Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 99-103

Al-Baqarah, ayat 99-103

وَلَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ ۖ وَمَا يَكْفُرُ بِهَا إِلَّا الْفَاسِقُونَ[٢:٩٩

أَوَكُلَّمَا عَاهَدُوا عَهْدًا نَبَذَهُ فَرِيقٌ مِنْهُمْ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ[٢:١٠٠

وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ[٢:١٠١

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ [٢:١٠٢

وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ خَيْرٌ ۖ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ [٢:١٠٣

Artinya:

Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik. Patutkah (mereka ingkar kepada ayat­ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya? Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman. Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melempar­kan kitab Allah ke belakangnya, seolah-olah mereka tidak me­ngetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulai­man (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut; se­dangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." Mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mere­ka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempe­lajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak mem­beri manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat; dan amat jahatlah per­buatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka me­ngetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pa­hala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.

Tafsir Ibnu Katsir:

Imam Abu Ja'far mengatakan sehubungan dengan makna firman­Nya:

Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat' yang jelas..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 99).

Yakni sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu —Muhammad­alamat-alamat yang jelas yang menunjukkan akan kenabianmu. Tan­da-tanda tersebut adalah terkandung di dalam Kitabullah (Al-Qur'an) menyangkut rahasia ilmu-ilmu Yahudi dan rahasia-rahasia berita me­reka yang disimpan rapi oleh mereka. Juga mengandung berita kakek moyang mereka, berita tentang apa yang terkandung di dalam kitab­kitab mereka yang hanya diketahui oleh para rahib dan ulama mereka saja, dan hal-hal yang telah diubah oleh para pendahulu dan generasi penerus mereka yang berani mengubah hukum-hukum yang ada di dalam kitab Tauratnya. Maka Allah Swt. memperlihatkan hal tersebut kepada Nabi-Nya, yakni Nabi Muhammad Saw. melalui kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadanya.

Maka sesungguhnya hal tersebut seharusnya merupakan tanda­tanda yang jelas bagi orang yang menyadari keadaan dirinya dan ti­dak membiarkan dirinya termakan oleh rasa dengki dan kesombongan yang membinasakannya. Mengingat setiap orang yang memiliki fitrah yang sehat niscaya membenarkan semisal apa yang didatangkan oleh Nabi Muhammad Saw., yaitu berupa ayat-ayat yang jelas. Bukti-bukti tersebut mempunyai ciri khas dihasilkan oleh beliau Saw. tanpa mela­lui proses belajar yang dituntutnya dari seorang manusia; tidak pula mengambil sesuatu dari manusia, seperti yang disebutkan oleh Ad­pahhak, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya:

Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas. (Al-Baqarah: 99)

Allah Swt. berfirman bahwa engkau membacakannya (Al-Qur'an) ke­pada mereka dan memberitahukannya kepada mereka di setiap pagi dan petang di antara keduanya, sedangkan di kalangan mereka engkau diketahui sebagai orang yang ummi (buta huruf), tetapi engkau mem­beritahukan kepada mereka semua hal yang ada di kalangan mereka sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Allah Swt. berfirman ke­pada mereka yang di dalamnya terkandung pelajaran dan penjelasan, tetapi sekaligus menjadi hujah terhadap mereka, seandainya mereka mengetahui.

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepada­nya Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Ibnu Suria Al­Qatwaini berkata kepada Rasulullah Saw., "Hai Muhammad, engkau tidak mendatangkan kepada kami sesuatu yang kami kenal, dan Allah tidak menurunkan kepadamu suatu ayat pun yang jelas yang menye­babkan kami mengikutimu." Maka Allah menurunkan firman-Nya:

Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik. (Al-Baqarah: 99)

Malik ibnu Sad (seorang Yahudi) mengatakan ketika Rasulullah Saw. telah menjadi utusan Allah dan memperingatkan kepada mereka per­janjian yang diambil oleh Allah atas diri mereka dan apa yang dijanji­kan Allah Swt. kepada mereka sehubungan dengan perkara Nabi Mu­hammad Saw., "Allah tidak menjanjikan kepada kami tentang Mu­hammad, dan Dia tidak mengambil janji apa pun atas diri kami." Ma­ka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

Patutkah (mereka ingkar kepada ayat-ayat Allah), dan seliap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya? (Al-Baqarah: 100)

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman­Nya:

Bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman. (Al-Baqarah: 100)

Memang benar, tiada suatu perjanjian pun di muka bumi ini yang me­reka lakukan melainkan mereka pasti melanggar dan merusaknya. Mereka mengadakan perjanjian di hari ini, dan besoknya mereka pasti merusaknya.

Menurut As-Saddi, makna laa yu-minuna ialah `mereka tidak ber­iman dengan apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.'.

Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Nabata fariqum minhum," bahwa perjanjian itu dirusak oleh sego­longan orang dari kalangan mereka.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa asal makna an-nabat ialah mem­buang dan melemparkan. Karena itu anak yang hilang disebut man-but, yakni diambil dari kata an-nabat ini, dan disebut pula nabit bagi buah kurma serta buah anggur yang dimasuklcan (dilemparkan) ke da­lam air. Sehubungan dengan pengertian ini Abul Aswad Ad-Du-ali mengatakan dalam syairnya:

Ketika aku melihat alamat (tempat tinggal)nya, maka aku lang­sung membuang (melemparkan)nya (jauh-jauh) sebagaimana engkau lemparkan salah satu dari terompahmu yang sudah rusak.

Kaum yang disebut dalam ayat ini dicela oleh Allah Swt. karena me­reka merusak perjanjian mereka dengan Allah yang telah disebut se­belumnya, yaitu mereka bersedia memegangnya dan mengamalkan­nya sesuai dengan apa yang sebenarnya. Lebih ironisnya lagi mereka mengiringi hal tersebut dengan kedustaan terhadap Rasul Saw. yang diutus kepada mereka, juga kepada seluruh umat manusia, padahal perihal Rasul tersebut telah termaktub di dalam kitab mereka sifat-si­fat dan ciri-ciri khasnya serta berita-beritanya; dan mereka diperintah­kan di dalamnya agar mengikuti Rasul itu, mendukung, dan meno­longnya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:

 

(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka..., hingga akhir ayat, (Al-A'raf: 157).

Sedangkan dalam surat ini disebutkan:

Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 101).

Yakni segolongan dari kalangan mereka melemparkan kitab yang ada di tangan mereka yang di dalamnya terkandung berita gembira keda­tangan Nabi Muhammad Saw. Di dalam ayat ini disebutkan wara-a pu7rihim, di belakang punggung mereka, yakni mereka meninggal­kannya seakan-akan mereka tidak mengetahui apa isinya. Sebagai gantinya mereka memusatkan perhatiannya untuk mempelajari sihir serta menjadi pengikutnya. Karena itu, mereka bermaksud mencelaka­kan Rasulullah Saw. Lalu mereka menyihirnya melalui sisir, buntelan secarik kain, dan ketandan kering pohon kurma yang disimpan di ba­wah batu di pinggir sumur Arwan. Orang yang melakukan hal ini dari kalangan mereka ada]ah seorang lelaki yang dikenal dengan nama Labid ibnul A'sam, semoga laknat Allah menimpa dirinya, dan semo­ga Allah memburukkannya. Maim Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan menyembuhkannya serta menyelamat­kannya dari sihir tersebut, seperti yang dinyatakan di dalam kitab Sahihain secara panjang lebar dari Siti Aisyah r.a. Ummul Mu-minin, yang hadisnya akan diketengahkan kemudian.

As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya:

Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka. (Al-Baciarah: 101)

Ketika Nabi Muhammad Saw. datang kepada mereka, mereka menen­tangnya dengan kitab Taurat dan mendebatnya, tetapi pada akhirnya kitab Taurat sepaham dengan Al-Qur'an. Lalu mereka meninggalkan kitab Taurat dan mengambil kitab Asif serta sihir Harut dan Marut, karena tidak setuju dengan AI-Qur'an. Karena itu, pada akhir ayat di­sebutkan:

seolah-olah mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101) Qatadah mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya:

Seolah-olah mereka tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 101)

Sesungguhnya kaum yang bersangkutan adalah orang-orang yang me­ngetahui (bahwa Al-Qur'an itu adalah kitab Allah), tetapi mereka menjauhi pengetahuan mereka dan menyembunyikannya serta meng­ingkarinya.

Al-Aufi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan. (Al-Ba­qarah: 102)

Tersebutlah bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman terlepas dari ta­ngannya, maka murtadlah segolongan jin dan manusia; mereka meng­ikuti hawa nafsu mereka. Setelah mengembalikan kerajaan kepada Sulaiman, maka orang-orang pun berjalan sesuai dengan hukum aga­ma seperti semula. Sesungguhnya Sulaiman dapat menemukan kitab­kitab mereka, lalu menguburnya di bawah singgasananya; tidak lama kemudian Nabi Sulaiman a.s. meninggal dunia. Akan tetapi, manusia dan jin dapat menemukan kitab-kitab tersebut setelah Nabi Sulaiman wafat. Lalu mereka berkata, "Kitab inilah yang diturunkan oleh Allah kepada Sulaiman, tetapi Sulaiman menyembunyikannya." Maka me­reka mengambil kitab tersebut dan menjadikannya sebagai agama.

Lalu turunlah firman Allah Swt.:

Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan kitab yang ada pada mereka. (A1-Baqarah: 101), hingga akhir ayat.

Maka mereka mengikuti kemauan hawa nafsu mereka yang dibacakan oleh setan-setan, yaitu alat-alat musik dan permainan serta segala se­suatu yang melalaikan berzikir kepada Allah Swt.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Asif adalah juru tulis Nabi Sulaiman. Dia adalah orang yang mengetahui Ismul A'zam, dan mencatat segala sesuatu atas izin Nabi Sulaiman, lalu Nabi Sulaiman mengubur cata­tan tersebut di bawah singgasananya.

Ketika Nabi Sulaiman wafat, catatan tersebut dikeluarkan oleh setan-setan, lalu mereka menyisipkan catatan mengenai sihir dan ke­kufuran di antara tiap dua barisnya. Mereka mengatakan, inilah yang dahulu diamalkan oleh Sulaiman.

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ada keterangan dari setan, maka orang-orang yang tidak mengerti mengafirkan Sulai­man dan mencacimakinya, tetapi para ulama dari kalangan mereka hanya diam. Orang-orang yang bodoh dari kalangan mereka terus-me­nerus mencaci maki Nabi Sulaiman, hingga Allah Swt. menurunkan ayat berikut kepada Nabi Muhammad Saw., yaitu:

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pa­da masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Su­laiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (ti­dak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (me­ngerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)

Ibnu Jarir mengatakan bahwa Abus Sa'ib Salimah ibnu Junadah As‑Sawa-i menceritakan, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan riwayat berikut:

Tersebutlah bahwa Nabi Sulaiman apabila hendak memasuki ka­mar mandi atau menggauli salah seorang istrinya, terlebih dahulu ia menyerahkan cincinnya kepada pembantu pribadinya, yaitu seorang wanita. Ketika Allah hendak menguji Nabi Sulaiman a.s. dengan ujian yang dikehendaki-Nya, maka di suatu hari Sulaiman menyerah­kan cincinnya kepada pembantunya. Lalu datanglah setan dalam nipa Sulaiman dan berkata kepada pembantu Sulaiman, "Serahkanlah cin­cinku." Si pembantu menyerahkan cincin itu kepadanya, dan ia segera memakainya. Ketika setan memakainya, maka tunduklah semua se-tan, jin, dan manusia kepadanya.

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa Nabi Sulaiman datang kepada pembantunya itu dan berkata kepadanya, "Berikanlah cincinku kepadaku." Si pembantu berkata, "Engkau dusta, engkau bukan Sulai­man." Maka sejak saat itu Nabi Sulaiman mengetahui bahwa hal ini merupakan cobaan yang ditimpakan kepada dirinya.

Ibnu Abbas berkata bahwa di hari-hari (kekuasaannya itu) setan­setan menulis berbagai macam kitab yang di dalamnya terkandung si­hir dan kekufuran, lalu mereka menguburnya di bawah singgasana Raja Sulaiman. (Setelah Sulaiman wafat) mereka mengeluarkan kitab­kitab itu dan membacakannya di hadapan semua orang, lalu mereka berkata, "Sesungguhnya dahulu Sulaiman dapat berkuasa atas ma­nusia melalui kitab-kitab ini."

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu semua orang berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh Sulaiman dan me­ngafirkannya. Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad Saw., maka diturunkan-Nyalah ayat berikut, yakni firman-Nya:

Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak melakukan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Imran (yaitu Al-Hari§) yang menceritakan: Ketika kami berada di rumah Ibnu Abbas r.a., tiba-tiba datanglah seorang lelaki, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya, "Dari manakah kamu?" Lelaki itu menjawab, "Dari negeri Irak. Ibnu Abbas bertanya, "Dari bagian mana?" Lelaki menjawab, "Kufah." Ibnu Abbas bertanya, "Bagaima­nakah beritanya?" Lelaki menjawab, "Ketika aku meninggalkan me­reka, mereka sedang hangat membicarakan bahwa Ali r.a. berangkat menuju ke arah mereka (untuk memerangi mereka)." Maka Ibnu Abbas merasa kaget dan mengatakan, "Tidak pantas kamu katakan demikian, hanya orang yang tak berayah yang mengatakan demikian. Seandainya kami percaya (dengan apa yang diberitakannya itu), pasti kami tidak mau menikahi wanita-wanitanya, tidak pula membagikan harta warisannya. Ingatlah, sesungguhnya aku akan menceritakan ke­pada kalian tentang jawaban yang sebenarnya. Bahwa dahulu setan­setan mencuri-curi pendengaran di langit, lalu seseorang dari mereka datang membawa kalimat hak yang telah didengamya; tetapi bila hen­dak ia sampaikan, makes ia mencampurinya dengan tujuh puluh (ba­nyak) kedustaan."

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa kalimat-kalimat terse-but sempat memperoleh perhatian banyak orang hingga meresap ke dalam hati mereka. Maka Allah memperlihatkan hal tersebut kepada Nabi Sulaiman a.s., lalu Nabi Sulaiman mengubur (catatan-catatan itu) di bawah kursi singgasananya. Tetapi setelah Nabi Sulaiman wa­fat, setan jalanan bangkit, lalu berkata, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada kalian simpanan terlarang yang tiada simpanan seperti sim­panan itu? Ia berada di bawah kursi singgasananya." Lalu mereka mengeluarkannya, dan setan itu berkata, "Ini ilmu sihir." Maka orang­orang menggandakan catatan-catatan tersebut dari generasi ke genera­si yang lain, hingga sisanya adalah yang sekarang hangat dibicarakan oleh penduduk Irak. Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pa­da masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Su­laiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (ti­dak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (me­ngerjakan sihir)..., hingga akhir ayat, (A1-Baqarah: 102).

Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Abu Zakaria Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus Salam, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Jarir dengan lafaz yang sama.

As-Saddi mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya:

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pa­da masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102)

Yang dimaksud dengan Mulki Sulaiman ialah di masa kerajaan Nabi Sulaiman. Tersebutlah bahwa setan-setan sering naik ke langit, lalu sampai pada suatu kedudukan yang darinya mereka dapat mencuri pendengaran. Lalu mereka mencuri sebagian dari perkataan para ma­laikat tentang apa yang bakal terjadi di bumi menyangkut perkara ke­matian, atau hal yang gaib atau suatu kejadian. Kemudian setan-setan itu menyampaikan hal tersebut kepada tukang-tukang tenung, lalu tu­kang-tukang tenung (juru ramal) menceritakan kepada manusia hal tersebut, dan ternyata kejadiannya mereka jumpai seperti apa yang di­katakan oleh para tukang tenung itu.

Setelah para juru ramal percaya kepada setan-setan tersebut, ma­ka setan-setan itu mulai berdusta kepada mereka dan memasukkan hal-hal yang lain ke dalam berita yang dibawanya; mereka menambah tujuh puluh kalimat pada setiap kalimatnya. Lalu orang-orang menca­tat omongan itu ke dalam buku-buku hingga tersiarlah di kalangan Bani Israil bahwa jin mengetahui hal yang gaib.

Kemudian Nabi Sulaiman mengirimkan utusannya kepada semua orang untuk menyita buku-buku itu. Setelah terkumpul, semua buku dimasukkan ke dalam peti, lalu peti itu dikuburnya di bawah kursi singgasananya. Tiada suatu setan pun yang berani mendekat ke kursi tersebut melainkan is pasti terbakar. Nabi Sulaiman berkata, "Tidak

sekali-kali aku mendengar seseorang mengatakan bahwa setan-setan itu mengetahui hal yang gaib melainkan aku pasti menebas batang le­hemya (sebagai hukumannya)."

Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia dan semua ulama yang mengetahui perihal Nabi Sulaiman telah tiada, lalu mereka diganti oleh generasi sesudahnya, maka datanglah setan dalam bentuk se­orang manusia. Setan itu mendatangi segolongan kaum Bani Israil dan berkata kepada mereka, "Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu perbendaharaan yang tidak akan habis kalian makan untuk se­lama-lamanya?" Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau." Setan berkata, "Galilah tanah di bawah kursi singgasananya."

Setan pergi bersama mereka dan memperlihatkan tempat tersebut kepada mereka, sedangkan dia sendiri berdiri di salah satu tempat yang agak jauh dari tempat tersebut. Mereka berkata, "Mendekatlah kamu ke sini." Setan menjawab, "Tidak, aku hanya di sini saja dekat dengan kalian. Tetapi jika kalian tidak menemukannya, kalian boleh membunuhlcu."

Mereka menggali tempat tersebut dan akhimya mereka menjum­pai kitab-kitab itu. Ketika mereka mengeluarkannya, setan berkata ke­pada mereka, "Sesungguhnya Sulaiman dapat menguasai dan me­ngatur manusia, setan-setan, dan burung-burung hanyalah melalui

il­mu sihir ini." Setelah itu setan tersebut terbang dan pergi. Maka mu­lai tersiarlah di kalangan manusia bahwa Sulaiman adalah ahli sihir, dan orang-orang Bani Israil mengambil kitab-kitab itu. Ketika Nabi Muhammad Saw. diutus oleh Allah, mereka mendebatnya dengan ki­tab-kitab tersebut, seperti yang dijelaskan oleh firman-Nya:

Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). (Al-Baciarah: 102)

Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan, sesungguhnya orang-orang Yahudi pemah bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. di suatu masa mengenai hal-hal yang terkandung di dalam kitab Taurat. Tiada suatu pertanyaan pun darinya yang mereka ajukan melainkan Allah Swt. menu­runkan wahyu kepada beliau apa yang dijadikan senjata oleh beliau untuk membantah mereka. Setelah mereka melihat jawaban tersebut, mereka berkata, "Orang ini lebih mengetahui daripada kami tentang apa yang diturunkan oleh Allah kepada kami."

Sesungguhnya mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang

il­mu sihir serta mendebatnya dengan ilmu tersebut. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pa­da masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Su­laiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (me­ngerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (menger­jakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia. (Al­Baqarah: 102)

Sesungguhnya setan-setan itu dengan sengaja membuat suatu kitab, lalu mereka mencatat ke dalamnya tentang sihir dan tenung serta hal­hal yang dikehendaki oleh Allah Swt. dari hal tersebut. Lalu mereka menguburnya di bawah kursi singgasana Nabi Sulaiman, sedangkan Nabi Sulaiman sendiri tidak mengetahui hal yang gaib.

Setelah Nabi Sulaiman wafat, lalu mereka (atas petunjuk setan) mengeluarkan buku sihir itu dan memperdaya manusia dengan kitab itu. Mereka mengatakan, "Kitab inilah yang dahulu disembunyikan oleh Sulaiman, is menggunakannya untuk melampiaskan dengkinya terhadap manusia."

Maka Nabi Saw. menceritakan kisah yang sesungguhnya, dan mereka (orang-orang Yahudi itu) kembali ke tempat tinggalnya dari sisi beliau Saw. dalam keadaan tak berdaya karena hujah mereka di­patahkan oleh wahyu Allah Swt.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. (A1-Baqarah: 102)

Dahulu setan-setan sering mencuri-curi pendengaran dari wahyu, ma­ka tidak sekali-kali mereka mendengar suatu kalimat pun dari wahyu itu melainkan mereka menambahkan kepadanya dua ratus kali lipat hal yang semisal dari diri mereka sendiri. Kemudian Nabi Sulaiman a.s. mengirimkan utusannya untuk mencatat hal tersebut. Setelah Nabi Sulaiman wafat, maka setan-setan menemukan catatan itu (yaitu ilmu sihir), lalu mereka mengajarkannya kepada manusia.

Sa'id ibnu Jubair mengatakan, dahulu Nabi Sulaiman merampas semua ilmu sihir yang ada di tangan setan, kemudian is kubur ilmu tersebut di bawah kursi singgasananya, yakni di dalam gudangnya, hingga setan-setan tidak dapat mencapainya.

Kemudian setan mendekati manusia dan berkata kepada mereka, "Tahukah kalian ilmu apakah yang dipakai oleh Sulaiman untuk me­nundukkan setan-setan dan angin serta lain-lainnya?" Mereka menye­tujui pendapat setan, lalu setan berkata kepada mereka, "Sesungguh­nya kitab itu ada di dalam gudang rumahnya, tepatnya di bawah kursi singgasananya." Setan membujuk manusia untuk mengeluarkannya, lalu mengamalkannya.

Orang-orang Hijaz mengatakan bahwa dahulu Sulaiman menger­jakan ilmu sihir tersebut. Maka Allah Swt. menurunkan kepada Nabi­Nya wahyu yang membersihkan nama Nabi Sulaiman a.s. dari sihir tersebut. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (me­ngerjakan sihir). (Al-Baqarah: 102)

Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan bahwa setelah setan­setan mengetahui kewafatan Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud a.s., ma­ka dengan sengaja mereka menulis berbagai macam ilmu sihir. Di da­lamnya dicatatkan bahwa barang siapa yang ingin mencapai anu dan anu, hendaklah is melakukan ini dan itu. Setelah semuanya terhim­pun, lalu mereka mencatatkannya ke dalam sebuah buku, lalu mereka cap dengan memakai cap seperti cap Nabi Sulaiman. Mercka men­catat judulnya dengan kalimat sebagai berikut: "Inilah semua yang di­catat oleh Asif ibnu Barkhia, teman dekat Nabi Sulaiman ibnu Daud; di dalamnya terkandung perbendaharaan berbagai ilmu yang langka". Kemudian mereka mengubur buku tersebut di bawah kursi singgasana bekas Nabi Sulaiman.

Tidak lama kemudian buku tersebut digali oleh sisa-sisa Bani Is-rail. Setelah menemulcannya, mereka berkata, "Demi Allah, kerajaan Sulaiman hanyalah tegak melalui ilmu ini." Lalu mereka menyebar­kan ilmu sihir di kalangan manusia, mempelajarinya, juga mengajar­kannya. Maka tiada sesuatu pun dari ilmu sihir itu dimiliki oleh sese­orang melainkan orang-orang Yahudi jauh lebih banyak darinya. Se­moga laknat Allah menimpa mereka.

Ketika Rasulullah Saw. menyebutkan di antara wahyu yang ditu­runkan kepadanya dari Allah Swt. mengenai diri Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud dan menyebutnya sebagai salah seorang dari kalangan ra­sul-rasul Allah, maka orang-orang Yahudi yang ada di Madinah me­ngatakan, "Tidakkah kalian heran dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad ini. Dia menduga bahwa Sulaiman ibnu Daud adalah se­orang nabi. Demi Allah, tiada lain Sulaiman itu hanyalah seorang ahli sihir." Maka sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pa­da masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Su­laiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir

(ti­dak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir), (A1-Baqarah: 102) hingga akhir ayat.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, te­lah menceritakan kepada kami Husain Al-Hajjaj, dari Abu Bakar, dari Syahr ibnu Hausyab yang menceritakan bahwa ketika kerajaan Nabi Sulaiman dirampas dari tangannya, maka selama Nabi Sulaiman ab­sen setan-setan mencatat ilmu sihir. Setan-setan tersebut mencatat bahwa barang siapa yang ingin mendapatkan anu dan anu, hendaklah ia menghadap ke arah matahari dan mengucapkan mantera ini dan itu. Barang siapa yang hendak melakukan anu dan anu, hendaklah ia membelakangi matahari dan mengucapkan mantera ini dan itu. Setan­setan itu mencatat semuanya dan menamakan catatannya itu dengan suatu judul, yaitu "Inilah yang telah dicatat oleh Asif ibnu Barkhia buat Raja Sulaiman ibnu Daud, mengandung perbendaharaan-perben­daharaan rahasia ilmu yang terpendam".

Ketika Nabi Sulaiman mengetahui kitab catatan itu, maka ia me­nguburnya di bawah kursi singgasananya. Setelah Nabi Sulaiman me­ninggal dunia, iblis berdiri, lalu berkhotbah dengan mengatakan, "Hai manusia, sesungguhnya Sulaiman itu bukanlah seorang nabi, melain­kan seorang penyihir. Maka carilah ilmu sihirnya itu di antara barang­barang miliknya dan rumah-rumahnya." Kemudian iblis menunjukkan' kepada mereka tempat Nabi Sulaiman mengubur kitab tersebut.

Maka mereka berkata, "Demi Allah, sesungguhnya Sulaiman adalah seorang penyihir. Inilah sihirnya. Dengan sihir ini kita diper­budak, dan dengan sihir ini kita dikalahkan." Orang-orang yang ber­iman mengatakan, "Tidak, bahkan dia adalah seorang nabi lagi muk­min."

Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad Saw. dan beliau Saw. menceritakan perihal Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, maka orang­orang Yahudi mengatakan, "Lihatlah oleh kalian Muhammad ini, dia mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil. Dia me­nyebut Sulaiman bersama para nabi, padahal sesungguhnya Sulaiman

hanyalah tukang sihir yang dapat menaiki angin." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pa­da masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Su­laiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir)..., hingga akhir ayat, (A1-Baqarah: 102).

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Al­Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah mende­ngar Imran ibnu Jarir mengatakan dari Abul Mijlaz, bahwa Nabi Sulaiman mengikat tiap-tiap ekor kuda dengan sebuah janji. Untuk itu apabila seorang lelaki memperolehnya (dalam perang), lalu Nabi Su­laiman memintanya, maka ia hams menyerahkannya. Maka orang­orang menambah sajak dan sihir, lalu mereka berkata, "Inilah yang diamalkan oleh Sulaiman ibnu Daud." Maka Allah menurunkan fir­man-Nya:

Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka menga­jarkan sihir kepada manusia. (Al-Baqarah: 102)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, te­lah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada ka­mi Al-Mas'udi, dari Ziad maula Mus'ab, dari Al-Hasan sehubungan dengan tatsir firman-Nya:

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan. (Al-Baqarah: 102)

Bahwa sepertiganya berisikan syair, sepertiganya lagi berisikan sihir, sedangkan sepertiga yang terakhir berisikan ramalan.

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada ka­mi Al-Hasan ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Basysyar Al-Wasiti, telah menceritakan kepadaku Surur ibnul Mugirah, dari Abbad ibnu Mansur, dari Al-Hasan sehu­bungan dengan makna firman-Nya:

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pa­da masa kerajaan Sulaiman. (A1-Baqarah: 102)

Artinya, orang-orang Yahudi mengikuti apa yang dibacakan oleh se­tan-setan itu di masa kerajaan Nabi Sulaiman. Sebelum itu ilmu sihir memang telah ada di muka bumi ini, tetapi baru diikuti hanya pada masa kerajaan Nabi Sulaiman.

Demikianlah sekilas dari pendapat para imam terdahulu sehu­bungan dengan makna ayat ini. Tetapi pada garis besamya tidak sa­mar lagi kesemuanya dapat digabungkan menjadi suatu kesimpulan, dan pada hakikatnya di antara pendapat-pendapat tersebut tidak ada pertentangan, menurut pandangan orang-orang yang mempunyai pe­mahaman yang mendalam.

Firman Allah Swt.:

Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pa­da masa kerajaan Sulaiman. (Al-Baqarah: 102)

Yang dimaksud dengan mereka ialah orang-orang Yahudi yang telah diberi Al-kitab (Taurat). Hal ini terjadi setelah mereka berpaling dari ajaran Kitabullah (Taurat) yang ada di tangan mereka dan setelah me­reka menentang Rasulullah Saw. Sesudah kesemuanya itu mereka mengikuti apa yang dibacakan olch setan-setan. Yang dimaksud de­ngan bacaan setan ialah riwayat, berita, dan kisah yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.

Dalam ungkapan ini fi'il tatlu ber-muta'addi dengan huruf 'ala karena di dalamnya terkandung pengertian membaca secara dusta.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa huruf 'ala dalam ayat ini mengan­dung makna sama dengan huruffi, yakni tatlu fi mulki Sulaiman, arti­nya: Yang dibacakan oleh setan-setan dalam kerajaan Sulaiman. Ibnu Jarir menukil pendapat ini dari Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq.

Mcnurut kami, makna tadammun (yang mengandung pengertian membaca dan berdusta) adalah lebih baik dan lebih utama.

Mengenai pendapat Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa dahulu sebelum masa Nabi Sulaiman ibnu Nabi Daud sihir itu telah ada, pendapat ini memang benar dan tidak diragukan lagi. Mengingat tukang-tukang sihir banyak didapat di masa Nabi Musa a.s., se­dangkan zaman Sulaiman ibnu Daud sesudah itu, seperti yang dijelas­kan oleh firman-Nya:

Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa..., hingga akhir ayat, (Al-Baqarah: 246).

Kemudian dalam kisah selanjutnya disebutkan melalui firman-Nya:

Dan (dalam peperangan ini) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah. (Al-Bagarah: 251)

Kaum Nabi Saleh —yang ada sebelum Nabi Ibrahim a.s.— berkata kepada Nabi mereka (yaitu Nabi Saleh), seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya:

Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orang-orang yang terkena sihir. (Asy-Syu'ara: 153)

Menurut pendapat yang masyhur, lafaz mas-hur artinya orang yang terkena sihir.

Firman Allah Swt.:

dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguh­nya kami hanya cobaan (bagirnu). Sebab itu, janganlah kamu ka­fir." Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (sua­mi) dengan istrinya. (Al-Baqarah: 102)

Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan takwil ayat ini. Se­bagian dari mereka mengatakan bahwa huruf ma adalah nafiyah, yak­ni huruf ma yang terdapat di dalam firman-Nya, "Wa ma unzila 'alal malakaini."

Al-Qurtubi mengatakan bahwa ma adalah nafiyah, is di-'ataf-kan kepada firman-Nya, "Wa ma kafara Sulaimanu." Selanjutnya dalam ayat berikut disebutkan:

hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan ke­pada dua malaikat. (Al-Baqarah: 102)

Karena dahulu orang-orang Yahudi'menduga bahwa ilmu sihir terse-but diturunkan oleh Malaikat Jibril dan Mikail. Maka Allah Swt. membantah kedustaan mereka itu melalui firman-Nya:

 yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)

Kedudukan kedua lafaz ini menjadi badal dari lafaz syayatin. Se­lanjutnya Al-Qurtubi mengatakan, hal seperti ini dinilai sah, meng­ingat adakalanya jamak itu disebut dengan lafaz yang menunjukkan pengertian dua, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman­Nya:

jika yang meninggal itu mempunyai beberapa orang saudara. (An-Nis-a: 11)

Atau karena keduanya mempunyai banyak pengikut, atau keduanya diprioritaskan dalam sebutan di antara mereka karena keduanya sa­ngat jahat. Bentuk kalimat secara lengkap menurut Al-Qurtubi ialah seperti berikut: "Mereka mengajarkan sihir kepada manusia di Babil, yakni Harut dan Marut." Kemudian Al-Qurtubi mengatakan, "Takwil inilah yang menurut pendapatku merupakan takwil yang paling utama dan paling sahih pada ayat ini, sedangkan yang lainnya tidak perlu di­perhatikan lagi."

Ibnu Jarir meriwayatkan berikut sanadnya melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan tafsir firman-Nya:

dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil. (Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah Swt. tidak menurunkan sihir.

Menurut riwayat lain berikut sanadnya Ibnu Jarir mengemukakan pula melalui Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa Allah Swt. menurunkan ilmu sihir kepada keduanya.

Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil ayat ini seperti berikut: "Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, yaitu berupa ilmu sihir, padahal Sulai­man tidak mengerjakan sihir dan Allah pun tidak pernah menurunkan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya setan-setanlah yang kafir. Me­reka mengajarkan ilmu sihir pada manusia di Babil, yakni Harut dan Marut."

Dengan demikian, berarti lafaz bibabila haruta wa maruta terma­suk lafaz yang diakhirkan, tetapi maknanya didahulukan.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa seandainya ada seseorang bertanya, "Apakah alasan yang membolehkan taqdim (pendahuluan) tersebut?" Sebagai jawabannya ialah dikemukakan bahwa takwil ayat seperti berikut: "Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman, yakni berupa ilmu sihir, padahal Sulai­man tidak kafir (tidak mengerjakan tidak pula Allah menurun­kan ilmu sihir kepada dua malaikat, hanya setan-setanlah yang kafir. Mereka mengajarkan ilmu sihir kepada manusia di Babil, yaitu Harut dan Marut." Lafaz malakaini dimaksudkan adalah Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail, karena para ahli sihir orang-orang Yahudi menurut berita yang tersiar di kalangan mereka menduga bahwa Allah Swt. te­lah menurunkan ilmu sihir melalui lisan Jibril dan Mikail yang disam­paikan kepada Sulaiman ibnu Daud. Maka Allah mendustakan tu­duhan yang mereka lancarkan itu, dan memberitahukan kepada Nabi­Nya (Nabi Muhammad Saw.) bahwa Jibril dan Mikail sama sekali ti­dal( pernah menurunkan ilmu sihir. Dan Allah Swt. membersihkan di­ri Nabi Sulaiman a.s. dari tuduhan mempraktikkan sihir yang mereka lancarkan itu. Sekaligus Allah memberitahukan kepada mereka (orang-orang Yahudi) bahwa sihir itu merupakan perbuatan setan-se­tan. Setan-setanlah yang mengajarkannya kepada manusia di Babil. Orang-orang yang mengajarkan sihir kepada mereka adalah dua orang lelaki, salah'seorangnya bemama Harut, sedangkan yang lain adalah Marut.

Berdasarkan takwil ini berarti Harut dan Marut adalah nama ma­nusia, sekaligus sebagai bantahan terhadap apa yang mereka tuduhkan terhadap kedua malaikat (Jibril dan Mikail). Demikianlah nukilan dari Ibnu Jarir secara harfiah.

Sesungguhnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ia pernah menceritakan riwayat berikut dari Ubaidillah ibnu Musa yang menga­takan, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Marzuq, dari Atiyyah sehubungan dengan tafsir firman-Nya, "Wa ma unzila 'alal malakaini," bahwa Allah sama sekali tidak menurunkan ilmu sihir ke­pada Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan pula kepada ka­mi Al-Facjl ibnu Syaian, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ya'la (yakni Ibnu Asad), telah menceritakan kepada kami Bakr (yakni Ibnu Mus'ab), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Abu Ja'far, bahwa Abdur Rahman ibnu Abza selalu membaca ayat berikut dengan bacaan: Wa ma unzila 'alal malakaini Dawuda wa Sulaimana.

Abul Aliyah mengatakan bahwa Allah tidak menurunkan ilmu si­hir kepada keduanya (Daud dan Sulaiman). Keduanya mengajarkan kepada iman dan memperingatkan terhadap kekufuran, sedangkan si­hir termasuk perbuatan kafir. Keduanya selalu melarang perbuatan kufur dengan larangan yang sangat keras. Demikianlah menurut ri­wayat Ibnu Abu Hatim.

Kemudian Ibnu Jarir melanjutkan kata-katanya sehubungan de­ngan bantahannya terhadap pendapat Al-Qurtubi tddi, bahwa huruf ma dalam ayat ini bermakna lalu ia membahasnya dengan pembahasan yang panjang lebar. la menduga bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat yang diturunkan ke bumi oleh Allah Swt. Allah mengizinkan keduanya untuk mengajarkan ilmu sihir sebagai cobaan buat hamba-hamba-Nya, sekaligus sebagai ujian, sesudah Allah men­jelaskan kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan rasul-rasul-Nya bah­wa melakukan sihir itu merupakan perbuatan terlarang.

Ibnu Jarir menduga pula bahwa Harut dan Marut dalam meng­ajarkan ilmu sihir tersebut dianggap sebagai malaikat yang taat, mengingat keduanya dalam rangka melaksanakan perintah Allah. Pendapat yang ditempuh oleh Ibnu Jarir ini sangat garib.

Tetapi ada pendapat yang lebih garib lagi dari itu, yaitu pendapat orang yang mengatakan bahwa Harut dan Marut adalah dua kabilah dari kalangan makhluk jin, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hazm.

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan berikut sanadnya melalui Ad­Dahhak ibnu Muzahim, bahwa ia pernah membacakan wama unzila 'alal malakaini, lalu ia mengatakan bahwa keduanya adalah dua orang kafir dari kalangan penduduk negeri Babil. Alasan yang dipe­gang oleh orang-orang yang berpendapat demikian ialah bahwa al­inzal di sini bermakna menciptakan, bukan menurunkan; seperti pe­ngertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt. lainnya, yaitu:

Dia ciptakan bagi kalian delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. (Az-Zumar: 6)

Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat. (AI-Hadfd: 25)

Dan Dia menciptakan untuk kalian rezeki dari langit. (Al-Mu­min: 13)

Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:

Tidak sekali-kali Allah menciptakan penyakit melainkan Dia menciptakan pula obat penawarnya.

Sebagaimana dikatakan dalam suatu pepatah, "Allah menciptakan ke­baikan dan keburukan."

Al-Qurtubi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, Ibnu Abza, dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa mereka membaca ayat ini seperti berikut: Wama unzila 'alal malikaini, dengan huruf lam yang di-kasrah-kan. Ibnu Abza mengatakan, yang dimaksud dengan al-malikaini adalah Daud dan Sulaiman. Imam Qurtubi mengatakan bahwa dengan baca­an ini berarti huruf ma adalah nafiyah.

Ulama lainnya berpendapat mewaqafkan pada firman-Nya, "Yu'allimunan nasas sihra," sedangkan huruf ma adalah nafiyah.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yunus, te­lah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami A1-Laig, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim ibnu Muhammad ketika ditanya mengenai takwil firman-Nya oleh seorang lelaki, yaitu:

Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang ditu­runkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)

Bahwa keduanya adalah dua orang lelaki, mereka mengajarkan kepa­da manusia apa yang diturunkan kepada keduanya. Menurut yang lainnya, keduanya mengajarkan kepada manusia apa yang tidak ditu­runkan kepada keduanya. Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, "Aku tidak pedulikan lagi mana yang dimaksud di antara keduanya."

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Yunus, dari Anas ibnu IyacI, dari sebagian teman-temannya, bahwa Al-Qasim ibnu Mu­hammad sehubungan dengan kisah ini mengatakan, "Aku tidak mem­pedulikan mana yang dimaksud di antaranya, pada prinsipnya aku te­tap beriman kepadanya."

Kebanyakan ulama Salaf berpendapat bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat dari langit, dan bahwa keduanya diturunkan ke bumi, kemudian terjadilah apa yang dialami oleh keduanya. Kisah ke­duanya itu disebutkan di dalam hadis marfu' yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, seperti yang akan kami ke­mukakan nanti, insya Allah.

Berdasarkan pengertian ini, berarti dari penggabungan antara pendapat ini dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa para malaikat itu terpelihara dari kesalahan dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang dialami oleh kedua malaikat ini sejak zaman azali telah diketahui oleh ilmu Allah. Dengan demikian, berarti peristiwa ini merupakan kekhu­susan bagi keduanya; maka tidak ada pertentangan pada kedua dalil­nya, seperti juga yang telah diketahui oleh ilmu Allah mengenai per­kara iblis dalam keterangan terdahulu. Tidak bertentangan pula de­ngan pendapat yang mengatakan bahwa pada awalnya iblis merupa­kan segolongan dari malaikat, sebagaimana yang disebutkan oleh fir­man-Nya:

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, "Sujudlah kalian kepada Adam!" Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan. (Al-Baqarah: 34)

dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan makna tersebut. Tetapi perlu diingat bahwa apa yang dilakukan oleh Harut dan Marut —bila ditin­jau dari kisah keduanya— jauh lebih ringan daripada apa yang di­alami oleh iblis yang dilaknat Allah. Hal ini diriwayatkan oleh Al­Qurtubi, dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ka'b Al­Ahbar, As-Saddi, dan Al-Kalbi.

Hadis yang menceritakan Harut dan Marut

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan di dalam kitab Musnad-nya, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah mencerita­kan kepada kami Zuhair ibnu Muhammad, dari Musa ibnu Jubair, da­ri Nafi', dari Abdullah ibnu Umar r.a., bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda:

Sesungguhnya Adam a.s. ketika diturunkan oleh Allah ke bumi, para malaikat berkata, "Wahai Tuhan, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat ke­rusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senan­tiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Eng­kau?" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." Mereka bermaksud, "Wahai Tuhan kami, kami lebih taat kepada-Mu daripada Bani Adam." Allah berfirman kepada para malaikat, "Datangkanlah dua malaikat oleh kalian untuk Kami turunkan ke bumi, lalu Kami lihat apa yang akan dikerjakan oleh keduanya." Mereka berkata, "Wahai Tuhan kami, Harut dan Marut." Kemudian keduanya diturunkan ke bumi, dan diciptakan bagi keduanya Zahrah, yaitu seorang wanita yang paling cantik di masanya. Lalu Zahrah datang kepa­da keduanya, maka keduanya meminta agar Zahrah menyerah­kan diri kepadanya. Zahrah menjawab, "Tidak, demi Allah, se­belum kamu berdua mengucapkan kalimat-kalimat ini (yang me­ngandung makna kemusyrikan)." Kedua malaikat itu menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak mau menyekutukan Allah dengan sesuatu pun untuk selama-lamanya." Zahrah pergi dari kedua­nya, ,lalu kembali lagi dengan membawa seorang bayi laki-laki yang digendongnya. Kedua malaikat itu meminta Zahrah agar menyerahkan diri kepada keduanya, maka Zahrah menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua membunuh bayi kecil ini." Keduanya menjawab, "Tidak, demi Allah, kami tidak akan membunuhnya selama-lamanya." Zahrah pergi meninggalkan ke­duanya, lalu kembali lagi dengan membawa sebuah wadah yang berisikan khamr. Ketika keduanya meminta agar ia menyerahkan diri kepada keduanya, maka ia menjawab, "Tidak, demi Allah, sebelum kamu berdua meminum khamr ini." Keduanya meminum khamr itu hingga mabuk, dan akhirnya keduanya menggauli Zah­rah, lalu membunuh anak kecil itu." Ketika keduanya sadar, si wanita itu (yakni Zahrah) berkata kepada keduanya, "Demi Allah, tiada sesuatu pun" yang pada mulanya kamu berdua me­nolak kepadaku tidak mau melakukannya, melainkan sekarang ,kamu telah melakukannya di saat kamu berdua mabuk." Akhir­nya kedua malaikat itu disuruh memilih antara azab di dunia dan azab di akhirat, maka keduanya memilih azab di dunia.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Hatim ibnu Hibban di da­lam kitab sahihnya melalui Al-Hasan, dari Sufyan, dari Abu Bakar ib­nu Abu Syaibah, dari Yahya ibnu Bukair. Hadis ini berpredikat garib ditinjau dari sanad ini; semua perawinya berpredikat sigah, semuanya dari kalangan para perawi kitab Sahihain, kecuali Musa ibnu Jubair. Dia adalah seorang dari Ansar, dari kabilah As-Sulami; maula mereka adalah Al-Madini Al-Haiia.

Musa ibnu Jubair ini meriwayatkan hadisnya dari Ibnu Abbas, Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, Nafi', dan Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik. Orang-orang yang telah mengambil hadis darinya ialah anak lelakinya sendiri (yaitu Abdus Salam), Bakr ibnu Mudar, Zuhair ibnu Muhammad, Sa'id ibnu Salamah, Abdullah ibnu Luhai'ah, Amr ibnul HarB, dan Yahya ibnu Ayyub. Orang-orang yang meriwayatkan hadisnya ialah Abu Daud dan Ibnu Majah. Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Al-Jarhu wat Ta' dil menyebutkannya, tetapi dia tidak sedikit pun menceritakan perihal pribadinya, baik yang menyangkut hadis ini atau pun yang lainnya. Pada kesimpulannya dia adalah perawi yang keadaannya tidak diketahui. Sesungguhnya dia menyendiri dengan ha­dis ini, dari Nafi' maula Ibnu Umar r.a., dari Nabi Saw. Tetapi menu-rut Ibnu Murdawaih, ada seorang mutabi' yang meriwayatkan hadis ini melalui Nafi' dari jalur lain, yaitu: Telah menceritakan kepada ka­mi Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ali ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Raja', telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Sarjis, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda mengatakan hadis ini. Lalu ia menyebut hadis ini secara panjang lebar.

Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah mencerita­kan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada Al-Husain (yakni Sunaid ibnu Daud, penulis kitab tafsir), telah menceritakan ke­pada kami Al-Faraj ibnu Fudalah, dari Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Nafi' menceritakan bahwa ia pernah bepergian bersama Ibnu Umar. Ketika malam hari sampai pada penghujung waktunya, Ibnu Umar berkata, "Hai Nafi', lihatlah apakah bintang merah telah ter-bit?" Aku menjawab, "Belum," sebanyak dua atau tiga kali. Kemu­dian aku katakan, "Ia telah terbit." Ibnu Umar menjawab, "Tiada se­lamat terbit dan tiada selamat datang baginya." Aku berkata, "Subha­nallah (Mahasuci Allah), bintang itu diciptakan dalam keadaan tun­duk dan taat (kepada perintah Allah)." Ia menjawab bahwa tidak se­kali-kali ia mengatakan demikian melainkan setelah ia mendengar Ra­sulullah Saw. bersabda kepadanya menceritakan kisah berikut, yaitu:

Sesungguhnya para malaikat pernah berkata, "Wahai Tuhan, ba­gaimanakah Engkau sabar terhadap Bani Adam yang gemar me­lakukan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa itu?" Allah berfir­man, "Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan kepada mereka, se­dangkan kalian Kubebaskan dari cobaan." Mereka berkata, "Se­andainya kami menggantikan mereka, niscaya kami tidak akan durhaka kepada-Mu." Allah Swt. berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat dari kalangan kalian!" Maka mereka mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan pilihan, akhirnya me­reka memilih Harut dan Marut.

Riwayat ini pun sangat garib, dan yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal ini ialah yang bersumber dari riwayat Abdullah ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar, bukan dari Nabi Saw. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Razzaq di dalam kitab tafsirnya, dari M-Sauri, dari Musa ibnu Uqbah, dari Salim, dari Ibnu Umar, dari Ka'b Al-Ahbar yang menceritakan riwayat berikut:

Para malaikat membicarakan tentang amal perbuatan anak-anak Adam dan dosa-dosa yang dilakukan mereka. Maka dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah dua malaikat dari kalangan ka­lian!" Lalu mereka memilih Harut dan Marut, dan Allah Swt. berfirman kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku akan mengirim­kan para rasul kepada Bani Adam, tetapi antara Aku dan kamu berdua tidak ada rasul. Turunlah kamu berdua (ke bumi); ja­nganlah kamu sekutukan Aku dengan sesuatu pun, jangan berzi­na, dan jangan minum khamr." Ka'b melanjutkan kisahnya, "De­mi Allah, tidak sekali-kali keduanya mengalami sore hari pada hari mereka diturunkan ke bumi, melainkan keduanya telah ram­pung mengerjakan semua hal yang keduanya dilarang melaku­kannya."

Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui dua jalur periwayatan dari Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ahmad ibnu Isham, dari Muammal, dari Suf­yan M-Sauri dengan lafaz yang sama.

Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepadaku Al­Muianna, telah menceritakan kepada kami (yaitu Ibnu Asad), telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnul Mukhtar, dari Musa ibnu Uqbah, telah menceritakan kepadaku Salim, bahwa ia pemah mendengar Abdullah menceritakan riwayat berikut dari Ka'b ibnul Ahbar, lalu ia mengetengahkannya.

Riwayat terakhir ini lebih sahih dan lebih kuat sanadnya (sanda­rannya) sampai kepada Abdullah ibnu Umar daripada kedua sanad se­belumnya. Salim lebih kuat predikatnya bila dinisbatkan kepada ayah­nya sendiri ketimbang kepada maulanya, Nafi'. Hadis ini merujuk dan berpangkal kepada nukilan Ka'b Al-Ahbar yang ia ambil dari kitab-kitab Bani Israil.

Atsar yang menceritakan Harut, Marut dan Zahrah

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Muganna, te­lah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Khalid Al-Haiia, dari Umair ibnu Sa'id yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Ali r.a. menceritakan aar berikut:

Zahrah adalah seorang wanita cantik dari kalangan pcncluduk ne­geri Persia. Sesungguhnya ia pcmah mengadukan suatu perkara kepa­da dua malaikat, yaitu Harut clan Marut. Akan tetapi, Harut dan Ma-rut mcrayunya agar mau mcnyerahkan diri kepada keduanya. Ia me­nolak ajakan tersebut, kecuali bila keduanya mengajarkan kepadanya suatu mantera yang bila dibacakan olch seseorang, maka ia dapat ter-bang naik ke langit. Lalu keduanya mengajarkan mantera itu kepada­nya, clan ia segera mcrapalkannya. Maka naiklah ia ke langit, tctapi setelah itu ia dikutuk (oleh Allah Swt.) menjadi sebuah bintang (yaitu bintang Zahrah atau Venus).

Sanad riwayat ini semua perawinya berpredikat sigah, tetapi di­nilai sangat garib (aneh).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al Fadl ibnu Syaian, tclah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Abu Khalid, dari Umair ibnu Sa'id, dari Ali r.a. yang mcngatakan bahwa keduanya adalah malaikat dari langit. Yang dimaksud ialah takwil yang terkandung di dalam firman-Ny a:

dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat. (Al-baqarah: 102)

Mar ini diriwayatkan pula oleh Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya berikut sanadnya melalui dari maula­nya (yaitu Ja'far ibnu Muhammad), dari ayahnya, dari kakeknya, dari Ali secara marfu' . Hal ini pun tidak dapat menguatkan sanad hanya dari segi ini.

Kemudian Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula melalui dua jalur yang lain, dari Jabir, dari Abut Tufail, dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Semoga Allah melaknat Zahrah, karena sesungguhnya dialah yang memfitnah dua malaikat, yaitu Harut dan Marut.

Hadis ini pun tidak sahih, bahkan berpredikat munkar sekali.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-MuSanna ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Ugman An-Nandi, dari Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, bahwa ke­duanya pemah menceritakan agar berikut:

Ketika Bani Adam bertambah banyak jumlahnya dan mereka se-ring melakukan maksiat, maka para malaikat, bumi, dan gunung-gu­nung mendoakan kebinasaan bagi mereka, "Wahai Tuhan kami, ja­nganlah Engkau tangguhkan mereka." Maka Allah Swt. berfirman ke­pada para malaikat, "Sesungguhnya telah Aku lenyapkan dari hati ka­lian nafsu berahi dan setan, sedangkan di dalam hati mereka Aku ja­dikan nafsu berahi dan setan. Seandainya kalian menduduki tempat mereka, niscaya kalian pun akan melakukan hal yang sama." Maka dalam hati para malaikat terdetik kata-kata yang mengatakan, "Sean­dainya mereka dicoba, niscaya mereka akan berteguh hati." Maka Allah berfirman kepada mereka, "Pilihlah dua malaikat dari kalangan malaikat yang paling utama dari kalian." Lalu mereka memilih Harut dan Marut, kemudian keduanya diturunkan ke bumi.

Lalu Zahrah diturunkan dalam rupa seorang wanita cantik dari kalangan penduduk negeri Persia yang dikenal oleh mereka dengan sebutan Baitakhat. Akhimya kedua malaikat itu terjerumus ke dalam perbuatan yang berdosa. Pada mulanya malaikat selalu memohonkan ampunan buat orang-orang yang beriman saja (seraya mengucapkan):

Wahai Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu..., hingga akhir ayat, (Al-Mu-min: 7).

Akan tetapi, setelah kedua malaikat tersebut terjerumus ke dalam per­buatan dosa, maka mereka memohonkan ampun buat semua orang yang berada di muka bumi (seraya mengucapkan):

Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Peng­ampun lagi Maha Penyayang. (Asy-Syura: 5)

Lalu keduanya disuruh memilih antara azab di dunia dan azab di akhirat, maka keduanya memilih azab di dunia.

Ibnu Abu Hatim menceritakan, telah menceritakan kepada kami

ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far Ar­Ruqi, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Amr), dari Zaid ibnu Abu Anisah, dari Al-Minhal ibnu Amr dan Yunus ibnu Khabbab, dari Mujahid yang menceritakan a§ar berikut:

Aku turun istirahat di rumah Abdullah ibnu Amr dalam suatu perjalananku. Ketika datang suatu malam, is berkata kepada pelayan­nya, "Lihatlah apakah bintang Hamra terbit? Tiada selamat datang dan tiada selamat terbit buatnya, dan semoga Allah tidak menghidup­kannya lagi; dia adalah teman wanita dari dua malaikat."

Ibnu Umar melanjutkan kisahnya bahwa pada mulanya para ma­laikat berkata, "Wahai Tuhan kami, mengapa Engkau biarkan saja orang-orang durhaka dari kalangan Bani Adam itu? Mereka gemar mengalirkan darah secara haram, mengerjakan hal-hal yang diharam­kan oleh-Mu, dan membuat kerusakan di muka bumi." Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku menimpakan cobaan terhadap mere­ka. Barangkali jika Aku timpakan kepada kalian cobaan yang sama seperti cobaan yang Kutimpakan kepada mereka, maka kalian pun akan mengerjakan seperti apa yang dilakukan mereka itu." Mereka menjawab, "Tidak mungkin."

Allah Swt. berfirman, "Pilihlah oleh kalian dua malaikat yang terkemuka dari kalian." Maka mereka memilih Harut dan Marut. Allah Swt. berfirman kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku akan menurunkan kamu berdua ke bumi dan mengadakan perjanjian de­ngan kamu, bahwa kamu tidak boleh musyrik, tidak boleh berzina, dan tidak boleh khianat." Kedua malaikat itu diturunkan ke bumi dan Allah memberinya nafsu syahwat, lalu Allah pun menurunkan Zahrah bersama keduanya dalam rupa seorang wanita yang paling cantik.

Zahrah menampilkan diri kepada keduanya, maka keduanya me­rayu Zahrah agar menyerahkan diri kepada keduanya. Tetapi Zahrah berkata, "Sesungguhnya aku adalah.pemeluk suatu agama yang mela­rang seseorang mendatangiku kecuali jika orang itu seagama dengan­ku," Keduanya bertanya, "Apakah agamamu?" Zahrah menjawab, "Majusi." Keduanya berkata, "Agama musyrik. Ini adalah agama yang sama sekali tidak kami akui." Maka Zahrah pergi meninggalkan keduanya selama masa yang dikehendaki oleh Allah Swt.

Kemudian Zahrah menampakkan diri lagi kepada keduanya, lalu keduanya merayunya agar menyerahkan diri kepada keduanya, tetapi Zahrah menjawab, "Aku mau menuruti kehendakmu berdua, hanya saja aku mempunyai suami dan aku tidak suka bila suamiku nanti me­ngetahui perbuatanku yang akibatnya rahasiaku akan terbongkar. Akan tetapi, jika kamu berdua berjanji kepadaku mau masuk agama­ku dan mengajarkan kepadaku cara naik ke langit, niscaya aku akan memenuhi kemauanmu."

Keduanya memasuki agama wanita itu dan mendatanginya seper­ti apa yang dikehendaki oleh keduanya. Setelah itu keduanya memba­wa Zahrah naik ke langit. Tetapi setelah mereka sampai di langit, wa­nita itu diculik dari tangan keduanya, dan sayap keduanya dipotong hingga akhirnya keduanya terjatuh ke bumi dalam keadaan takut, me­nyesal, dan menangisi perbuatannya.

Pada masa itu di bumi terdapat seorang nabi yang selalu meman­jatkan doa di antara dua Jumat; apabila datang hariJumat berikutnya, maka doanya diperkenankan. Keduanya berkata "Sebaiknya kita da­tang kepada si Fulan (nabi tersebut), lalu kita meminta kepadanya agar sudi memohonkan tobat buat kita." Keduanya datang kepada na­bi itu, lalu si nabi berkata, "Semoga Allah mengasihani kamu berdua, mana mungkin penduduk bumi memohonkan tobat buat penduduk la­ngit?" Keduanya berkata, "Sesungguhnya kaini telah tertimpa coba­an." Nabi berkata, "Kalau demikian, datanglah kamu berdua pada hari Jumat." Pada hari Jumat keduanya datang kepada nabi itu, dan nabi berkata, "Aku masih belum dikabulkan barang sedikit pun buat kamu berdua. Sebaiknya kamu datang lagi kepadaku pada hari Jumat ber­ikutnya." Maka keduanya datang kepadanya pada Jumat berikutnya.

Nabi itu berkata, "Kamu berdua hams memilih, karena sesung­guhnya kamu disuruh memilih salah satu di antara dua altematif. Ka-mu boleh memilih selamat di dunia dan azab di akhirat. Atau jika ka­mu suka, boleh memilih azab di dunia, sedangkan di akhirat urusan kamu berdua berada di tangan kekuasaan Allah."

Salah satu dari keduanya berkata, "Sesungguhnya masa yang di­lalui oleh dunia bam sebentar." Yang lain mengatakan, "Celakalah kamu, sesungguhnya aku pada mulanya mau menuruti kemauanmu, sekarang kamu hams mau menuruti kemauanku. Sesungguhnya azab yang fana (azab di dunia) tidaklah seperti azab yang kekal (azab di akhirat)." Malaikat pertam4 berkata, "Sesungguhnya kita di hari kia­mat nanti berada dalam tangan kekuasaan Allah, maka aku merasa ta­kut bila Dia mengazab kita n,antinya." Malaikat yang kedua menja­wab, "Tidak, sesungguhnya aku berharap Allah pasti mengetahui bah­wa kita telah memilih azab di dunia karena takut azab akhirat, semo­ga saja Dia tidak menggabungkan keduanya pada kita."

Keduanya sepakat memilih azab di dunia, maka keduanya di­jungkirkan dalam keadaan terikat oleh rantai besi ke dalam sebuah lu­bang yang bagian atas dan bagian bawahnya dipenuhi dengan api.

Sanad riwayat ini berpredikat jayyid (baik) sampai kepada Ab­dullah ibnu Umar. Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan pre­dikat marfu' pada riwayat Ibnu Jarir melalui hadis Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Nafi'. Akan tetapi, sanad riwayat ini lebih kuat dan lebih sahih. Kemudian perlu diketahui bahwa riwayat Ibnu Umar bersum­ber dari Ka'b, seperti yang diterangkan dahulu pada riwayat Salim, dari ayahnya.

Bagian hadis yang mengatakan bahwa sesungguhnya Zahrah di­turunkan dalam rupa seorang wanita yang cantik —demikianlah me­nurut riwayat dari Ali— di dalamnya terkandung hal yang sangat aneh.

Asar paling dekat kepada kebenaran sehubungan dengan masalah ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, telah mence­ritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, telah men­ceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu Abbad, dari Ibnu Abbas r.a. yang menceritakan kisah berikut:

Ketika manusia sesudah masa Nabi Adam a.s. terjerumus ke da­lam perbuatan-perbuatan maksiat dan kufur kepada Allah, maka para malaikat yang ada di langit berkata, "Wahai Tuhan, makhluk yang te­lah Engkau ciptakan hanya untuk beribadah dan taat kepada-Mu kini telah terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang membinasakan. Mereka mengerjakan kekufuran, membunuh jiwa, memakan harta ha-ram, zina, mencuri, dan minum khamr." Lalu para malaikat mengutuk perbuatan mereka dan tidak memaafkan mereka. Ketika dikatakan ke­pada para malaikat bahwa mereka dalam keadaan tidal( sadar, maka para malaikat tetap pada sikapnya.

Dikatakan kepada mereka (para malaikat), "Pilihlah oleh kalian dua malaikat yang paling utama di antara kalian, Aku akan membe­bankan perintah dan larangan kepadanya." Lalu mereka memilih Ha-rut dan Marut, keduanya diturunkan ke bumi, dan dibekalkan kepada keduanya berbagai macam hawa nafsu seperti Bani Adam (manusia). Allah memerintahkan kepada keduanya agar menyembah-Nya dan ja­ngan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Allah melarangnya membunuh jiwa yang diharamkan dan memakan harta yang haram, serta melarangnya berzina, mencuri, dan minum khamr.

Keduanya tinggal di bumi seraya memutuskan hukum di antara manusia secara hak selama beberapa waktu. Hal ini terjadi di masa Nabi Idris a.s.

Di zaman itu terdapat seorang wanita yang kecantikannya di an­tara wanita-wanita lainnya sama dengan kecantikan bintang Zahrah (Venus) di antara bintang-bintang lainnya. Kedua malaikat itu sering datang kepadanya, dan akhimya keduanya menuruti apa yang dikata­kan oleh wanita itu. Keduanya menginginkan diri wanita itu, tetapi si wanita menolak kecuali jika keduanya menuruti apa yang dikatakan­nya dan memasuki agamanya. Keduanya bertanya kepada si wanita tentang agama yang dipeluknya, lalu si wanita mengeluarkan sebuah berhala untuk keduanya dan berkata, "Sembahlah ini!" Kedua ma­laikat menjawab, "Kami tidak perlu menyembah berhala ini." Lalu keduanya pergi dan tidak datang lagi selama masa yang dikehendaki oleh Allah.

Keduanya datang lagi kepada wanita itu dan menginginkan diri wanita tersebut, sedangkan si wanita melakukan hal yang sama, lalu keduanya pergi meninggalkannya. Akan tetapi, setelah itu keduanya datang lagi dan menginginkan diri si wanita itu.

Ketika si wanita melihat bahwa keduanya tetap menolak —tidak mau menyembah berhala— maka berkatalah ia, "Pilihlah olehmu sa­lah sate di antara ketiga perkara ini, yaitu apakah kamu berdua me­nyembah berhala ini, atau kamu berdua membunuh jiwa ini, atau ka­mu berdua meminum khamr ini." Keduanya mengatakan, "Semuanya tidak pantas dilakukan, tetapi yang ringan dari kesemuanya ialah me­minum khamr." Maka keduanya meminum khamr itu hingga mabuk. Akhimya mereka berdua menggauli wanita itu; dan karena rasa takut perbuatan keduanya akan diceritakan kepada orang lain, maka kedua­nya membunuh orang tersebut.

Ketika rasa mabuk telah lenyap dari keduanya dan keduanya me­nyadari perbuatan dosa yang telah dilakukannya, maka keduanya ber­maksud naik ke langit; tetapi tidak bisa, seakan-akan keduanya di­halangi hingga tidak dapat terbang. Tersingkaplah penutup antara ke­duanya dan semua malaikat penduduk langit. Maka para malaikat me­lihat apa yang telah dilakukan oleh keduanya hingga mereka semua merasa sangat heran. Akhimya mereka mengetahui bahwa orang yang dalam keadaan tidak sadar, rasa takutnya berkurang. Sejak itu para malaikat memohonkan ampun buat penduduk bumi.

Sehubungan dengan kisah tersebut diturunkanlah ayat berikut, yaitu firman-Nya:

Dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhan-Nya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. (Asy­ Syura: 5)

Lalu dikatakan kepada keduanya, "Pilihlah oleh kamu berdua azab dunia atau azab akhirat." Keduanya berkata, "Adapun azab dunia, se­sungguhnya ia ada masa akhirnya dan berhenti, sedangkan azab akhi­rat tidak ada putus-putusnya." Keduanya memilih azab di dunia, lalu keduanya diazab di negeri Babil.

Mar ini diriwayatkan pula secara panjang lebar oleh Imam Ha­kim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Abu Zakaria Al-Anbari, dari Muhammad ibnu Abdus Salam, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Hakkam ibnu Salam Ar-Razi (dia seorang yang giqah), dari Abu Ja'far Ar-Razi dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Hakim me­ngatakan bahwa agar ini sahih sanadnya, hanya keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya. Mar ini me­rupakan riwayat yang lebih dekat kepada kebenaran dalam masalah Zahrah ini.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnul Fadl Al-Haiia'i, telah menceritakan ke­pada kami Yazid (yakni Al-Farisi), dari Ibnu Abbas yang mencerita­kan agar berikut

Bahwa penduduk langit &Mita memandang kepada penduduk bu­mi, maka penduduk langit (para malaikat) melihat mereka sering me­ngerjakan kemalcsiatan-kemaksiatan. Lalu para malaikat berkata, "Wahai Tuhan kami, penduduk bumi gemar mengerjakan perbuatan­perbuatan maksiat." Allah Swt. berfirman, "Kalian selalu bersama­Ku, sedangkan mereka dalam keadaan tidak dapat melihat Aku." Lalu dikatakan kepada para malaikat, "Pilihlah dari kalian tiga malaikat," maka mereka memilih tiga malaikat dari kalangan mereka untuk tu­run ke bumi dengan syarat hendaknya mereka memutuskan perkara­perkara di antara manusia penduduk bumi. Allah menjadikan dalam diri mereka syahwat seperti yang ada pada manusia. Mereka diperin­tahkan agar jangan minumkhamr, jangan membunuh jiwa, jangan berzina, dan jangan sujud kepada berhala. Akan tetapi, salah satu dari ketiga malaikat itu mengundurkan difi, hingga akhirnya hanya tinggal dua malaikat raja yang diturunlcan ke bumi.

Keduanya kedatangan seorang wanita yang paling cantik di ma­sanya, namanya Manahiyah. Keduanya sama-sama jatuh cinta kepada wanita itu. Kemudian keduanya mendatangi rumah wanita tersebut, lalu berkumpul di dalam rumahnya, dan akhirnya keduanya meng­inginkan wanita itu. Maka wanita itu berkata kepada keduanya, "Aku tidak mau melayani kalian sebelum kalian minum khamrku, membu­nuh anak tetanggaku, dan sujud kepada berhalaku."

Keduanya berkata, "Kami tidak akan sujud." Kemudian kedua­nya minum khamr. Akhirnya keduanya melakukan pcmbunuhan dan sujud kepada berhala itu. Maka semua penduduk langit (para ma­laikat) melihat perbuatan keduanya itu.

Selanjutnya si wanita itu berkata kepada keduanya, "Ceritakanlah kepadaku mantera-mantera yang bila kalian baca, maka kalian dapat terbang." Keduanya menceritakan mantera-mantcra tersebut kepada­nya, akhirnya ia terbang. Setelah ia terbang, maka ia dikutuk menjadi bara api, yaitu menjadi bintang Zahrah (Venus). Sedangkan kepada kedua malaikat tersebut diutus Nabi Sulaiman ibnu Daud, lalu Nabi Sulaiman menceritakan kepadanya apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya; keduanya disuruh memilih antara siksa di dunia atau siksa di akhirat. Temyata keduanya memilih siksa di dunia, maka keduanya digantungkan di antara langit dan bumi.

Di dalam konteks riwayat ini terdapat banyak tambahan, keanch­an, dan hal-hal yang tidak masuk akal.

Abdur Razzaq mengatakan, Ma'mar pemah menceritakan bahwa Qatadah dan Az-Zuhri pernah menceritakan kisah berikut dari Ubai­dillah bin Abdullah sehubungan dengan tafsir firman-Nya:

Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut. (Al-Baqarah: 102)

Keduanya adalah dari kalangan para malaikat, mereka diturunkan ke bumi untuk memutuskan hukum di antara manusia. Demikian itu ka­rena pada mulanya para malaikat memperolok-olokkan para hakim dari kalangan Bani Adam. (Setelah keduanya menjadi hakim di antara manusia), maka datanglah seorang wanita kepada keduanya untuk meminta peradilan, tetapi keduanya berbuat zalim terhadapnya. Se­telah itu keduanya pergi naik ke langit, tetapi ternyata keduanya tidak dapat terbang lagi, seakan-akan ada penghalangnya. Kemudian kedua­nya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Maka keduanya memilih azab di dunia.

Ma'mar mengatakan bahwa Qatadah berkata, "Kedua malaikat tersebut mengajarkan ilmu sihir kepada manusia, maka disyaratkan bagi keduanya tidak boleh mengajarkan ilmu sihir kepada seseorang sebelum keduanya mengatakan kepada orang tersebut, 'Sesungguhnya kami hanyalah cobaan, maka janganlah karnu berbuat kekufuran'."

Asbat meriwayatkan dari As-Saddi yang mengatakan bahwa pada awalnya perkara yang dialami oleh Harut dan Marut adalah, keduanya mencela penduduk bumi karena keputusan-keputusan hukum yang mereka laksanakan. Dikatakan kepada keduanya, "Sesungguhnya Aku memberikan sepuluh macam syahwat kepada Bani Adam. Karena syahwat itulah mereka berbuat durhaka kepada-Ku." Harut dan Marut berkata, "Wahai Tuhan kami, seandainya Engkau memberikan kepada kami nafsu-nafsu syahwat tersebut, lalu kami turun ke bumi, niscaya kami akan menghukumi mereka dengan cara yang adil." Maka Allah berfirman kepada keduanya, "Sekarang turunlah kamu berdua ke bu­mi, sesungguhnya Aku telah memberimu kesepuluh nafsu syahwat tersebut, dan putuskanlah hukum di antara manusia!"

Keduanya turun di negeri Babil, yaitu di Dainawan. Lalu kedua­nya menjalankan hukum peradilan, dan apabila sore hari keduanya kembali naik ke langit. Apabila pagi hari, keduanya turun untuk me­laksanakan tugasnya. Keduanya terus dalam keadaan demikian sela­ma beberapa masa, hingga datanglah kepada keduanya seorang wani­ta yang mengadukan masalah suaminya. Keduanya tertarik oleh ke­cantikan wanita itu, nama wanita tersebut menurut bahasa Arab ada­lah Zahrah, menurut bahasa Nabat Baidakhat, sedangkan menurut ba­hasa Persia disebut Anahid.

Salah seorang dari kedua malaikat berkata kepada yang lainnya, "Sesungguhnya wanita ini benar-benar memikat hatiku." Malaikat yang lain berkata, "Sesungguhnya aku pun bermaksud mengatakan hal yang sama kepadamu, tetapi aku merasa malu." Maka malaikat pertama berkata, "Bagaimanakah pendapatmu jika aku kemukakan kepadanya kemauan kita terhadap dirinya?" Malaikat yang kedua menjawab, "Setuju." Malaikat pertama bertanya, "Akan tetapi, bagai­mana dengan azab Allah?" Malaikat yang kedua menjawab, "Sesung­guhnya kita berharap akan rahmat (ampunan) Allah."

Ketika wanita itu datang kepada keduanya mengadukan perkara suaminya, maka dikemukakan kepada si wanita tersebut maksud dan keinginan keduanya terhadap diri si wanita itu. Tetapi wanita itu menjawab, "Tidak, sebelum kamu berdua memutuskan perkara suamiku untuk kemenangan diriku." Lalu keduanya memutuskan perkara un­tuk kemenangan si wanita atas suaminya, kemudian wanita itu men­janjikan kepada kedua malaikat tersebut bahwa dirinya akan datang menemui keduanya di suatu tempat yang sepi di antara tempat-tempat yang tak berpenghuni.

Lalu keduanya datang ke tempat tersebut memenuhi janji wanita itu. Tetapi ketika keduanya hendak melampiaskan keinginannya, si wanita berkata, "Aku tidak akan memenuhi keinginanmu sebelum ka­mu berdua menceritakan kepadaku mantera yang menyebabkan kamu berdua dapat terbang naik ke langit, juga mantera yang menyebabkan kamu dapat turun darinya." Lalu keduanya menceritakan mantera ter­sebut kepada si wanita. Wanita itu membacanya, lalu ia dapat terbang ke langit. Akan tetapi, Allah membuatnya lupa kepada mantera yang menyebabkan dia dapat turun. Maka ia tetap berada di tempatnya, dan Allah mengutuknya menjadi bintang.

Tersebutlah bahwa apabila Abdullah ibnu Umar melihat bintang tersebut, dia melaknatnya dan mengatakan, "Bintang inilah yang telah memfitnah Harut dan Marut."

Sedangkan yang dialami oleh kedua malaikat tersebut adalah: Ketika sore hari keduanya hendak naik ke langit, tetapi ternyata ke­duanya tidak mampu melakukannya, hingga keduanya merasakan bahwa dirinya pasti binasa. Maka keduanya disuruh memilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Keduanya memilih azab di dunia, lalu keduanya digantung di negeri Babil; dan sejak itu keduanya men­ceritakan kepada orang-orang tentang perkataan yang telah diucapkan oleh si wanita tersebut, yakni ilmu sihir.

Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, bahwa perihal yang dialami oleh Harut dan Marut pada mulanya ialah karena para malaikat merasa heran dengan perbuatan zalim yang dilakukan oleh Bani Adam, padahal rasul-rasul dan kitab-kitab serta keterangan-kete­rangan (mukjizat-mukjizat) telah didatangkan kepada mereka. Maka Allah berfirman kepada mereka, "Pilihlah dari kalian dua malaikat, Aku akan menurunkan keduanya guna memutuskan peradilan di mu­ka bumi." Lalu mereka mengadakan pilihan di antara sesama mereka, ternyata Harut dan Marut tidak menolak.

Ketika menurunkan keduanya ke bumi, Allah berfirman kepada keduanya, `Kilian berdua merasa heran terhadap Bani Adam atas ke­zaliman dan kedurhakaan mereka, padahal mereka telah didatangi olch para rasul dan kitab-kitab dari suatu masa ke masa yang lain. Se­sungguhnya kini antara Aku dan kamu berdua tidak ada seorang rasul pun. Maka lakukanlah demikian dan demikian, dan serukanlah demi­kian dan demikian." Allah memberikan kepadanya beberapa perintah dan beberapa larangan, dan keduanya turun dengan membawa misi tersebut.

Tiada seorang pun yang lebih taat kepada Allah daripada kedua­nya, keduanya memutuskan hukum (di antara manusia) dengan kepu­tusan yang adil. Keduanya melakukan tugas peradilannya di siang ha­ri di antara Bani Adam; dan apabila petang hari,leduanya naik ke Ia­ngit dan bergabung bersama malaikat lainnya. Keduanya turun kern­bali ke bumi pada pagi harinya, lalu memutuskan peradilan dengan cara yang adil.

Hal tersebut berlangsung pada keduanya hingga diturunkan kepa­da keduanya Zahrah dalam rupa seorang wanita yang paling cantik. Ia datang mengadukan perkara suaminya, lalu keduanya memutuskan peradilan untuk kekalahan pihak si wanita tersebut. Ketika wanita itu bangkit hendak pergi, maka masing-masing dari kedua malaikat terse-but merasakan sesuatu pada dirinya terhadap diri si wanita itu. Maka salah seorang berkata kepada temannya, "Apakah engkau merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang?" Temannya menja­wab, "Ya." Maka keduanya mengirimkan utusan kepada si wanita un­tuk menyampaikan pesan keduanya, bahwa hendaknya si wanita ter­sebut datang lagi dan keduanya akan memutuskan peradilan untuk ke­menangannya.

Ketika wanita itu kembali kepada keduanya, mereka mengutara­kan hasratnya kepada wanita itu dan memutuskan peradilan untuk ke­menangan si wanita. Maka keduanya mendatanginya dan membuka aurat keduanya. Sesungguhnya aurat keduanya ada pada napas kedua­nya, dan syahwat keduanya serta kelezatannya terhadap wanita tidak sama dengan yang ada pada Bani Adam. Setelah keduanya sampai pada tahap tersebut dan menghalalkan perbuatan yang haram serta terjerat ke dalam fitnah wanita tersebut, maka wanita itu —yakni Zahrah— terbang dan kembali ke tempatnya semula.

Pada sore harinya ketika keduanya hendak naik, tiba-tiba kedua­nya dilarang untuk naik, dan kedua sayapnya tidak mau lagi memba­wanya terbang. Lalu keduanya meminta tolong kepada seorang lelaki dari kalangan Bani Adam. Keduanya datang kepadanya dan mengata­kan, "Berdoalah kepada Tuhanmu buat kami." Si lelaki (nabi) menja­wab, "Mana mungkin penduduk bumi memohon syafaat buat pendu­duk langit?" Keduanya berkata, "Kami pernah mendengar beritamu yang disebutkan oleh Tuhanmu dengan sebutan yang baik di langit."

Kemudian si lelaki itu menjanjikan kepadanya suatu janji di sua­tu hari yang pada hari itu dia mendoakan buat keduanya. Si lelaki itu berdoa untuk keduanya dan diperkenankan baginya, maka keduanya disuruh mcmilih antara azab di dunia atau azab di akhirat. Masing­-masing memandang kepada temannya dan berkata, "Tahukah kamu bahwa gelombang-gelombang azab Allah di akhirat demikian dan de­mikian dalam keadaan kekal dan abadi, sedangkan azab di dunia yang seperti itu hanya sembilan-kali." Keduanya diperintahkan agar tinggal di Babil, lalu di tempat itulah keduanya diazab. Diduga bahwa kedua­nya digantung dengan rantai besi dalam kcadaan terbalik, sedangkan kedua sayapnya digerak-gerakkannya.

Schubungan dengan kisah Harut dan Marut ini sejumlah tabi'in telah mengetengahkan riwnatnya, misalnya Mujahid, As-Saddi, Al­Hasan Qatadah, ,Abul Aliyah, Az-Zuhri, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Ulama ahli tafsir dari kalangan Mufassirin terdahulu dan yang kemudian mengetengahkan­nya pula, tetapi pada kesimpulannya semuanya itu merujuk kepada kisah-kisah dari Bani Israil dalam semua rinciannya, mengingat tiada suatu hadis yang marfu' lagi sahih mengenainya yang muilasil (ber­hubungan) kepada Nabi Saw. yang tidak pernah berbicara dari dirinya sendiri melainkan dari wahyu yang diturunkan kepadanya.

Sedangkan pengertian lahiriah dari konteks yang disajikan oleh Al-Qur'an adalah garis besar dari kisah tersebut tanpa rincian dan tanpa pembahasan panjang lebar. Maka kewajiban kita hanya beriman dengan semua yang disebut oleh Al-Qur'an menurut apa yang dike­hendaki oleh Allah Swt., karena hanya Dialah Yang Maha Mengeta­hui hal yang sebenarnya.

Akan tetapi, sehubungan dengan kisah ini terdapat sebuah agar yang garib dengan rangkaian kisah yang aneh, sengaja kami mengete­ngahkannya dalam pembahasan ini untuk dijadikan sebagai peringat­an. Imam Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah menceritakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah mencerita­kan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abuz Zanad, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah r.a. (istri Nabi Saw.) yang menceritakan agar berikut:

Pernah ada seorang wanita dari Daumatul Jandal datang kepada­ku ingin bersua dengan Rasulullah Saw. Hal itu terjadi dalam waktu yang tidak begitu lama setelah Rasulullah Saw. wafat. Dia bermaksud bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang beberapa hal yang telah me­masuki dirinya, berupa ilmu sihir; tetapi dia tidak mengamalkannya. Maka Siti Aisyah berkata kepada Urwah, "Hai keponakanku." Kulihat wanita itu menangis ketika dia mengetahui bahwa Rasulullah Saw. te­lah wafat, yang mana keberadaan Rasulullah Saw. merupakan harap­an bagi kesembuhannya. Dia terus menangis hingga aku benar-benar merasa kasihan kepadanya. Wanita itu berkata, "Sesungguhnya aku merasa khawatir bila aku menjadi orang yang binasa. Pada mulanya aku mempunyai suami, lalu suamiku pergi meninggalkanku. Kemu­dian datanglah seorang nenek-nenek memasuki rumahku, maka aku mengadukan penderitaanku kepadanya. Nenek itu berkata, `Jika kamu mau melakukan apa yang kuperintahkan kepadamu, maka aku dapat membuat suamimu datang kepadamu.'

Ketika hari telah malam, nenek tersebut datang kepadaku mem­bawa dua ekor anjing hitam yang besar. Dia menaiki salah satunya, sedangkan aku menaiki yang lainnya. Herannya dalam waktu yang sebentar kami telah berada di negeri Babil, dan tiba-tiba kami bersua dengan dua orang lelaki yang kedua kakinya dalam keadaan tergan­tung ke atas. Lalu keduanya berkata, `Apakah gerangan yang mendo­rongmu datang kemari?' Aku menjawab, `Kami datang untuk belajar ilmu sihir.' Keduanya berkata, `Sesungguhnya kami hanya cobaan ba­gimu. Sebab itu, janganlah kamu kafir, maka kembalilah kamu.' Aku menolak dan berkata, `Tidak.' Keduanya berkata, `Kalau demikian, pergilah kamu ke tempat pemanggangan roti itu, lalu kencingilah.'

Aku berangkat (menuju ke tempat pemanggangan roti itu), tetapi aku merasa takut dan tidak jadi melakukannya, lalu aku kembali ke­pada keduanya. Keduanya berkata, `Apakah engkau telah melakukan­nya?' Aku menjawab (dengz.n pura-pura), `Ya.' Keduanya bertanya, `Apakah engkau melihat sesuatu?' Aku menjawab, `Aku tidak mcli­hat sesuatu pun.' Keduanya berkata, `Kamu masih belum melakukan­nya, sekarang kembalilah ke negerimu dan janganlah kamu kufur.'

Aku merasa ragu dan bimbang. Akhirnya aku menolak, tidak mau kembali. Maka keduanya berkata, Tergilah kamu ke pemang­gangan roti itu dan kencingilah.' Aku pergi ke pemanggangan roti itu, tetapi bulu kudukku berdiri dan aku merasa takut. Maka aku kembali lagi kepada keduanya, dan aku katakan bahwa aku telah melakukan­nya. Keduanya bertanya, `Apakah yang kamu lihat?' Aku menjawab, `Aku tidak melihat sesuatu pun.' Keduanya menjawab, `Kamu dusta, kamu masih belum melakukannya. Sekarang kembalilah ke negerimu dan janganlah kamu berbuat kufur, karena sesungguhnya kamu se­dang berada di puncak urusanmu.'

Aku merasa bimbang, dan akhirnya aku menolak, tidak mau kembali. Lalu keduanya berkata, Tergilah kamu ke pemanggangan roti itu dan kencingilah.' Maka aku pergi ke tempat pemanggangan roti tersebut, lalu aku kencing di situ. Aku melihat seekor kuda yang memakai tutup kepala dari besi keluar dari diriku, dan kuda itu ter-bang ke langit hingga tak tampak lagi olehku.

Kemudian aku datang kepada keduanya, dan kukatakan bahwa aku telah melakukan perintahnya. Maka keduanya bertanya, `Apakah yang kamu lihat?' Aku menjawab, `Aku melihat seekor kuda yang kepalanya ditutupi keluar dari diriku, lalu terbang ke langit hingga aku tidak melihatnya lagi.' Keduanya menjawab, `Kamu benar, kuda tersebut ibarat imanmu yang keluar dari dirimu. Sekarang pergilah kamu.'

Lalu aku berkata kepada nenek-nenek yang menemaniku itu, `Demi Allah, aku tidak mengetahui sesuatu pun dan keduanya tidak mengajarkan sesuatu pun kepadaku.' Nenek itu berkata, `Tidak. Bah­kan apa yang kamu inginkan niscaya akan terjadi. Sekarang ambillah bibit gandum ini, lalu semaikanlah!' Lalu aku menanam bibit gandum itu dan kukatakan, `Tumbuhlahr Maka tumbuhlah ia menjadi pohon

gandum yang sudah masak. Aku berkata lagi, Tanenlah kamu!' Ma­ka tanaman gandum itu panen dengan sendirinya. Kemudian kukata­kan, Tisahkanlah biji-bijianmu!' Maka biji-bijinya memisah dengan sendirinya. Kemudian kukatakan kepadanya, `Keringlah kamu!' Maka keringlah ia dengan sendirinya. Kukatakan kepadanya, Jadilah kamu tepung!' Maka ia menjadi tepung dengan sendirinya. Lalu kukatakan pula, rotilah kamu!' Maka ia menjadi roti. Ketika aku melihat bahwa tidak sekali-kali diriku menginginkan sesuatu melainkan pasti terjadi, maka aku merasa menycsal dan kecewa."

Wanita itu berkata, "Demi Allah, wahai Ummul Mu-minin, aku belum melakukan sesuatu pun dan aku tidak akan mengerjakannya sclama-lamanya."

Atsar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ar-Rabi' ibnu Salman dengan lafaz yang sama secara panjang lebar seperti •aSar yang baru diuraikan tadi. Tetapi di dalam riwayatnya kali ini sesudah ucapan wanita itu, "Aku tidak akan mengerjakannya untuk selama­lamanya," ditambahkan hal seperti bcrikut:

Maka aku (Siti Aisyah) bertanya kepada para sahabat Rasulullah Saw. yang saat itu mereka baru ditinggalkan oleh Rasulullah Saw., dan jumlah mereka cukup banyak. Tetapi ternyata mereka tidak me­ngetahui apa yang hams mereka katakan terhadap wanita tersebut, se­muanya'merasa takut dan khawatir menyampaikan fatwa kepadanya dengan fatwa yang belum diketahui mereka. Hanya saja Ibnu Abbas atau salah seorang sahabat yang ada di tempat tersebut mengatakan, "Seandainya kedua ibu bapakmu masih hidup atau salah seorang dari­nya masih hidup."

Hisyam mengatakan, "Seandainya wanita itu datang kepada ka­mi, niscaya kami akan memberikan fatwa kepadanya dengan jamin­an." Ibnu Abuz Zanad mengatakan bahwa Hisyam berkata, "Sesung­guhnya mereka (para sahabat) adalah orang-orang ahli wara' dan ta­kut kepada Allah." Kemudian Hisyam mengatakan, "Seandainya da­tang kepada kami wanita yang semisal dengannya hari ini, niscaya dia akan menjumpai kebodohanku yang mengategorikan diriku ke dalam orang-orang yang bodoh lagi memaksakan diri tanpa ilmu." Sanad agar ini berpredikat jayyid sampai kepada Siti Aisyah r.a.

Atsar ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa ilmu sihir itu mempunyai kemampuan untuk membalikkan benda-benda dari keadaan yang sebenarnya, karena wanita tersebut menyemaikan benih, lalu tanamannya menjadi masak dengan seketika. Sedangkan menurut yang lainnya, ilmu sihir tidak mempunyai kemampuan untuk itu selain hanya sekadar membalikkan kenyataan melalui imajinasi, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya:

Mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Al­ A'raf: 116)

Terbayang di mata Musa karena pengaruh sihir mereka seakan­akan tali-tali dan tongkat-tongkat itu merayap cepat. (Taha: 66)

Atsar ini menurut As-Saddi dan lain-lainnya merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Babil yang disebut di dalam Al-Qur'an adalah Babil yang ada di negeri Irak, bukan yang ada di Dainawan. Mar lain yang memperkuat pendapat bahwa yang dimaksud adalah Babil nege­ri Irak ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hatim. Disebut bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan ke­pada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Luhai'ah dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari, bahwa Ali r.a. pernah lewat di negeri Babil dalam suatu perjalanan­nya. Kemudian datang kepadanya juru azan yang akan menguman­dangkan azan salat Asar, tetapi Ali diam saja. Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan tadi untuk mengu­mandangkan azannya, lalu didirikanlah salat Asar. Setelah selesai dari salatnya, ia berkata:

Sesungguhnya kekasihku (Nabi Muhammad Saw.) telah me­larangku melakukan salat di kuburan dan melarangku pula mela­kukan salat di Babil, karena sesungguhnya kota Babil itu adalah kota yang terkutuk.

Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulai­man ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dan Yahya ibnu Azar, dari Ammar ibnu Sa'd Al-Muradi, dari Abu Saleh Al-Gifari, bahwa Khalifah Ali r.a. pernah melewati kota Babil dalam suatu perjalanannya. Maka datanglah kepadanya juru azan yang mem­beritahukan bahwa waktu asar telah masuk. Ketika ia telah keluar dari kota Babil, maka ia memerintahkan kepada juru azan untuk mengiqa­malikan salat. Setelah selesai dari salatnya ia mengatakan:

Sesungguhnya kekasihku (Rasulullah Saw.) telah melarangku me­lakukan salat di kuburan, dan beliau telah melarangku pula me­lakukan salat di Babil, karena sesungguhnya kota Babil itu ada­lah kota yang terkutuk.

Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah mence­ritakan kepadaku Yahya ibnu Apr dan Ibnu Luhai'ah, dari Hajjaj ib­nu Syaddad, dari Abu Saleh Al-Gifari, dari sahabat Ali. Hadis yang diketengahkannya kali ini semakna dengan hadis Sulaiman ibnu Daud. Disebutkan di dalamnya, "Tatkala ia keluar dari Babil, maka ia menampakkan dirinya (menyerukan kepada kaum)." Hadis ini ber­predikat hasan menurut Imam Abu Daud, karena ia meriwayatkannya dan tidak memberinya penilaian; berarti ia setuju.

Di dalam ahr ini terkandung hukum tiqih yang menyimpulkan bahwa makruh melakukan salat di negeri Babil, sebagaimana makruh pula melakukannya di negeri kaum karena ada larangan dari Rasulullah Saw. yang memerintahkan tidak boleh memasuki negeri kaum Samud kecuali bila mereka sambil menangis (ketika memasuki­nya).

Menurut ahli ilmu geografi, Babil adalah salah satu daerah ba­wahan negeri Irak. Jarak antara Babil sampai kepada laut yang ada di sebelah baratnya —yang dikenal dengan nama Auqiyanius— diper­kirakan tujuh puluh derajat garis lintangnya, sedangkan garis bujur­nya diperkirakan tiga puluh dua derajat.

Firman Allah Swt.:

sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada se­orang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya co­baan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102)

Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Qais ibnu Abbad, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa apabila ada seseorang yang datang kepada keduanya (Harut dan Marut) dengan maksud mau belajar ilmu sihir, maka keduanya melarangnya dengan larangan yang keras dan mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya ka­mi hanya cobaan bagimu. Karena itu, janganlah kamu kafir." Demi­kian itu karena keduanya mengetahui kebaikan, keburukan, kekufur­an, dan iman. Keduanya mengetahui bahwa ilmu sihir merupakan suatu kekufuran.

Apabila orang yang datang itu membandel, tidak mau mengikuti nasihat keduanya, maka keduanya memerintahkan kepadanya agar mendatangi tempat anu dan tempat anu. Apabila orang tersebut men­datangi tempat yang ditunjukkan oleh keduanya, maka ia akan bersua dengan setan, lalu setan akan mengajarinya ilmu sihir; apabila ia telah mempelajarinya, maka keluarlah nur (iman) dari dirinya, lalu ia memandang ke arah nur yang terang di langit itu dan mengatakan, "Aduhai, aku sangat menyesal. Celakalah diriku ini, apa yang harus kuperbuat."

Dari Al-Hasan Al-Basri, disebutkan bahwa is mengatakan dalam tafsir ayat ini, "Memang benar, kedua malaikat itu menurunkan ilmu sihir untuk mengajarkannya kepada orang-orang yang dikehendaki oleh Allah mendapat cobaan ini. Maka Allah mengambil janji dari ke­duanya, bahwa janganlah keduanya mengajarkannya kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan, 'Sesungguhnya kami adalah co­baan bagimu. Karena itu, janganlah kamu kafir'." Demikianlah me­nurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Qatadah mengatakan bahwa Allah Swt. telah mengambil janji da­ri keduanya, bahwa keduanya tidak boleti mengajarkan kepada se­orang pun sebelum keduanya mengatakan kepada orang tersebut, "Se­sungguhnya kami hanyalah cobaan," yakni sedang mengalami co­baan, "Karena itu, janganlah kamu kafir."

As-Saddi mengatakan, apabila ada seorang manusia datang kepa­da keduanya dengan maksud belajar ilmu sihir, terlebih dahulu kedua­nya menasihatinya dan mengatakan kepadanya, "Janganlah kamu ka­fir, sesungguhnya kami adalah cobaan bagimu." Apabila orang terse-but membandel, maka keduanya mengatakan kepadanya, "Datanglah kamu ke tempat abu anu, lalu kencinglah padanya." Apabila orang tersebut kencing padanya, maka keluarlah nur dari dirinya, lalu ter-bang ke langit hingga tak tampak lagi. Nur tersebut merupakan iman, dan datanglah sesuatu merupakan asap, lalu asap itu memasuki te­linganya dan semua lubang yang ada pada tubuhnya; hal tersebut me­rupakan murka Allah. Apabila orang tersebut menceritakan apa yang telah dialaminya kepada keduanya, barulah keduanya mengajarkan

il­mu sihir. Hal yang demikian itulah yang disebutkan di dalam firman­Nya:

sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Karena itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baqarah: 102), hingga akhir ayat.

Sunaid meriwayatkan dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, sehubungan de­ngan takwil ayat ini, "Tiada seorang pun yang berani mengerjakan si­hir melainkan hanya orang kafir." Arti fitnah ialah ujian dan cobaan, seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:

Dan sesungguhnya manusia itu mengalami cobaan dalam agama mereka, dan Ibnu Affan telah mengakibatkan keburukan yang panjang (akibatnya).

Demikian pula pengertian yang terkandung di dalam firman Allah Swt. ketika menceritakan kisah Nabi Musa a.s. Allah berfirman:

Itu hanyalah cobaan dari Engkau. (Al-A'raf: 155)

Maksudnya, ujian dan cobaan dari Engkau. Dalam firman selanjutnya disebutkan:

Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehen­daki, dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau ke­hendaki. (Al-A'raf: 155)

Sebagian ulama menyimpulkan dalil ayat ini (yakni Al-Bagarah: 102), bahwa kafirlah orang yang belajar ilmu sihir. Ia memperkuat dalilnya ini dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar, bahwa telah menceritakan kepada kami Mu­hammad ibnul Mu§anna, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Hammam, dari Ab­dullah yang mengatakan:

Barang siapa yang mendatangi tukang tenung (dukun) atau tu­kang sihir, lalu is percaya kepada apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Saw.

Sanad riwayat ini sahih dan mempunyai syawahid lain yang memper­kuatnya.

Firman Allah Swt.:

Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang de­ngan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seseorang (sua­mi) dengan istrinya. (Al-Baqarah: 102)

Yakni orang-orang belajar sejenis ilmu sihir dari Harut dan Marut, yang kegunaannya dapat menimbulkan berbagai macam perbuatan tercela; hingga sesungguhnya ilmu sihir ini benar-benar dapat memi­sahkan sepasang suami istri, sekalipun pada awalnya keduanya sangat harmonis dan rukun. Hal seperti ini merupakan perbuatan setan, se­perti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya melalui hadis Al-A'masy, dari Abu Sufyan, dari Talhah ibnu Nafi', dari Jabir ibnu Abdullah r.a., dari Nabi Saw. Nabi Saw. pernah ber­sabda:

Sesungguhnya iblis itu meletakkan singgasananya di alas air, la­lu mengirimkan bala tentaranya kepada umat manusia; maka se-tan yang paling besar fitnahnya terhadap umat manusia akan memperoleh kedudukan yang terdekat di sisi iblis. Salah satu da­ri mereka datang, lalu mengatakan,"Aku terus-menerus menggo­da si Fulan, hingga ketika aku tinggalkan dia telah mengerjakan anu dan anu." Iblis menjawab, "Tidak, demi Allah, kamu masih belum melakukan sesuatu (yakni belum berhasil)." Lalu datang lagi yang lainnya dan mengatakan, "Aku tidak beranjak darinya sebelum aku dapat memisahkan antara dia dan istrinya." Maka iblis memberinya kedudukan yang tinggi dan dekat dengannya serta selalu bersamanya seraya berkata,"Kamu benar."

Penyebab yang memisahkan sepasang suami istri ialah imajinasi yang disusupkan oleh setan kepada salah seorang dari suami atau istri hingga ia memandang teman hidupnya itu seakan-akan buruk penampilan atau buruk pekertinya atau lain sebagainya, atau seakan-akan ruwet, atau marah bila memandangnya, atau lain sebagainya yang menyebabkan terjadinya perpisahan.

Lafaz al-mar-u dalam ayat ini berarti suami, sedangkan bentuk ta-nii-nya adalah imra-atun (istri). Kedua lafaz ini dapat diungkapkan dalam bentuk tasniyah, tetapi tidak dapat diungkapkan dalam bentuk jamak.

Firman Allah Swt.:

Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihir­nya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. (Al-Baqarah: 102)

Menurut Sufyan M-tauri, makna bi-iinillah ialah dengan keputusan Allah. Sedangkan menurut Muhammad ibnu Ishaq artinya "kecuali bila Allah membiarkan antara si tukang sihir dengan apa yang dike­hendakinya."

Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan takwil ayat ini mengata­kan, "Memang benar. Siapa yang dikehendaki oleh Allah dapat di­pengaruhi oleh sihir itu, niscaya ilmu sihir dapat mencelakakannya. Barang siapa yang tidak dikehendaki oleh Allah, maka ilmu sihir ti­dak akan dapat mencelakakannya." Para ahli sihir tidak dapat menim­pakan mudarat (kecelakaan) kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah, seperti yang telah dijelaskan di dalam ayat ini. Akan tetapi, menurut suatu riwayat yang juga dari Al-Hasan Al-Basri, sihir tidak dapat meniupkan mudarat kecuali terhadap orang yang mengerjakan ilmu sihir.

Firman Allah Swt.:

Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepa­danya dan tidak memberi manfaat. (Al-Baqarah: 102)

Yakni memberikan mudarat pada agama mereka dan tidak memberi manfaat yang sebanding dengan mudaratnya.

Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah ba­ginya keuntungan di akhirat. (Al-Baqarah: 102)

Yaitu sesungguhnya orang-orang Yahudi yang berpaling dari meng­ikuti Rasul Saw. dan menggantikannya dengan mengikuti ilmu sihir, mereka telah mengetahui bahwa di akhirat kelak dia tidak memper­oleh keuntungan. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, dan As-Saddi, mak­na khalaq ialah bagian.

Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa takwil ayat ini ialah: "Tiadalah baginya di akhirat nanti suatu perhatian pun dari Allah Swt." Menurut Al-Hasan, kata Abdur Razzaq artinya tiadalah baginya agama.

Sa'd meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa sesungguhnya ahli kitab itu telah mengetahui (meyakini) janji Allah yang telah ditetapkan atas diri mereka, bahwa scorang pe­nyihir itu tiadalah baginya keuntungan di akhirat.

Firman Allah Swt.:

Dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan si­hir, kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka ber­iman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala); dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih balk, kalau mereka mengetahui. (Al-Bagarah: 102-103)

Allah Swt. berfirman bahwa seburuk-buruk pertukaran adalah sihir yang mereka beli sebagai ganti dari iman dan mengikuti Rasul Saw., kalau saja mereka mempunyai ilmu dari apa yang diperingatkan kepa­da mereka. Seandainya mereka beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya pahala di sisi Allah lebih baik bagi mereka. Dengan kata lain, sesungguhnya kalau mereka beriman kepada Allah dan rasul-rasul­Nya serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, niscaya pahala Allah atas hal tersebut lebih baik bagi mereka daripada apa yang mereka pi­lihkan buat diri mereka dan apa yang mereka sukai itu. Makna ayat ini sama dengan apa yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, "Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih balk bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar." (Al­Qashosh: 80)

Adapun firman Allah Swt.:

Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa. (Al­Baqarah: 103)

dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat bahwa mengerja­kan sihir hukumnya kafir, seperti yang disebutkan di dalam riwayat Imam Ahmad ibnu Hambal dan segolongan ulama Salaf.

Sedangkan menurut pendapat yang lain tidak kafir, tetapi ia ha­nya dikenai hukuman had, yaitu dengan dipancung lehernya. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dan Imam Ah­mad ibnu Hambal. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan (yaitu Ibnu Uyaynah), dari Amr ibnu Dinar, bahwa ia pemah mendengar Bujalah ibnu Abdah menceritakan aar berikut, bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab r.a. pemah menulis surat yang di dalamnya disebutkan, "Bunuhlah oleh kalian setiap tukang sihir laki­laki dan perempuan." Bujalah melanjutkan kisahnya, "Maka kami pemah membunuh tiga orang wanita penyihir." Mar ini diketengah­kan pula oleh Imam Bukhari di dalam kitab sahihnya. Di dalam aar yang sahih disebut pula bahwa Ski Hafsah Umrnul Mu-minin pernah disihir oleh seorang budak perempuannya, maka Siti Hafsah meme­rintahkan agar budak tersebut dihukum mati; lalu si budak perempuan itu pun dihukum mati.

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, di dalam aar sahih dari ketiga orang sahabat Nabi Saw. disebutkan bahwa penyihir dihukum mati. Imam Turmuii meriwayatkan melalui hadis Ismail ibnu Mus­lim, dari Al-Hasan, dari Jundub Al-Azdi yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

Hukuman had bagi penyihir ialah dipukul dengan pedang (di­hukum mati).

Kemudian Imam Turmuil mengatakan bahwa kami tidak mengenal hadis ini secara marfu' kecuali hanya dari segi ini. Ismail ibnu Mus­lim orangnya dalam periwayatan hadis. Adapun yang sahih ialah yang dari Al-Hasan ibnu Jundub secara mauquf

Menurut kami, hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Tabrani melalui segi lain, dari Al-Hasan, dari Jundub secara marfu'.

Telah diriwayatkan melalui berbagai jalur bahwa Al-Walid ibnu Uqbah pernah mempunyai seorang tukang sihir untuk memainkan

il­mu sihir di hadapannya. Permainan sihir yang ditampilkannya itu ia­lah dia menebas batang leher seseorang, kemudian si penyihir itu membawa kepalanya seraya berteriak-teriak, setelah itu ia mengemba­likan lagi kepada si lelaki yang dipancungnya itu. Maka orang-orang berkata, "Mahasuci Allah Yang Menghidupkan kembali orang-orang yang mati!"

Kejadian tersebut dilihat oleh seorang lelaki saleh dari kalangan kaum Muhajirin. Pada keesokan harinya ia datang dengan menyan­dang pedangnya, sedangkan si penyihir itu seperti biasa memainkan permainannya. Lalu lelaki Muhajirin itu mencabut pedangnya dan langsung dipukulkan ke leher si penyihir tersebut, kemudian berkata, "Sekiranya dia benar, niscaya dia dapat menghidupkan dirinya sen­diri." Lalu ia membacakan firman-Nya:

maka apakah kalian menerima sihir itu, padahal kalian menyak­sikannya? (Al-Anbiyi: 3)

Maka Al-Walid murka karena lelaki Muhajirin tersebut tidak meminta izin lebih dahulu kepadanya dalam tindakannya itu. Lalu Al-Walid memenjarakannya, kemudian melepaskannya.

Imam Abu Bakar Al-Khalal mengatakan, telah menceritakan ke­pada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq, dari Hari§ah yang menceri­takan aar berikut: Pernah di hadapan seorang Amir ada seseorang yang memainkan ilmu sihirnya, lalu datanglah Jundub seraya membawa pedangnya, maka Jundub membunuh lelaki penyihir itu, lalu ia berkata, "Menurutku dia adalah tukang sihir."

Imam Syafii rahimahullah menginterpretasikan kisah sihir yang terjadi di masa Khalifah Umar dan yang dialami oleh Siti Hafsah se­bagai perbuatan musyrik.

Abu Abdullah Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya telah meriwayat­kan apa yang dikatakan oleh golongan Mu'tazilah, bahwa mereka mengingkari keberadaan sihir. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, "Barangkali mereka mengafirkan orang yang meyakini keberadaan sihir itu." •

Selanjutnya Ar-Razi mengatakan, "Adapun menurut ahli sunnah, sesungguhnya mereka berpendapat bahwa bisa saja seorang ahli sihir dapat terbang di udara, atau mengubah rupa manusia menjadi keledai dan rupa keledai menjadi manusia. Hanya saja mereka berpendapat bahwa sesungguhnya Allah mendptakan hal-hal tersebut di saat se­orang penyihir membacakan mantera-mantera dan jampi-jampi terten­tu. Adapun bila dikatakan bahwa hal yang' mempengaruhi kejadian­kejadian tersebut karena pengaruh falak dan bintang-bintang, maka hal tersebut tidak mungkin; berbed'a halnya dengan pendapat ahli fil­safat dan ahli peramal serta para pemeluk again. a Sabi'ah."

Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengemukakan dalil yang me­nyatakan bahwa terjadinya sihir itu adalah karena ciptaan Allah Swt., yaitu firman Allah Swt. yang mengatakan:

Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihir­nya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. (Al-Baciarah: 102)

Sedangkan dalil dari hadis antara lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah disihir, dan bahwa sihir sempat mempengaruhinya. Juga kisah Siti Aisyah r.a. bersama seorang wanita yang datang kepadanya mengakui bahwa dirinya pernah belajar sihir. Banyak lagi kisah lain­nya yang ia kemukakan dalam bab ini. Setelah itu Abu Abdullah Ar­Razi mengatakan hal berikut:

Ilmu sihir bukan merupakan hal yang buruk, bukan pula hal yang dilarang. Ulama ahli tahqiq sepakat menyatakan hal tersebut, meng­ingat ilmu itu ditinjau dari eksistensinya merupakan hal yang mulia, juga karena pengertian umum yang terkandung di dalam firman-Nya:

Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui de­ngan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9)

Karena ilmu sihir itu kalau tidak diketahui, niscaya tidak mungkin da­pat dibedakan antara sihir dan mukjizat. Sedangkan ilmu yang me­nuntun untuk mengetahui sesuatu sebagai mukjizat adalah wajib, dan sesuatu yang menjadi sandaran bagi hal yang wajib hukumnya wajib pula. Maka dari hal ini tersimpul bahwa mengetahui ilmu sihir hu­kumnya wajib, sedangkan sesuatu yang wajib itu tidak mungkin dapat dikatakan sebagai hal yang haram atau buruk. Demikianlah konteks dari pendapat Abu Abdullah Ar-Razi dalam masalah ini.

Pendapat ini masih perlu dipertimbangkan dari berbagai segi, an­tara lain is mengatakan bahwa mengetahui ilmu sihir bukan merupa­kan hal yang buruk. Jikalau yang dimaksud dengan kalimat ini ialah tidak buruk menurut rasio, maka orang-orang yang menentang penda­pat ini dari kalangan golongan Mu'tazilah sudah pasti sangat tidak se­tuju dengan pendapat ini. Jika yang dimaksud ialah tidak buruk me­nurut penilaian syara' (agama), berarti di dalam ayat ini terkandung pengertian yang mempropagandakan belajar ilmu sihir. Sedangkan di dalam kitab sahih disebutkan oleh salah satu hadisnya:

Barang siapa yang datang kepada tukang ramal atau tukang te­nung, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) kepada kitab (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada Muhammad.

Di dalam kitab-kitab Sunan disebutkan sebuah hadis yang mengatakan:

Barang siapa membuat suatu buhul, lalu ia meniupkan napasnya pada buhul itu, maka sesungguhnya dia telah mengerjakan sihir.

Dalam menanggapi perkataan Abu Abdullah Ar-Razi yang menyata­kan, "Tiada larangan, para ulama ahli tahqiq sepakat atas hal ini," timbul suatu pertanyaan `mengapa ilmu sihir itu tidak dilarang, pada­hal ayat dan hadis yang telah kita kemukakan mengecamnya?'. Kese­pakatan ulama ahli tahqiq —seperti yang dikatakannya— menuntut adanya bukti berupa nas dalam masalah ini dari beberapa orang ula­ma atau clan kebanyakan mereka, lalu manakah nas-nas mereka yang menunjukkan adanya kesepakatan tersebut?

Mengenai pendapat Abu Abdullah Ar-Razi yang memasukkan il­mu sihir ke dalam pengertian umum firman Allah Swt. yang menga­takan:

Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui de­ngan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9)

Hal ini masih perlu dipertimbangkan kebenarannya, mengingat ayat ini hanyalah menunjukkan makna memuji orang-orang yang alim da­lam ilmu syariat. Lalu mengapa dia sampai berani mengatakan bahwa ilmu sihir adalah bagian dari syariat, dan bahkan ia mengangkat ilmu sihir kepada kategori ilmu yang wajib dipelajari, dengan alasan untuk mengetahui mukjizat tidak dapat dilakukan melainkan dengan menge­tahui ilmu sihir. Alasan ini sangat lemah, bahkan dapat dikatakan ba­til. Dikatakan demikian karena mukjizat yang paling agung dari Rasul kita ialah Al-Qur'anul 'Azim yang tidak datang kepadanya kebatilan, balk dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tu­han Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.

Kemudian perlu diperhatikan bahwa sesungguhnya untuk menge­tahui sesuatu sebagai mukjizat, pada prinsipnya tidak bergantung kepada pengetahuan ilmu sihir. Sebagai bukti yang akurat ialah para sa­habat, para tabi'in, dan para imam kaum muslim serta kalangan awam; mereka mengetahui hal yang mukjizat, mereka pun dapat membedakan antara mukjizat dan sihir, sekalipun mereka tidak mem­punyai pengetahuan tentang ilmu sihir. Dengan kata lain, mereka ti­dak pernah mempelajarinya, tidak pula mengerjakannya.

Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi menyebutkan bahwa ilmu sihir itu ada delapan macam:

1. Sihir orang-orang pendusta dan kaum Kasydani (yaitu mereka yang menyembah tujuh bintang yang beredar). Mereka mempunyai keyakinan bahwa bintang-bintang tersebutlah yang mengatur alam ini, dan bintang-bintang itulah yang mendatangkan kebaikan dan kejahat­an. Mereka adalah kaum yang diutus kepada mereka Nabi Ibrahim a.s. Khalilullah (kekasih Allah) a.s. untuk membatalkan pendapat me­reka dan mematahkan hujah mereka.

Sehubungan dengan masalah ini telah diadakan suatu penelitian yang membuahkan karya tulis--seperti kitab Sirrul Maktum fi Mukhatabatisy Syamsi wan Nujum— yang dinisbatkan kepada apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim a.s. pada permulaan perkaranya, se­bagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khalkan dan lain-lainnya. Me­nurut suatu pendapat, Ibnu Khalkan telah bertobat atas karya tulisnya itu. Menurut pendapat yang lainnya lagi, sesungguhnya Ibnu Khalkan menulis hal tersebut dengan maksud menonjolkan keutamaannya, bu­kan bermaksud meyakininya. Memang tanggapan inilah yang disang­kakan kepadanya, hanya dia menyebutkan dalam kitabnya itu cara mereka berdialog dengan masing-masing dari ketujuh bintang terse-but; disebutkan pula cara-cara yang mereka lakukan serta upacara ritual yang diada-adakan mereka terhadap bintang-bintang tersebut.

2. Sihir yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilusi dan jiwa yang kuat. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengetengahkan alasan yang membuktikan ilusi mempunyai pengaruh, bahwa seorang manusia dapat saja berjalan di atas jembatan yang diletakkan di atas permukaan tanah, sedangkan is tidak dapat berjalan di atasnya bila jembatan diletakkan memanjang di atas sungai atau lainnya.

Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, para tabib sepakat melarang orang yang mimisan memandang kepada sesuatu yang berwama merah, dan orang yang berpenyakit ayan dilarang memandang kepada sesuatu yang sangat menyilaukan atau sesuatu yang berputar. Hal ter­sebut tiada lain karena jiwa manusia diciptakan tunduk kepada ilusi­ilusinya.

Ia melanjutkan perkataannya, bahwa para cendekiawan sepakat bahwa penyakit 'ain merupakan perkara yang hak (nyata). Sebagai dalilnya dapat diketengahkan sebuah hadis sahih yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

Penyakit itu hal yang hak. Sekiranya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, niscaya penyakit dapat mendahului-

nya.

Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, "Apabila Anda mengetahui hal ini, maka kami katakan bahwa jiwa yang dapat melakukan perbuatan­perbuatan tersebut adakalanya kuat sekali. Untuk itu dalam merealisa­sikan perbuatan-perbuatan itu ia tidak memerlukan bantuan sarana atau alat bantu lainnya. Adakalanya jiwa itu lemah, maka untuk me­realisasikannya ia memerlukan sarana-sarana tersebut."

Hakikat hal tersebut ialah bahwa jiwa manusia apabila lebih ting­gi daripada tubuh kasarnya, maka ia sangat cenderung kepada alam samawi; hingga jadilah ia seakan-akan roh samawi, dan ia mem­punyai kekuatan yang menakjubkan untuk mempengaruhi semua un­sur dari alam kasar ini. Tetapi apabila jiwa seseorang lemah dan cen­derung bergantung kepada tubuh kasarnya, maka saat itu ia tidak mempunyai pengaruh sama sekali kecuali hanya dalam tubuh kasar­nya saja.

Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi memberikan petunjuk untuk mengobati penyakit ini dengan cara mengurangi makan, menjauh dari manusia, dan membebaskan diri dari riya (pamer).

Menurut kami, apa yang diisyaratkan oleh Abu Abdullah ini ter­masuk ke dalam pengertian indera yang keenam atau tayarruf bil hal. Hal ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu adakalanya termasuk dari jenis yang benar lagi diakui oleh syariat. Pemiliknya menggunakannya untuk hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Indera je­nis ini merupakan anugerah dari Allah Swt. dan merupakan karamah bagi orang-orang saleh dari kalangan umat ini. Jenis ini sama sekali bukan dinamakan sihir menurut penilaian syara'.

Adakalanya keadaan yang dialami oleh pemiliknya batil serta pe­miliknya tidak mengerjakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, dan is tidak menggunakan bakatnya itu untuk keperlu­an tersebut. Jenis inilah yang dialami oleh orang-orang celaka, yaitu mereka yang menyimpang dari syariat, serta keadaan yang dialaminya itu tidak menunjukkan bahwa mereka menerimanya sebagai anugerah dari Allah dan tidak menunjukkan pula bahwa Allah mencintai mere­ka. Perihalnya sama dengan apa yang dimiliki oleh Dajjal; dia mem­punyai banyak hal yang bertentangan dengan hukum alam, seperti yang dijelaskan oleh banyak hadis. Akan tetapi, sekalipun demikian hal tersebut tercela menurut penilaian syara'; semoga laknat Allah te­tap atas dirinya. Demikian pula keadaan orang-orang yang menye­rupai Dajjal dari kalangan mereka yang dianugerahi bakat ini, tetapi bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Pembahasan mengenai masalah ini memerlukan keterangan yang pan­jang, dan kitab ini bukan tempat untuk membahasnya.

3. Termasuk ke dalam kategori sihir ialah meminta bantuan kepa­da arwah yang ada di bumi, yakni makhluk jin. Berbeda dengan pen­dapat para ahli filsafat dan golongan Mu'tazilah; mereka berpendapat bahwa jin itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu jin yang mukmin dan jin kafir (yakni setan).

Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, menghubungi arwah jenis ini lebih mudah ketimbang menghubungi arwah samawi, mengingat ada­nya kesamaan dan hubungan yang berdekatan di antara keduanya. Kemudian orang-orang yang ahli dalam bidang ini dan banyak me­lakukan percobaan telah menyaksikan bahwa berhubungan dengan ar­wah ardiyyah dapat dilakukan hanya dengan melakukan perbuatan­perbuatan yang mudah lagi tidak banyak, seperti membaca mantera, dupa, dan jampi-jampi. Jenis ini dinamakan 'azaim atau menunduk­kan makhluk jin.

4. Termasuk ke dalam ilmu sihir ialah tipuan melalui ilusi, mem­balikkan pandangan mata, serta sulap. Dasar jenis ini ialah bahwa mata itu adakalanya keliru dan sibuk dengan sesuatu yang tertentu se­hingga melupakan yang lainnya. Tidakkah Anda melihat bahwa se­orang pesulap yang cerdik kelihatan oleh kita sedang melakukan se­suatu yang menakjubkan penglihatan orang-orang yang menontonnya hingga semua pandangan mata mereka tertuju kepadanya. Tetapi bila semua perhatian mereka tertuju kepada sesuatu yang dilakukannya itu, maka si pesulap melakukan hal yang lain secepat kilat, hingga yang tampak di mata mereka adalah sesuatu yang berbeda dengan apa yang mereka tunggu-tunggu, dan akhirnya mereka merasa takjub se­kali dengan perbuatan si pesulap itu.

Sekiranya si pesulap itu diam dan tidak mengatakan hal-hal yang memalingkan perhatian para penontonnya kepada lawan dari perbuat­an yang hendak dilakukannya itu, serta jiwa dan ilusi para penonton­nya tidak memperhatikan apa yang hendak diperbuatnya, niscaya pe­nonton akan mengerti semua perbuatan yang dilakukannya.

Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, setiap kali keadaan mendu­kung pengurangan pandangan mata secara baik, maka hasil sulap ma-kin bertambah baik. Misalnya si pesulap duduk di tempat yang terang sekali atau di tempat yang gelap, maka pandangan mata penonton ku­rang prima terhadap dirinya bila keadaannya demikian.

Menurut kami, sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa sesung­guhnya sihir yang dilakukan di hadapan Raja Fir'aun tiada lain terma­suk ke dalam Bab "Sulap". Karena itu, Allah Swt. berfirman di dalam Kitab-Nya:

Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan banyak orang itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). (Al-A'raf: 116)

Dan firman Allah Swt.:

terbayang di mata Musa karena pengaruh dari sihir mereka se­akan-akan tali dan tongkat itu merayap cepat. (Taha: 66)

Sebagian kalangan ahli tafsir mengatakan bahwa tali-tali dan tongkat­tongkat tersebut pada hakikatnya tidak merayap.

5. Termasuk perbuatan sihir ialah reaksi-reaksi ajaib yang timbul dari penyusunan berbagai alat yang disusun menurut bentuk handa­sah, misalnya berbentuk seperti seorang yang menunggang kuda, se­dangkan tangannya memegang sebuah genderang; apabila lewat suatu saat dari siang hari (satu jam), maka genderang itu dipukulnya tanpa ada seorang pun yang menyentuhnya. Termasuk ke dalam kategori je­nis ini ialah patung-patung yang dibuat oleh bangsa Romawi dan bangsa India hingga orang yang melihatnya tidak dapat membedakan antara patung dan manusia yang sungguhannya, hingga mereka mam­pu membuatnya dalam rupa sedang tertawa dan sedang menangis. Kemudian Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan bahwa segi-segi ini termasuk kelembutan dari hal-hal yang bersandar kepada ilusi. Ia me­ngatakan pula bahwa sihir yang dilakukan oleh tukang sihir Raja Fir'aun termasuk ke dalam kategori jenis ini.

Dari pendapat yang dikatakan oleh sebagian ahli tafsir sehubung­an dengan sihir yang disajikan oleh tukang-tukang sihir Raja Fir'aun, kami simpulkan bahwa sesungguhnya mereka terlebih dahulu mem­persiapkan tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut, sebelumnya mereka isi terlebih dahulu dengan air raksa. Karena itu, setelah semuanya di­lepaskan, maka benda-benda itu meliuk-liuk bergerak karena penga­ruh dari air raksa tersebut. Maka terbayang di mata para penontonnya seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat tersebut berjalan cepat de­ngan sendirinya.

Ar-Razi mengatakan, termasuk ke dalam bab ini ialah bangunan jam pasir (tabung kaca untuk mengukur waktu, berdasarkan aliran suatu bahan berupa pasir dan sebagainya pada zaman dahulu. red.), demikian pula ilmu menarik barang yang berat dengan alat yang ri­ngan.

Menurut kami, pada hakikatnya jenis ini tidak pantas dikategori­kan sebagai sihir, mengingat kejadiannya dapat diketahui melalui penyebab-penyebab yang telah dimaklumi dan pasti. Untuk itu barang siapa yang memahaminya, niscaya ia dapat melakukannya.

Menurut kami, termasuk ke dalam bab ini (yang penyebabnya je­las) ialah tipu muslihat yang dilakukan oleh orang-orang khusus Nas­rani terhadap kalangan awam mereka, melalui cahaya api yang diper­lihatkan kepada kalangan awam, seperti kasus yang terjadi di suatu gereja milik mereka di kota Baitul Maqdis. Mereka melakukan tipu muslihat melalui hal tersebut dengan cara memasukkan api secara sembunyi-sembunyi ke dalam gereja, lalu lentera besar gereja tersebut dinyalakan melalui cara yang lembut (samar) hingga memperdaya ka­langan orang-orang awam mereka. Adapun bagi kalangan khusus me­reka, hal tersebut sudah diketahuinya, tetapi mereka mencari-cari alasan untuk menyembunyikan rahasia itu, bahwa hal tersebut dapat dijadikan sarana untuk mempersatukan teman-teman seagama mereka, maka mereka memandang perbuatan tersebut sebagai hal yang diper­bolehkan. Perihalnya sama dengan apa yang dilakukan oleh orang­orang tolol lagi bodoh dari kalangan aliran Karamiyah, yaitu mereka yang memperbolehkan membuat hadis dalam masalah targib dan tar­hib. Mereka itu termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dian­cam oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya:

 Barang siapa yang berdusta dengan sengaja mengatasnamakan diriku, maka hendaklah ia bersiap-siap mengambil tempat du­duknya di neraka.

Sabda Rasulullah Saw. lainnya yang mengatakan:

Ceritakanlah hadis dariku, tetapi janganlah kalian berdusta ter­hadap diriku, karena sesungguhnya orang yang berdusta terha­dapku pasti masuk neraka.

Kemudian dalam bab ini ia menyebut sebuah kisah dari salah seorang rahib (pendeta). Bahwa pada suatu hari ia mendengar suara seekor burung yang mengeluarkan suara sedang sedih, dan lemah gerakan­nya. Apabila suara itu terdengar oleh burung lainnya, burung-burung lain merasa kasihan kepadanya. Kemudian mereka pergi dan datang lagi dengan membawa buah zaitun, lalu mereka lemparkan zaitun itu ke sarang burung yang sedang sedih tersebut agar dimakannya.

Lalu rahib ini sengaja membuat sebuah boneka yang bentuknya mirip dengan burung yang sedang menderita itu, kemudian ia menja­dikan boneka burungnya itu berlubang pada bagian dalamnya; apabila ada angin yang memasuki rongga tersebut, akan keluarlah darinya suara seperti suara burung yang sedang menderita itu.

Kemudian ia tinggal di dalam gereja yang dibangunnya yang ia duga berada di atas kuburan salah seorang yang saleh dari kalangan mereka. Lalu ia menggantungkan boneka burungnya itu di salah satu tempat dari gerejanya. Apabila musim buah zaitun tiba, ia membuka sebuah jendela yang berhadapan dengan arah burung buatannya itu, hingga masuklah angin dan meniup boneka burungnya dan keluarlah suara darinya. Suaranya itu terdengar oleh burung-burung lain yang rupanya sejenis dengan boneka burung itu, lalu mereka berdatangan dengan membawa buah zaitun yang banyak jumlahnya.

Orang-orang Nasrani tidal( melihat hal yang lain kecuali adanya buah zaitun tersebut di dalam gerejanya, tanpa mereka ketahui sebab­musababnya; hingga mereka teperdaya, dan mereka menduga bahwa hal tersebut termasuk keramat dari pemilik kuburan yang ada di da­lam gereja itu. Semoga laknat Allah menimpa mereka berturut-turut hingga hari kiamat nanti.

6. Termasuk ke dalam perbuatan sihir ialah menggunakan sarana bantuan berupa obat-obatan, yakni dalam berbagai macam makanan dan minyak-minyakan. Abu Abdullah Ar-Razi mengatakan, perlu di­ketahui bahwa sesungguhnya tiada jalan untuk mengingkari bahan-ba­han yang khusus, mengingat pengaruh magnetis memang dapat disak­sikan.

Menurut kami, termasuk ke dalam kategori ini apa yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang menamakan dirinya fakir. Dia menipu kalangan awam dari manusia dengan memakai sarana bahan-ba­han khusus ini, lalu mengaku bahwa hal ini terjadi karena akibat pe­ngaruh dari seringnya dia bergaul dengan api dan memegang ular be­racun serta lain-lainnya yang termasuk ke dalam bagian ini.

7. Termasuk ke dalam sihir ialah mempengaruhi hati orang lain. Misalnya seorang penyihir mengakui bahwa dirinya mengetahui Ismul A'zam. Bahwa jin taat serta tunduk kepadanya dalam berbagai hal; apabila propagandanya itu secara kebetulan didengar oleh orang yang lemah akalnya dan tidak dewasa, niscaya is menduga bahwa si penyi­hir itu benar, lalu hatinya bergantung kepadanya, dan terjadilah di da­lam hatinya suatu perasaan takut dan khawatir terhadap si penyihir itu. Apabila telah terjadi rasa takut dalam hatinya, lemahlah kekuatan inderanya, maka pada saat itu si penyihir dapat menguasainya dan da­pat melakukan apa yang dikehendakinya.

Menurut kami, jenis ini dikatakan tanbulah (hipnotis). Sesung­guhnya jenis ini hanya dapat mengenai kalangan orang-orang yang le­mah akalnya. Di dalam ilmu firasah terdapat pengetahuan yang me­nuntun untuk mengetahui orang yang berakal kuat dan orang yang berakal lemah. Apabila orang yang bersangkutan berakal cerdas dan menguasai ilmu firasah, maka dia akan mengetahui siapa di antara mereka yang taat kepadanya dan siapa yang tidak mau taat.

8. Termasuk ke dalam kategori sihir ialah melakukan namimah dan adu domba dengan menggunakan cara yang mudah lagi lembut, tidak kelihatan. Jenis ini telah terkenal di kalangan orang banyak.

Menurut kami, namimah itu terbagi menjadi dua bagian; adakala­nya untuk tujuan mengadu domba di antara orang-orang lain dan me­mecah belah hati kaum mukmin. Jenis ini jelas haram rnenurut kese­pakatan semuanya.

Jika namimah yang dilakukan untuk tujuan mendamaikan masa­lah di antara orang-orang lain dan untuk menyatukan serta merukun­kan suara kaum muslim, seperti yang disebutkan oleh hadis berikut:

Bukanlah pendusta orang yang melakukan namimah untuk ke­baikan.

Atau dengan tujuan untuk menghina dan memecah-belah di antara persatuan orang-orang kafir, maka hal ini merupakan perkara yang di­anjurkan, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis berikut:

Perang itu tipu muslihat.

Juga seperti apa yang dilakukan oleh Nu'aim ibnu Mas'ud ketika ia memecah-belah persatuan golongan-golongan yang bersekutu dengan Bani Quraizah.

Nu'aim datang kepada salah satu pihak dari kedua golongan itu, lalu ia menceritakan kepada mereka apa yang dikatakan oleh golong­an lainnya tentang did mereka. Kemudian ia menyampaikan kepada golongan lainnya kata-kata yang lain dari golongan yang pertama, la­lu ia adu dombakan di antara kedua golongan tersebut hingga mereka sating mencurigai dan pecahlah persatuan mereka.

Sesungguhnya orang yang dapat melakukan hal seperti ini hanya­lah orang-orang yang mempunyai kecerdasan dan pandangan yang ta­jam. Akhirnya hanya kepada Allah-lah kami memohon pertolongan.

Selanjutnya Ar-Razi berkata, demikianlah pembagian sihir dan penjelasan serta tingkatannya secara global.

Menurut karni, sesungguhnya telah dimasukkan ke dalam kate­gori sihir banyak hal yang telah disebut di atas, tiada lain karena hal­hal tersebut sulit untuk diketahui penyebabnya dan sangat halus. Mengingat definisi sihir menurut istilah bahasa artinya sesuatu yang lembut dan samar penyebabnya. Untuk itu, di dalam sebuah hadis di sebutkan:

Sesungguhnya di antara ilmu bayan (paramasastra) itu benar-be­nar mengandung (pengaruh seperti pengaruh) sihir.

Dinamakan sahur karena dilakukan pada penghujung malam hari di saat cuaca masih gelap tak kelihatan. Sahar berarti ri-ah (paru-paru) yang merupakan pusat pernapasan. Dinamakan demikian karena tern­patnya tersembunyi dan jaringannya lembut menyebar ke seluruh ba­gian tubuh dan semua syaraf. Seperti yang dikatakan oleh Abu Jahal kepada Utbah pada hari Perang Badar, "Intafakha saharuhu," yakni paru-parunya mengembang karena dicekam oleh rasa takut yang sa­ngat. Siti Aisyah r.a. pernah mengatakan:

Rasulullah Saw. wafat di antara dada (sebelah kanan)ku dan pangkal tenggorokanku.

Allah Swt. berfirman:

Mereka menyulap mata orang-orang. (Al-A'raf: 116)

Artinya, mereka menyembunyikan apa yang mereka lakukan dari ma­ta orang-orang banyak.

Abu Abdullah Al-Qurtubi mengatakan, "Menurut kalangan kami, sihir itu merupakan perkara yang nyata." Ia mempunyai kenyataan karena Allah menciptakan untuknya apa yang dikehendaki oleh si pe­nyihir (sebagai istidraj, pent.).

Lain halnya dengan pendapat golongan Mu'tazilah dan Abu Ishaq Al-Isfirayini, dari kalangan mazhab Syafii. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya sihir itu adalah pengelabuan dan ilusi semata. Al-Qurtubi mengatakan, termasuk ke dalam kategori sihir ialah se­suatu yang dilakukan dengan tangan yang cepat seperti permainan su­lap. Ibnu Faris mengatakan bahwa pendapat ini bukan diutarakan oleh penduduk pedalaman (orang kampung).

Al-Qurtubi mengatakan, termasuk ke dalam sihir ialah bacaan yang dihafal dan melakukan ruqyah dengan menyebut asma Allah Swt. Adakalanya sihir itu merupakan perjanjian dengan setan-setan, maka kejadiannya akan menimbulkan berbagai macam penyakit dan kerusakan serta lain-lainnya yang berbahaya.

Al-Qurtubi mengatakan bahwa sabda Rasul Saw. yang mengatakan:

Sesungguhnya di antara ilmu bayan (paramasastra) itu benar-be­nar mengandung (pengaruh seperti pengaruh) sihir.

Kalimat ini dapat diinterpretasikan sebagai pujian, menurut apa yang dikatakan oleh segolongan ulama. Dapat pula diinterpretasikan se­bagai celaan terhadap ilmu balagah. Selanjutnya Al-Qurtubi memberi­kan komentarnya bahwa pendapat yang terakhir inilah yang lebih sa­hih, mengingat dapat saja balagah dijadikan sebagai sarana untuk membenarkan hal yang batil, sehingga pendengarnya terpesona oleh kata-katanya dan menduganya berada di pihak yang benar, seperti yang disebutkan oleh sabda Nabi Saw. yang mengatakan:

Barangkali sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengutara­kan alasannya daripada sebagian yang lain. Karena itu, lalu aku memutuskan peradilan untuk kemenangannya. Hingga akhir ha­dis.

Al-Wazir Abul Muzaffar (yaitu Yahya ibnu_ Muhammad ibnu Hubairah) dalam kitabnya yang berjudul Al-Isyraf 'Ala Ma±a Hibil Asyraf mengetengahkan sebuah bab yang membahas masalah sihir. Ia mengatakan bahwa mereka telah sepakat bahwa sihir itu mempunyai kenyataan, kecuali Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah berpendapat bahwa sihir tidak ada kenyataannya.

Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang belajar sihir dan menggunakannya. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad mengatakan bahwa pelakunya menjadi kafir.

Dari kalangan murid-murid Imam Abu Hanifah ada yang menga­takan bahwa sesungguhnya kalau seseorang belajar ilmu sihir hanya untuk pertahanan diri atau untuk menghindarinya, hukumnya tidak

kafir. Barang siapa yang mempelajarinya dengan keyakinan bahwa si­hir diperbolehkan atau sihir bermanfaat bagi dirinya, maka ia kafir. Demikian pula orang yang meyakini bahwa setan dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya, maka dia kafir.

Imam Syafii rahimahullah mengatakan, "Apabila seseorang bela­jar ilmu sihir (dan telah menguasainya), maka kami akan katakan ke­padanya terlebih dahulu, Peragakanlah sihirmu itu kepada kami.' Ji­ka ia memperagakan jenis sihir yang memastikannya kafir, misalnya dia berkeyakinan seperti apa yang diyakini oleh penduduk Babil —yakni mendekatkan diri kepada itujuh bintang, dan bahwa ketujuh bintang tersebut dapat memberikan apa yang dimintakan kepadanya­maka dia kafir. Apabila sihir yang diperagakannya itu tidak me­nyebabkan dia kafir (maka ia tidak kafir); tetapi jika dia meyakini bahwa belajar sihir itu boleh, maka hukumnya kafir."

Ibnu Hubairah mempertanyakan, "Apakah seorang penyihir dibu­nuh hanya semata-mata karena ia memperlihatkan sihirnya dan meng­gunakannya?"

Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad dibunuh, dan menurut Imam Syafii serta Imam Abu Hanifah tidak. Tetapi jika sihirnya itu telah membunuh seseorang manusia, maka ia dibunuh menurut Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad.

Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa si penyihir tidak dibunuh kecuali jika ia melakukan perbuatannya itu (membunuh orang lain de­ngan ilmu sihirnya) secara berulang-ulang, atau dia mengakui sendiri telah melakukannya terhadap seseorang tertentu. Apabila ilmu sihir seseorang digunakan untuk membunuh, maka ia dihukum mati se­bagai hukuman had-nya menurut pendapat mereka, kecuali Imam Syafii. Imam Syafii berpendapat bahwa bila keadaannya memang de­mikian, maka ia dihukum mati sebagai

Ibnu Hubairah mempertanyakan, "Apakah dapat diterima tobat tukang sihir bila ia bertobat darinya?" Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta Imam Ahmad menurut pendapat yang terkenal di ka­langan mereka mengatakan bahwa tobatnya tidak diterima. Akan te­tapi, Imam Syafii dan Imam Ahmad menurut riwayat yang lain me­ngatakan dapat diterima tobatnya.

Tukang sihir dari kalangan ahli kitab menurut Imam Abu Hani­fah dihukum mati, sebagaimana tukang sihir muslim pun dihukum mati.

Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Syafii mengatakan tidak dihukum mati; karena menimbang kisah Labid ibnul A'sam. Mereka berselisih pendapat mengenai wanita muslimah tukang sihir; menurut Imam Abu Hanifah, ia tidak dibunuh melainkan hanya dihukum pen­jara. Sedangkan menurut ketiga imam lainnya, hukumnya sama de­ngan hukum seorang laki-laki penyihir.

Abu Bakar Al-Khalal mengatakan, telah menceritakan kepada ka­mi Abu Bakar Al-Marwazi, bahwa Umar ibnu Harun pemah memba­ca (belajar) dari Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad ibnu Hambal) bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri yang mengatakan, "Penyihir dari kalangan kaum muslim dihukum mati, se­dangkan penyihir dari kalangan kaum musyrik tidak dihukum mati; karena Rasulullah Saw. pemah disihir oleh seorang wanita Yahudi, temyata beliau tidak membunuhnya."

Imam Qurtubi menukil dari Imam Malik rahimahullah yang me­ngatakan bahwa tukang sihir dari kalangan kafir iimmi dihukum mati jika sihirnya itu ia gunakan untuk membunuh.

Ibnu Khuwaiz Mandad meriwayatkan dua buah riwayat dari Imam Malik sehubungan dengan kafir iimmi bila mempraktikkan si­hir. Salah satunya mengatakan bahwa ia diminta bertobat terlebih da­hulu. Jika ia masuk Islam, tidak dihukum; tetapi jika tidak mau ma­suk Islam, maka ia dihukum mati. Pendapat kedua mengatakan bahwa dia tetap dihukum mati, sekalipun masuk Islam.

Seorang penyihir itu apabila ilmu sihirnya mengandung kekufur­an, maka ia dihukumi kafir menurut keempat orang imam dan imam-imam lainnya, karena berdasarkan kepada firman-Nya:

sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu kafir." (Al-Baciarah: 102)

Tetapi Imam Malik mengatakan, "Jika kekufuran tampak pada diri­nya, maka tobatnya tidak diterima, karena kedudukannya sama de­ngan kafir zindiq. Jika dia bertobat sebelum menampakkan kekufur­annya, lalu ia datang kepada kami seraya bertobat, maka kami mene­rimanya. Jika sihimya itu ia gunakan untuk membunuh orang, maka ia dibunuh (dihukum mati)."

Imam Syafii mengatakan, "Kalau si penyihir mengatakan, `Aku tidak sengaja membunuh,' maka ia dihukumi sebagai orang yang ke­liru dan diharuskan membayar dial."

Ada suatu pertanyaan, "Apakah penyihir boleh diminta untuk melepaskan (mengobati) sihirnya?" Sa'id ibnul Musayyab r.a. mem­perbolehkannya menurut apa yang dinukil oleh Imam Bukhari. Amir Asy-Sya'bi mengatakan, tidak mengapa menggunakan nusyrah (peng­obatan dengan memakai jampi). Akan tetapi, Al-Hasan Al-Basri me­makruhk anny a.

Di dalam hadis sahih dari Siti Aisyah r.a. disebutkan bahwa ia pemah berkata, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak berobat dengan cara nusyrah?" Maka beliau Saw. menjawab:

Adapun Allah, sesungguhnya Dia telah menyembuhkan diriku, dan aku merasa khawatir (bila memakai nusyrah) nanti aku membuka pintu kejahatan kepada manusia.

Al-Qurtubi meriwayatkan dari Wahb yang mengatakan, "Hendaknya diambil tujuh helai daun sidr, terus ditumbuk di antara dua buah batu, lalu diperas dengan memakai air seraya dibacakan ayat Al-Kursi pa­danya. Kemudian aimya diminumkan kepada orang yang terkena sihir sebanyak tiga tegukan, sedangkan sisanya dimandikan untuknya. Se­sungguhnya cara ini dapat melenyapkan sihir yang mengenainya, dan cara ini amat baik buat lelaki yang mengobati istrinya.”

Menurut kami, pengobatan yang paling bermanfaat untuk melenyapkan pengaruh sihir ialah membacakan apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk menghilangkan hal tersebut, yaitu membaca surat Mu'awwiatain.

Di dalam sebuah hadis disebutkan:

Tiada suatu ta'awwut pun yang digunakan oleh seseorang se-banding dengan keduanya. Demikian pula membaca ayat Kursi, karena sesungguhnya ayat Kursi itu dapat digunakan untuk mengusir setan.

Popular posts from this blog

Tafsir Surat Al-'Alaq, ayat 1-5

Tafsir Surat An-Naba, ayat 1-16

Tafsir Surat Adz-Dzariyat, ayat 52-60