akibat yang terbaik bagiku dalam kejujuranku ini. Demi Allah, sebenarnya aku
tidak mempunyai uzur (halangan) apa pun. Demi Allah, aku belum pernah mengalami
keadaan yang luas dan mudah seperti ketika aku tidak ikut perang
bersamamu'."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Rasulullah Saw. bersabda: Adapun
orang ini, maka ia berkata sejujurnya. Sekarang pergilah hingga Allah memberikan
keputusan. Maka aku bangkit dan pergi, lalu bangkitlah banyak kaum lelaki
dari kalangan Bani Salamah mengikuti diriku, lalu mereka berkata kepadaku, "Demi
Allah, kami belum pernah melihat engkau melakukan suatu dosa (kesalahan) pun
sebelum ini. Kali ini engkau tidak mampu mengemukakan alasan seperti apa yang
dikemukakan oleh mereka yang tidak ikut perang itu. Padahal dosamu sudah cukup
akan dihapus oleh permohonan ampun Rasulullah Saw. kepada Allah buat
dirimu."
Ka'b melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, mereka terus-menerus menegurku hingga
timbul perasaan dalam hatiku seandainya aku kembali kepada Rasulullah Saw., lalu
aku berdusta terhadap diriku. Kemudian aku bertanya kepada mereka, 'Apakah ada
orang lain yang mengalami seperti apa yang aku lakukan?' Mereka menjawab, 'Ya,
engkau ditemani oleh dua orang lelaki yang kedua-duanya mengatakan hal yang sama
dengan apa yang telah kamu katakan, lalu dijawab dengan jawaban yang sama
seperti yang diutarakan kepadamu.' Aku bertanya, 'Siapakah keduanya itu?' Mereka
menjawab, 'Mararah ibnu Rabi' Al-Amiri dan Hilal ibnu Umayyah Al-Waqifi.' Mereka
menceritakan kepadaku perihal dua orang lelaki yang pernah ikut dalam Perang
Badar, kedua-duanya adalah orang yang saleh, dan pada diri keduanya terdapat
teladan yang baik bagi diriku. Lalu aku meneruskan perjalananku setelah mereka
menceritakan kedua orang itu kepadaku."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Rasulullah Saw. melarang kaum muslim
berbicara dengan kami bertiga dari kalangan orang-orang yang tidak ikut perang
bersamanya. Maka kami dijauhi oleh orang-orang. Sikap mereka berubah total
terhadap kami, hingga terasa olehku bahwa bumi yang aku huni ini bukanlah bumi
yang pernah aku tinggal padanya dan bukanlah bumi yang aku kenal. Kami tinggal
dalam keadaan demikian selama lima puluh hari. Kedua temanku itu diam saja dan
hanya tinggal di dalam rumahnya masing-masing sambil menangis tiada
henti-hentinya (menyesali perbuatannya), tetapi aku adalah orang yang paling
sabar dan paling tahan dalam menderita di antara mereka. Aku tetap ikut salat
berjamaah bersama kaum muslim dan berkeliling Di pasar-pasar tanpa ada seorang
pun yang mau berbicara kepadaku. Dan aku datang menghadap Rasulullah Saw.
ketika beliau sedang berada di majelisnya sesudah salat, lalu aku mengucapkan
salam kepadanya, dan aku berkata kepada diriku sendiri bahwa apakah beliau
menggerakkan kedua bibirnya menjawab salamku ataukah tidak. Kemudian aku salat
di dekatnya dan mencuri pandang ke arahnya. Tetapi apabila aku menghadapi
salatku, beliau memandang ke arahku, dan apabila aku memandang ke arahnya, maka
beliau berpaling dariku. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama kualami,
semua orang muslim tidak mau berbicara kepadaku, hingga aku berjalan menelusuri
tembok kebun milik Abu Qatadah. yaitu saudara sepupuku dan orang yang paling aku
sukai. Lalu aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi —demi Allah—- dia tidak
menjawab salamku. Lalu aku berkata, 'Hai Abu Qatadah. aku memohon kepadamu
dengan menyebut nama Allah, apakah engkau mengetahui bahwa aku cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya?'."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Sepupuku itu diam saja." Ka'b ibnu
Malik mengulangi salam dan pertanyaannya, tetapi sepupunya itu tetap diam.
Ketika Ka'b ibnu Malik mengulangi lagi hal itu kepadanya, barulah ia menjawab,
"Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Maka berlinanganlah air mata Ka'b ibnu
Malik, hingga pergi dan meniti jalan dengan bersembunyi di balik tembok. Ketika
aku (Ka'b ibnu Malik) sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba aku bersua
dengan seorang Nabti dari negeri Syam yang biasa mendatangkan bahan makanan
untuk dijual di Madinah. Dia bertanya, "Siapakah yang akan menunjukkan Ka'b ibnu
Malik kepadaku?" Maka orang-orang menunjukkan kepadanya rumahku, hingga orang
itu datang kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat untukku dari Raja Gassan.
Kebetulan aku adalah orang yang pandai baca tulis. Ketika kubaca isinya,
ternyata di dalamnya terdapat kata-kata berikut, "Amma ba'du.
Sesungguhnya telah sampai kepada kami suatu berita yang mengatakan bahwa
temanmu (yakni Nabi Saw.) telah menjauhimu, dan sesungguhnya Allah tidak
menjadikanmu berada di negeri yang semuanya menghina dan menyia-nyiakanmu. Maka
bergabunglah dengan kami, kami pasti akan membantumu."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Setelah kubaca isi surat itu. jiku
berkata kepada diriku sendiri. Inipun suatu malapetaka lagi. Lalu aku menuju
tempat pembakaran roti. kemudian surat itu aku masukkan ke dalamnya. Setelah
berlalu empat puluh hari dari lima puluh hari yang telah kami sebutkan,
tiba-tiba Rasulullah Saw. —yakni utusannya— datang kepadaku seraya membawa pesan
bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan aku agar menjauhi istriku. Aku bertanya,
'Apakah aku harus menceraikannya ataukah harus bagaimana?' Utusan itu
menegaskan. 'Tidak, tetapi kamu harus menjauhinya, janganlah kamu mendekatinya."
Hal yang sama telah dikatakan pula kepada kedua orang temanku."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu aku berkata kepada istriku,
'Pulanglah ke rumah orang tuamu dan tinggallah bersama mereka hingga Allah
memutuskan perkaraku ini menurut apa yang dikehendaki-Nya'." Lain halnya dengan
istri Hilal ibnu Umayyah (teman Ka'b yang juga dijauhkan). Ia datang menghadap
Rasulullah Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal adalah orang
yang telah berusia lanjut lagi lemah keadaannya, dia pun tidak mempunyai
pembantu, apakah engkau tidak suka bila aku melayaninya?" Rasulullah Saw.
menjawab, "Tidak, tetapi dia tidak boleh mendekatimu." Istri Hilal
berkata, "Sesungguhnya dia, demi Allah, tidak mempunyai selera apa pun. Dia,
demi Allah, masih terus-menerus menangis sejak peristiwa yang dialaminya sampai
sekarang."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu salah seorang istriku ada yang
mengatakan kepadaku,' Sebaiknya engkau meminta izin kepada Rasulullah Saw. agar
istrimu diberi izin untuk melayanimu seperti apa yang diizinkan kepada istri
Hilal ibnu Umayyah untuk melayaninya.' Aku berkata, 'Demi Alah, aku tidak mau
meminta izin kepada Rasulullah Saw. untuk istriku itu, apakah nanti yang akan
dikatakan oleh Rasulullah Saw. tentang diriku yang masih muda ini bila aku
meminta izin kepadanya'."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Kami tinggal selama sepuluh hari dalam
keadaan demikian, hingga genaplah lima puluh hari sejak Rasulullah Saw. melarang
orang-orang berbicara kepada kami."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu aku melakukan salat Subuh pada
pagi hari yang kelima puluhnya di atas loteng salah satu rumahku. Ketika itu aku
sedang duduk dalam keadaan seperti apa yang disebutkan oleh Allah, bahwa jiwaku
merasa sempit dan bumi yang luas ini terasa sempit bagiku. Dalam keadaan
demikian aku mendengar suara seruan keras dari atas Bukit Sala' yang menyerukan
dengan suara keras sekali, 'Bergembiralah engkau, hai Ka'b ibnu Malik!' Maka aku
menyungkur bersujud, dan aku mengetahui bahwa telah datang jalan keluar dari
Allah Swt., yaitu dengan menerima tobat kami. Rasulullah Saw. seusai salat
Subuhnya memaklumatkan penerimaan tobat kami oleh Allah Swt. Maka orang-orang
pun pergi untuk menyampaikan berita gembira itu kepadaku dan kepada kedua orang
temanku. Ada seorang lelaki yang memacu kudanya dari kalangan kabilah Aslam, dan
seorang lagi berlari menaiki puncak Bukit (Sala') untuk menyerukan hal itu, dan
ternyata suara lebih cepat daripada kuda. Ketika datang kepadaku orang yang
telah kudengar suaranya menyampaikan berita gembira dari atas bukit itu, maka
aku tanggalkan kedua bajuku, lalu kuberikan kepadanya sebagai penghargaan atas
jasanya; padahal, demi Allah, aku tidak mempunyai baju lagi yang selainnya pada
saat itu. Lalu aku meminjam dua lapis baju dan kukenakan, lalu aku berangkat
dengan tujuan akan menghadap Rasulullah Saw. Setiap orang yang aku jumpai secara
berbondong-bondong menyampaikan ucapan selamat mereka kepadaku karena tobatku
diterima oleh Allah. Mereka mengatakan, 'Selamat dengan penerimaan tobatmu oleh
Allah.' Ketika aku memasuki masjid, kujumpai Rasulullah Saw. sedang duduk
dikelilingi oleh orang banyak. Maka Talhah ibnu Ubaidillah berlari kecil datang
kepadaku dan menyalamiku serta mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah dialah
satu-satunya orang dari kalangan Muhajirin yang bangkit menyambutku."
Perawi mengatakan bahwa atas peristiwa itu Ka'b tidak pernah melupakan
kebaikan Talhah ibnu Ubaidillah.
Ka'b melanjutkan kisahnya, "Setelah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah
Saw. (dan beliau menjawab salamku), maka kelihatan wajah Rasulullah Saw.
bercahaya karena gembira, lalu bersabda: 'Bergembiralah engkau dengan
sebaik-baik hari yang kamu alami sejak kamu dilahirkan oleh ibumu.' Aku
bertanya, 'Apakah dari sisimu, hai Rasulullah, ataukah dari sisi Allah?' Rasul
Saw. menjawab, 'Tidak, tetapi dari sisi Allah.' Rasulullah Saw. bila
wajahnya bersinar hingga kelihatan seperti bulan purnama, maka hal itu merupakan
suatu pertanda bahwa beliau sedang gembira. Ketika aku duduk di hadapannya, aku
berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya untuk menunjukkan tobatku, aku
melepaskan semua hartaku untuk aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.'
Rasulullah Saw. bersabda, 'Peganglah sebagian dari hartamu, hal itu lebih
baik bagimu.' Aku berkata, 'Sesungguhnya aku hanya mau memegang bagianku
yang ada di Khaibar.' Dan aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah
menyelamatkan diriku hanya dengan berkata benar, dan sesungguhnya termasuk
tobatku ialah aku tidak akan berbicara melainkan sejujurnya selagi aku masih
hidup'."
Ka'b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, aku tidak pernah
mengetahui seseorang dari kalangan kaum muslim yang diuji dengan kejujuran dalam
berbicara sejak aku mengucapkan kejujuran itu kepada Rasulullah, yakni dengan
hasil yang lebih baik daripada apa yang pernah diujikan oleh Allah kepadaku.
Demi Allah, aku tidak punya niat melakukan suatu kedustaan pun sejak aku
mengucapkan hal itu kepada Rasulullah Saw. sampai sekarang. Dan sesungguhnya aku
berharap semoga Allah Swt. memelihara diriku dari dusta dalam sisa usiaku."
Firman Allah Swt.:
{لَقَدْ
تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ الَّذِينَ
اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ
فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ. وَعَلَى
الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأرْضُ بِمَا
رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ
اللَّهِ إِلا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ
التَّوَّابُ الرَّحِيمُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ}
Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan
orang-orang Ansar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati
segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka
itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan
terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga
apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas danjiwa
mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah
mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan
kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam
tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian
bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 117-119)
Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Demi Allah, tidak ada suatu nikmat yang telah
dianugerahkan oleh Allah kepadaku sesudah Dia memberiku petunjuk kepada Islam,
yakni nikmat yang paling besar artinya bagiku selain dari kejujuranku kepada
Rasulullah Saw. pada hari itu. Karena aku tidak mau berdusta kepadanya, sebab
aku akan dibinasakan oleh Allah seperti apa yang telah Dia lakukan kepada
orang-orang yang berdusta kepada Rasul Saw."
Allah Swt. mengecam dengan kecaman yang sangat keras terhadap orang-orang
yang berdusta kepada Rasul Saw. melalui firman yang diturunkan-Nya, yaitu:
{سَيَحْلِفُونَ
بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انْقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ
فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا
كَانُوا يَكْسِبُونَ. يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا
عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ
الْفَاسِقِينَ}
Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu
kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari
mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam:
sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah
kepadamu agar kamu rida kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu rida kepada
mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rida kepada orang-orang yang fasik itu.
(At-Taubah: 95-96)
Ka'b ibnu Malik mengatakan, "Kami bertiga adalah orang-orang yang berbeda
dengan mereka yang diterima uzurnya oleh Rasulullah Saw.; ketika mereka tidak
ikut perang, lalu Rasulullah Saw. membaiat mereka dan memohonkan ampun kepada
Allah buat mereka. Sedangkan terhadap kami bertiga, Rasulullah Saw. menangguhkan
urusan kami hingga Allah Swt. sendiri yang memutuskannya. Karena itulah Allah
Swt. berfirman:
{وَعَلَى
الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا}
'dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat)
mereka.' (At-Taubah: 118)
Penangguhan Allah terhadap kami tentang urusan kami itu bukanlah karena
pelanggaran kami yang tidak ikut perang, melainkan ditangguhkan dari orang-orang
yang mengemukakan uzurnya dan bersumpah kepada Nabi untuk mempercayainya, lalu
Nabi Saw. menerima alasan mereka."
Hadis ini sahih lagi terbuktikan kesahihannya dan telah disepakati
kesahihannya. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis
Az-Zuhri dengan lafaz yang semisal. Hadis ini mengandung tafsir ayat ini dengan
penafsiran yang paling baik dan paling detail.
Hal yang sama telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang dari kalangan ulama
Salaf dalam tafsir ayat ini, seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Al-A'masy
dari Abu Sufyan, dari Jabir ibnu Abdullah sehubungan dengan firman Allah Swt.:
dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka.
(At-Taubah: 118); Mereka adalah Ka'b ibnu Malik, Hilal ibnu Umayyah, dan
Mararah ibnu Rabi', semuanya dari kalangan Ansar.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ad- Dahhak, Qatadah, As-Saddi,
dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Semuanya mengatakan bahwa salah
seorangnya adalah Mararah ibnu Rabi'ah.
Hal yang sama disebutkan dalam salah satu salinan dari kitab Muslim,
disebutkan Ibnu Rabi'ah; sedangkan dalam salinan yang lainnya disebutkan
Mararah ibnur Rabi'. Di dalam suatu riwayat dari Ad-Dahhak disebutkan Mararah
ibnur Rabi', seperti yang terdapat di dalam kitab Sahihain, dan ini
adalah yang benar.
Teks hadis yang menyebutkan bahwa mereka (orang-orang dari Bani Salamah)
menyebutkan dua orang lelaki yang pernah mengikuti Perang Badar; menurut suatu
pendapat, ini merupakan kekeliruan dari Az-Zuhri, karena sesungguhnya
keikutsertaan seseorang dari mereka dalam Perang Badar tidak dikenal.
Setelah Allah menyebutkan jalan keluar yang telah diberikan-Nya kepada mereka
dari kesempitan dan musibah yang menimpa mereka, yaitu diasingkan oleh kaum
muslim selama lima puluh hari, dalam masa-masa itu jiwa mereka terasa sempit dan
bumi yang luas ini terasa sempit oleh mereka. Semua jalan dan semua pemikiran
tertutup bagi mereka sehingga mereka tidak menemukan petunjuk tentang apa yang
harus mereka lakukan. Tetapi mereka tetap bersabar kepada perintah Allah dan
tenang menunggu perintah-Nya serta bersikap teguh, sehingga Allah memberikan
jalan keluar bagi mereka berkat kejujuran mereka terhadap Rasulullah Saw. dalam
mengemukakan alasan ketidakikut-sertaan mereka. Mereka mengatakan bahwa
ketidakikutsertaan mereka dalam perang bukanlah karena beruzur, sehingga mereka
mendapat hukuman selama masa itu. Kemudian pada akhirnya Allah menerima tobat
mereka, dan ternyata akibat yang baik bagi mereka adalah berkat kejujuran mereka
hingga tobat mereka diterima. Karena itulah dalam firman selanjutnya
disebutkan:
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ
الصَّادِقِينَ}
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan
hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119)
Yakni jujurlah kalian dan tetaplah kalian pada kejujuran, niscaya kalian akan
termasuk orang-orang yang jujur dan selamat dari kebinasaan serta menjadikan
bagi kalian jalan keluar dari urusan kalian.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ
شَقِيقٍ ؛ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، هُوَ ابْنُ مَسْعُودٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ؛ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي
إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا
يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الكذب، حتى يُكْتَبُ
عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah
menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Syaqiq. dari Abdullah (yaitu Ibnu
Mas'ud r.a.) yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jujurlah
kalian, karena sesungguhnya kejujuran itu membimbing ke arah kebajikan; dan
sesungguhnya kebajikan itu membimbing ke arah surga. Dan seseorang yang
terus-menerus melakukan kejujuran serta berpegang teguh kepada kejujuran pada
akhirnya dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur (benar).
Hati-hatilah kalian terhadap kebohongan, karena sesungguhnya bohong itu
membimbing kepada kedurhakaan; dan sesungguhnya kedurhakaan itu membimbing ke
arah neraka. Dan seseorang yang terus-menerus melakukan kebohongan serta
bersikeras dalam kebohongannya, pada akhirnya dia akan dicatat di sisi Allah
sebagai seorang pembohong (pendusta).
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab
shahihnya.
Syu'bah telah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah bahwa ia pernah mendengar Abu
Ubaidah menceritakan hadis dari Abdullah ibnu Mas'ud r.a. yang mengatakan bahwa
dusta itu tidak layak dilakukan, baik dalam keadaan sungguhan maupun dalam
keadaan bersenda gurau. Bacalah oleh kalian firman Allah Swt. yang mengatakan:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah
kalian bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119) Demikianlah bunyi
ayat seperti yang dibacakan oleh Nabi Saw. Maka apakah kalian menjumpai padanya
suatu rukhsah (kemurahan) bagi seseorang?
Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amr sehubungan dengan firman-Nya:
Bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang
yang benar. (At-Taubah: 119) Yaitu bersama Muhammad Saw. dan para
sahabatnya.
Menurut Ad-Dahhak, bersama Abu Bakar dan Umar serta teman-teman keduanya.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Jika engkau ingin bersama orang-orang yang
benar, maka berzuhudlah kamu terhadap duniawi, dan cegahlah dirimu dari
(menyakiti) saudara seagamamu."