Tafsir Surat At-Taubah, ayat 1-2
{بَرَاءَةٌ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (1)
فَسِيحُوا فِي الأرْضِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي
اللَّهِ وَأَنَّ اللَّهَ مُخْزِي الْكَافِرِينَ (2) }
(Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan dari
Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrik yang
kalian (kaum muslim) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).
Maka berjalanlah kalian (kaum musyrik) di muka bumi selama empat
bulan, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kalian tidak akan dapat melemahkan
Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan rang-orang
kafir.
Surat yang mulia ini merupakan akhir dari apa yang diturunkan kepada
Rasulullah Saw.. seperti yang dikatakan oleh Imam Bukhari. Dia mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Syu'bah,
dari Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-Barra mengatakan
bahwa akhir ayat yang diturunkan adalah firman Allah Swt. yang mengatakan:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, "Allah
memberi fatwa kepada kalian tentang kalalah.” (An-Nisa: 176) dan surat yang
paling akhir diturunkan ialah surat Al-Bara’ah (yakni surat At-Taubah).
Sesungguhnya surat At-Taubah tidak memakai basmalah pada permulaannya,
tiada lain karena para sahabat tidak menuliskan basmalah pada permulaannya di
dalam mushaful imam (mushaf induk), bahkan mereka dalam hal ini mengikut
kepada cara Amirul Mu’minin Usman ibnu Affan r.a.
Imam Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id dan Muhammad ibnu Abu
Ja'far. serta Ibnu Abu Addi dan Suhail ibnu Yusuf; mereka mengatakan bahwa Auf
ibnu Abu Jamilah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yazid Al-Farisi, telah
menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas bahwa ia pernah bertanya kepada Usman
ibnu Affan, "Apakah yang mendorongmu sengaja membarengkan antara surat Al-Anfal
dan surat Al-Bara’ah (At-Taubah) padahal keduanya termasuk surat masani,
sehingga jumlah ayat keduanya menjadi dua ratusan, tanpa engkau tuliskan
Bismillahir Rahmanir Rahim: di antara keduanya, kemudian engkau letakkan
keduanya ke dalam kategori Sab’ut Tiwal (tujuh surat yang
panjang-panjang), apakah alasanmu?" Usman menjawab, "Dahulu semasa Rasulullah
Saw. masih menerima penurunan surat-surat yang ayat-ayatnya mempunyai bilangan
tertentu, apabila ada sesuatu yang diturunkan kepadanya, maka iapun memanggil
sebagian juru tulis wahyunya, lalu bersabda, 'Letakkanlah ayat ini dalam surat
yang ada di dalamnya disebutkan masalah anu dan anu.' Dan surat An-Anfal
termasuk surat yang mula-mula diturunkan di Madinah, sedangkan surat Al-Bara’ah
(Taubah) termasuk surat Al-Qur'an yang paling akhir diturunkan. Tersebut pula
bahwa kisah yang disebutkan di dalam surat Al-Bara’ah mirip dengan kisah yang
disebutkan di dalam surat Al-Anfal. Saya merasa khawatir bila surat Al-Bara’ah
ini termasuk bagian dari surat Al-Anfal, karena Rasulullah Saw. diwafatkan,
sedangkan beliau belum menjelaskan kepada kami bahwa Al-Bara’ah termasuk bagian
dari surat Al-Anfal. Mengingat hal tersebut, maka saya menggandengkan kedua
surat tersebut tanpa menuliskan Bismillahir Rahmanir Rahim di antara
keduanya, kemudian saya meletakkan keduanya ke dalam kelompok tujuh surat yang
panjang-panjang."
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam
Nasai, dan Ibnu Hibban di dalam kitab Sahih-nya serta Imam Hakim di dalam
kitab Mustadrak-nya melalui berbagai jalur lainnya dari Auf Al-A'rabi.
Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih sanadnya, tetapi keduanya
(Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Permulaan dari surat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw. ketika beliau
kembali dari Perang Tabuk dan mereka dalam keadaan menunaikan haji. Kemudian
disebutkan bahwa kaum musyrik di musim haji tahun itu datang pula sebagaimana
kebiasaan mereka. Mereka melakukan tawafnya di Baitullah dengan bertelanjang.
Maka Nabi Saw. tidak suka berbarengan dengan mereka. Untuk itu, beliau
mengirimkan Abu Bakar r.a. sebagai amir haji pada tahun itu, untuk memimpin
manasik haji orang-orang muslim, sekaligus untuk memberitahukan kepada kaum
musyrik bahwa sesudah tahun itu mereka tidak boleh menunaikan haji lagi. Secara
khusus Abu Bakar r.a. ditugaskan oleh Nabi Saw. untuk menyerukan firman Allah
Swt. berikut ini kepada semua orang: (Inilah pernyataan) pemutusan
perhubungan dari Allah dan Rasul-Nya (At-Taubah :1 ); Setelah Abu Bakar
kembali ke Madinah, maka Nabi Saw. mengiringkannya dengar Ali Ibnu Abu Talib
sebagai utusan khusus dari Nabi Saw., mengingat Ali adalah 'asabah Nabi
Saw., seperti yang akan dijelaskan kemudian.
*******************
Firman Allah Swt.:
{بَرَاءَةٌ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ}
Ini adalah pemutusan perhubungan dari Allah dan Rasul-Nya. (At-Taubah:
1)
Hal ini adalah pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya yang
ditujukan:
{إِلَى
الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَسِيحُوا فِي الأرْضِ أَرْبَعَةَ
أَشْهُرٍ}
kepada orang-orang musyrik yang kalian (kaum muslim) telah
mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kalian (kaum
musyrik) di muka bumi selama empat bulan,
Ulama tafsir berbeda pendapal tentang makna ayat ini. perbedaannya cukup
banyak. Sebagian mengatakan bahwa ayat ini ditujukan bagi orang-orang musyrik
yang telah mengadakan perjanjian perdamaian secara mutlak tanpa ikatan waktu.
atau mereka yang terikat perjanjian yang masanya kurang dari empat bulan, yang
karenanya masa perjanjiannya dilengkapkan menjadi empat bulan. Adapun bagi
mereka yang mempunyai perjanjian perdamaian berwaktu, maka batas pemutusannya
ialah bila telah habis masa perjanjiannya, berapapun lamanya, karena ada firman
Allah Swt. yang mengatakan:
{فَأَتِمُّوا
إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَّقِينَ}
maka terhadap mereka itu patuhilah janjinya sampai habis
waktunya. (At-Taubah: 4)
Juga karena hadis yang akan dikemukakan kemudian. Pada garis besarnya hadis
itu menyatakan, "Barang siapa yang antara dia dan Rasulullah Saw. terdapat
perjanjian perdamaian, maka batas pemutusannya sampai habis masa perjanjiannya."
Pendapat ini merupakan pendapat yang paling baik dan paling kuat.
Ibnu Jarir memilih pendapat ini dan ia telah meriwayatkan hal ini dari
Al-Kalbi, Muhammad Ibnu Ka’ab Al-Qurazi, dan lain-lainnya yang bukan hanya
scorang.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari lbnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: (Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan dari Allah dan
Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrik yang kalian
(kaum muslim) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka
berjalanlah kalian (kaum musyrik) di muka bumi selama empat bulan;
Allah Swt. memberikan batas waktu selama empat bulan terhadap orang-orang
musyrik yang telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan Rasulullah Saw. Dalam
masa itu mereka bebas berjalan di muka bumi dalam keadaan aman. Allah Swt. pun
memberikan batas waktu terhadap orang-orang yang tidak mempunyai perjanjian
perdamaian sampai dengan berakhir bulan-bulan suci, dimulai dari Hari Raya
Kurban sampai dengan lepasnya bulan Muharram, yang seluruhnya berjumlah lima
puluh hari. Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila bulan Muharram
telah habis untuk mengangkat senjata terhadap orang-orang yang tidak mempunyai
perjanjian perdamaian dengannya, yaitu dengan memerangi mereka hingga mereka mau
masuk Islam. Dan Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya berkaitan dengan
orang-orang yang mempunyai perjanjian perdamaian dengannya bahwa apabila empat
bulan yang telah ditetapkan telah habis, yang permulaannya dimulai dari Hari
Raya Kurban dan berakhir sampai dengan tanggal sepuluh bulan Rabi'ul Akhir,
hendaklah ia mengangkat senjata terhadap mereka hingga mereka mau masuk
Islam.
Abu Ma'syar Al-Madani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Ka'b Al-Qurazi dan lain-lainnya yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
mengirimkan Abu Bakar sebagai amir haji pada tahun sembilan Hijriah, dan beliau
mengutus Ali ibnu Abu Talib untuk menyampaikan tiga puluh atau empat puluh ayat
surat At-Taubah. Maka Ali membacakannya kepada orang-orang, yang isinya tentang
pemberian masa tangguh bagi orang-orang musyrik selama empat bulan. mereka dapat
berjalan dengan bebas di muka bumi selama itu. Ali ibnu Abu Talib membacakannya
kepada mereka pada hari Arafah, bahwa masa penangguhan mereka dimulai dari
tanggal dua puluh bulan Zul Hijjah dan berakhir sampai tanggal sepuluh bulan
Rabi'ul Akhir. Dan Ali membacakannya pula di rumah-rumah mereka, seraya
mengatakan bahwa sesudah tahun ini tidak boleh lagi ada orang musyrik menunaikan
haji dan tidak boleh lagi ada orang tawaf sambil telanjang.
Ibnu Abu Nujaih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna
firman-Nya: (Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan dari Allah dan
Rasul-Nya. (At-Taubah: 1) Yakni ditujukan kepada Bani Khuza'ah dan Bani
Mudlaj serta orang-orang lain yang telah mengadakan perjanjian damai atau selain
mereka. Ketika Rasulullah Saw. kembali dari medan Tabuk setelah menyelesaikan
urusannya, lalu beliau berniat untuk menunaikan haji, tetapi beliau Saw.
bersabda, ”Akan tetapi, orang-orang musyrik pasti hadir dan akan melakukan
tawafnya dengan telanjang, maka saya tidak suka berhaji sebelum hal tersebut
ditiadakan." Maka beliau Saw. mengirimkan Abu Bakar dan Ali untuk
berkeliling kepada semua orang di Zul Majaz. di tempat-tempat mereka biasa
melakukan perdagangannya dan di semua pasar musiman mereka. Nabi Saw.
memerintahkan kepada keduanya bahwa beritahukanlah kepada orang-orang musyrik
yang ada dalam ikatan perjanjian, bahwa mereka dalam keadaan aman selama empat
bulan secara berturut-turut. dimulai dari tanggal dua puluh bulan Zul Hijjah
berakhir sampai tanggal sepuluh bulan Rabi'ul Akhir, setelah itu tidak ada lagi
perjanjian perdamaian dengan mereka. Dan permaklumatkanlah kepada seluruh kaum
musyrik akan keadaan perang terkecuali jika mereka mau beriman. Demikianlah
menurut riwayat As-Saddi dan Qatadah.
Az-Zuhri mengatakan bahwa permulaan masa tangguh itu dimulai dari bulan
Syawwal dan berakhir pada akhir bulan Muharram. Pendapat ini garib,
karena mengapa mereka dihitung mulai dari masa yang hukumnya belum sampai
kepada mereka. Sesunguhnya perkara ini hanya baru muncul pada Hari Raya Kurban,
yaitu di saat Rasulullah Saw. mempermaklumatkan hal itu kepada
sahabat-sahabatnya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: